"Selamat pagi remaja-remaja puber!"
Senyuman lebar menghiasi wajah lonjong itu. Dengan ceria memasuki auditorium, pria dengan surai red cherry-nya itu terlihat riang menegakkan stand kanvas di depan para muridnya. Namanya Dierja Josephine, guru kesenian yang baru masuk semester lalu.
"Lets start our lesson with yaaahooo!"
Awalnya memang terkejut setengah mati, menyangka Dierja adalah orang sinting yang menyamar menjadi guru. Tapi kini mereka mulai terbiasa dengan gaya mengajar Dierja yang rada-rada.
"Yaaahooo!"
Alfa tersenyum dari tempat duduknya. Ia memilih deret paling belakang, hanya ada satu orang di sisi kanannya. Berjarak 1 meter. Namun justru inilah ketenangan yang ia cari. Matanya yang terlingkup kacamata tebal, mencuri pandang pada Atlas yang duduk dengan gerombolannya. Terlihat asyik tertawa menanggapi jokes Dierja yang tak urung menghidupkan suasana belajar.
Kelas kesenian memang serentak seangkatan. Salah satu mapel yang paling ia sukai karena setidaknya bisa merasakan satu kelas dengan sang kembaran.
"Okey boys and girls. Materi hari ini adalah ragam aliran seni lukis, or whatever. Ada romantisme sebagai pengambaran emosi yang kuat, naturalisme sebagai pengabdian untuk alam, realisme dengan pengambaran peristiwa kehidupan yang nyata, dan masih banyak lagi."
Pendidik muda itu meringis melihat banyak pasang wajah menatap bingung, "saya tau kalian pasti cuma ngang ngong dengerin ini. Jadi kita langsung ke praktek aja ya yorobun. Lukis apapun, sesuka kalian. Beberapa karya akan saya pilih nanti untuk maju ke depan. Nah, baru saya jelasin tentang apa aliran yang beragam dari lukisan ente-ente semua."
"Paham?"
"Paham Sir!"
Alfa ikut mengangguk mengerti, membetulkan kacamatanya yang melorot. Anak itu mulai meluruskan standing canvasnya. Membuka palet-palet warna yang disediakan untuk setiap siswa. Manik bersihnya menatap hamparan canvas yang kosong.
Sekilas ia melirik murid di sampingnya yang juga sudah mendirikan canvas, tapi tak ada pergerakan setelahnya. Pemuda itu rupanya telah mendengkur halus, cepat sekali. Alfa tidak tau pemuda bertindik di kedua telinga di sampingnya, ia memang penghuni abadi kelas yang jarang keluar.
"Eeh!" Maniknya membulat, tangannya segera beraksi menadah dahi orang itu. Hendak membentur canvas karena kepalanya berayun ke depan.
"Hn?"
Mata itu terbuka, iris setajam silet itu laksana menghunus Alfa yang menelan ludah. Ternyata setelah ia amati lebih dekat, wajah orang ini menyeramkan. Bukan hanya tatapannya yang dingin, tapi juga aura gelap yang seakan hendak menelannya bulat-bulat.
"Ngapain ngeliatin gue hah?"
Cepat-cepat Alfa menarik tangan, membuat dahi yang ia tahan akhirnya betulan terantuk canvas. Pemuda itu mengaduh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alphabet Miliknya
FanfictionHuruf-huruf itu terus berlarian, Alfa kelelahan mengejar. Ekspetasi papa ikut berhamburan, Alfa hampir mati menggapainya. Bisakah ia menciptakan alphabet-nya sendiri? Tak perlu terbaca, tak perlu tertulis. Dan tak perlu pengorbanan untuk semua yang...