Bab 7: Tidak Berdaya

14 3 0
                                    

Sudah lima menit Nanti 18 cemberut menatap dirinya yang versi tua. Dan sudah lima menit pula Nanti 32 tidak peduli dengan tatapan dendam-kesumat itu.

"Iya, gue tahu lo nggak suka. Lo kepala batu banget sih. Senja itu memang baik, tapi lo harus nyadar, dia itu cintanya sama Sonya!" Harus berapa kali Nanti 32 jelaskan bahwa mencintai Senja adalah pilihan buruk dalam kehidupannya.

"Bukan itu," suara Nanti 18 mengecil. "Pas lihat Sonya, aku nyadar kenapa Senja bisa berpaling. Senja ternyata nggak seistimewa yang aku pikirin. Dia itu sama aja kayak kebanyakan laki-laki."

Nanti 32 memperhatikan dirinya versi muda yang akhirnya paham juga menjadi budak cinta cowok yang tidak pernah bilang suka itu menyakitkan. Ia menurunkan volume suaranya. "Udah nggak usah dipikirin. Semester depan lo bisa persiapan buat lanjutin sekolah di USC, UCLA atau NYU, Amerika Serikat. Belajar nulis skenario film dari asalnya. Ayo, lebih sering latihan nulis—"

"Tapi, kalau aku ke Amerika, kesempatan sama Senja benar-benar ilang dong?"

Nanti 32 cengo sebentar, berharap telinganya lagi error sehingga salah dengar.

Nanti 18 mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, tanda semangat. "Pokoknya aku masih yakin kita ditakdirin sama Senja. Senja kan marah banget pas kamu jodohin sama Sonya. Itu tanda dia sebenarnya nggak tertarik. Makanya kamu balik lagi ke masa lalu biar bisa sama dia! Ayo, kita cegah Senja dan Sonya kawin—eh, nikah!"

Tolol setengah mati.

Nanti 32 tidak percaya dirinya yang berumur 18 tahun ini begitu tolol sampai ke ubun-ubun, tidak punya self-awareness pula, dan dipikirkannya masih cinta, cinta, cinta yang akan membingungkannya sampai mati. Ia sudah tidak sanggup lagi berkata-kata.

Tiba-tiba saja terdengar suara piring pecah. Keduanya berjengit, dan buru-buru ke luar kamar. Ada keributan yang mereka temukan di dapur.

.

.

Dapur di malam itu berubah mencekam, panas karena hanya ada amarah di sana. Satu orang yang melontarkan makian, keluhan, dan kekecewaan, tapi sakit hatinya sampai ke tiga orang.

"Kamu tuh susah banget nurut sama suami! Ngapain kamu jalan-jalan sama Ibu komplek? Kamu mau ninggalin aku dan Kinanti? Terus aku makan apa? Nanti juga sama blo'onnya sama kamu nggak bisa masak!"

Nanti sejak dulu sudah terbiasa mendengar makian demi makian itu. Ia hanya bisa diam karena dilawan pun akan menimbulkan api yang lebih besar. Namun, sekarang Nanti sudah meninggal dan lebih berani. Ia masuk ke tubuhnya yang 18 tahun. Maju untuk melindungi ibunya yang terduduk di lantai sebagai pesakitan.

Ayah mengambil piring lagi, dan hendak melemparkannya ke arah Ibu.

Namun, Nanti lebih dulu mengambil piring itu. Tangannya dipindahkan ke belakang. Tidak ada ketakutan lagi, ia tahu yang dilakukannya ini adalah benar. "Undang-undang nomor dua puluh tiga, tahun dua ribu empat pasal empat puluh empat! Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak lima belas juta rupiah!"

Diperingatkan dengan undang-undang KDRT, tidak membuat Ayah gentar. Ia malah semakin menantang putrinya. "Kurang ajar kamu ngancem Ayah kayak penjahat! Kamu tuh bisa kuliah berkat jasaku!" Ia balik menyerang Ibu. "Kamu Ratna, kamu mau pisah dari aku? Pisah aja sana! Mampus kamu nggak akan bisa hidup!" Ditendangnya pecahan piring tanpa takut tergores, dan pergi dari dapur begitu saja.

Napas Nanti memburu. Ini baru permulaan. Berikutnya, ia tidak tahu akan melakukan apa.

Ibu yang menangis tiba-tiba saja mendorong Nanti. "Kamu harus minta maaf sama Ayah. Kamu nggak akan bisa kuliah tanpa kehadiran Ayah!"

Sama Kamu Sekali LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang