Awan berkelana, sapuan lukisnya membentang dengan berbagai variasi di atas sana. Warnanya yang kelabu menambah syahdu, gradasi biru muda di pucuknya menyembunyikan kelam yang mendominasi sebelumnya. Terlihat memukau bagi seseorang yang sejak tadi menumpukan kepala. Senyumnya terulas, tanpa sadar jemarinya menarikan apa yang ia lihat.Netranya kembali mengerjap, mendapati objek selanjutnya sebagai sasaran. Burung-burung sore beterbangan menghiasi horizon. Sayap putihnya mengepak anggun, membentang dengan bulu-bulu yang ia berhasil lukiskan dengan detail-detail yang sama. Paruhnya yang sedikit melengkung seperti kail, juga cakar-cakar mungilnya saat hinggap di pepohonan. Membuat decakan kagum keluar lagi dari mulut sang pengamat.
"Alfa!"
Tersentak. Lamunannya buyar begitu saja. Pensil yang ia genggam terjatuh, menoleh sempurna pada arah suara yang terdengar frustasi memanggil namanya.
"Saya sudah panggil kamu tiga kali. Masih belum dengar juga?"
Mulutnya terkatup, seiring dengan iris legam itu bergulir gugup. "M-maaf miss."
Perempuan berkacamata tebal iti mendekati mejanya,mendesah berat saat lagi-lagi kertas yang ada di meja salaahh satau muridnya, penuh denegan sketsa abstrak seperti hari-hari sebelumnya.
"Kamu tidak memperhatikan penjelasan saya ya?"
Menunduk panik, jemari-jemari panjang itu saling bertautan tanpa jawaban. "Saya.. mencoba miss."
"Bohong miss! Daritadi mah si Alfa ngelamun terus ngeliatin jendela. Kayaknya gak dipake deh telinganya." Sahut seseorang di belakang, dibalas tawa riuh siswa-siswi lainnya. Membuat sosok yang menjadi pusat perhatian semakin tersudutkan.
"Be quiet Hortace. Kalau begitu, coba kerjakan soal nomor 3 di depan Alfa." boardmarker hitam itu tepat disodorkan di depan hidungnya.
Meneguk ludah, Alfa coba beranikan mengangkat kepala. Pemuda bersurai ikal itu bersitatap dengan mata elang sang guru. Patah-patah mengambil spidol, tubuh jangkungnya maju menuju papan tulis geser di depan kelas.
"Gabisa jawab lagi paling kayak kemaren kemaren."
"Haduh.. bakalan lama nih nunggu tu bocah satu."
"Alfa lagi? Seriously, apa dia gak pernah intropeksi? Kesel banget."
Cibiran-cibiran itu tak keras. Tapi juga tak pelan hingga sampai di rungu sang pemuda. Sudah biasa, tapi anehnya Alfa masih juga terpengaruh. Tangan kirinya semakin gencar memilin saku celana. Namun bukan itu yang membuat ia semakin cemas. Sejatinya ketakutan terbesarnya ada di hadapan. Jejeran alphabet yang tersusun rapi itu lah musuh terbesarnya.
Alfa mencoba fokus, tapi huruf-huruf di matanya malah berlarian. Membentuk kata-kata yang ia yakin bukan begitu maksudnya. Satu kalimat, hanya beberapa huruf yang jelas di pandangan. Lainnya buram dan terbalik. Membuat ia tak bisa sempurna membaca apa yang tertulis disana.
Napoleno breh4sil membuduki qrańcis..
Selalu seperti ini. Alfa memejamkan mata kuat-kuat. Menulis jawaban, yang ia sendiri tak yakin akan kebenarannya.
Dan gelengan sang guru meruntuhkan kepercayaan dirinya sekali lagi. Juga gelak tawa yang menyusul kemudian, berhasil membuat Alfa sepenuhnya menunduk malu.
"Kepula.. un Norhtpa.. li? Lo anak sd apa sma sih Fa? Nulis aja masih kebalik!"
"Mana tulisannya jelek banget kayak cakar ayam. Sakit mata gue liatnya."
Miss Helen menghela napas mendengar kelas yang kembali riuh menyoraki Alfa. Ia adalah pendidik. Melihat bahwa didikannya tak juga menunjukkan perubahan sejak pertama kali, membuat ia lelah. Ia tak mengerti apa masalah Alfa hingga anak itu sebegini bodohnya. Untuk menulis dan membaca yang menjadi kemampuan dasar saja, Alfa masih perlu diperbaiki.
"Anak pemalas." Decak perempuan paruh baya itu, sengaja benar diucapkan saat punggung Alfa melewatinya.
Dan Alfa tidak tuli. Ia mendengar semuanya dengan jelas.
"Aku gak malas miss." Cicitnya pelan. Hanya terdengar di telinganya sendiri.
Sejatinya ia ingin bersuara lantang. Bahwa ia belajar sepanjang malam, memaksakan matanya untuk memelototi barisan kata itu hingga mual. Mencatat puluhan halaman buku hingga tangannya gemetar. Dan membaca ratusan halaman hingga kepalanya pusing tak karuan. Tapi kemampuanya masih sama. Huruf-huruf itu tak bisa ia mengerti sepenuhnya.
"Stupid! Makannya masuk sini jangan nyogok, keparat."
Tendangan kecil di belakang bangkunya membuat Alfa tersentak. Pemuda bermata sipit itu diam, tak berani membalas kalimat menyakitkan itu. Dipermalukan adalah hal yang biasa untuknya sejak kecil. Alfa harusnya bisa beradaptasi.
"Alfa, saya sudah tidak bisa toleransi lagi. Besok, suruh wali kamu datang ke sekolah."
Mata sekecil lubang jarum itu terbelalak. Tanpa sadar jantungnya berdegup nyaring sekali. Alfa melayangkan tatap memohon teramat sangat, "jangan miss, tolong. Saya akan berusaha lagi, saya akan belajar lebih giat lagi."
"No, Alfa. Orangtua kamu harus tau, supaya mereka juga mendidikmu dengan benar di rumah. Saya sudah frustasi disini."
Bahu sang pemuda luruh begitu saja. Menatap sendu tubuh miss Helen yang kembali ke depan kelas. Seakan tidak peduli neraka yang akan ia alami sebentar lagi. Sekarang tak ada yang bisa ia pertahankan lagi. Alfa hanya bisa berdoa, papa tidak kelepasan seperti terakhir kali.
Tubuhnya tidak bisa bergerak hampir dua hari penuh saat itu. Dan itu masib menjadi mimpi buruk yang tak ingin ia ungkit kembali.
"Bodoh Alfa.."
——▪︎•■•▪︎——
Halooo, finally im back to my writters era huhu
Berikut disclaimer yang harus dipahami sebelum membaca:
■ Karya ini akan banyak mengandung unsur bullying and angst zone, jadi bagi yang tidak berkenan bisa angkat kaki
■ Cerita ini murni fiktif belaka dan tidak mengambil kisah hidup siapapun. Tolong jangan disangkut pautkan dengan kehidupan asli seseorang
■ Visualisasi para pelakon hanya alternatif imajinasiku, dan tentunya hak milik kembali pada mereka
■ Saran dan kritik sangat diterima disini, just dm me okay! :)
■ The last, terimakasih untuk yang sudah baca dan mampir. Selamat datang dan semoga betaahh—kasa, Maret 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Alphabet Miliknya
FanfictionHuruf-huruf itu terus berlarian, Alfa kelelahan mengejar. Ekspetasi papa ikut berhamburan, Alfa hampir mati menggapainya. Bisakah ia menciptakan alphabet-nya sendiri? Tak perlu terbaca, tak perlu tertulis. Dan tak perlu pengorbanan untuk semua yang...