Sanggar hari ini ramai. Anak-anak selesai menjajakan dagangan mereka selepas sore karena jalanan yang mulai sepi dan rawan akan kejahatan. Rumah betawi Bas penuh hiruk pikuk anak-anak yang antusias melihat Alfa mempratekkan metode melukis baru, menggunakan pelepah pisang yang sudah ditebas. Hal itu dilakukan sebagai alternatif karena kuas yang dibeli Alfa tidak cukup untuk semua anak.
Dengan senyum manisnya, pemuda itu memperlihatkan potongan kecil pelepah pisang. Mencelupkannya di cat warna yang telah diencerkan untuk kemudian dibuat pola di kertas putih. Membentuk gerumulan daun di sebuah pohon yang rindang.
"Kreatif, inovatif, amazing."
"Ngomong itu terus, mulut lu kagak keseleo bang?" Tanya Bas jengah, menatap Dierja yang masih tekun mengikuti Alfa di depan sana.
Dierja menatap jenaka remaja itu, "benerin dulu tuh cat kamu mbleber kemana-mana."
Sedangkan Leon daritadi tak bergeming. Lelaki bersurai sebahu itu begitu fokus menatap hvsnya. Tubuh jangkungnya terlihat begitu raksasa bersila di barisan belakang. Dierja dan Bas menghentikan adu mulut, menatap lelaki Makau itu antusias.
"Lukis aja Leon, saya tunggu masterpiece kamu."
"Iyadah, buruan bang. Jangan dipantengin mulu tu kertas, kagak lari. Lagian kan lu dah merhatiin bang Alpa sampe melotot tadi, percaya aja dulu."
Disemangati begitu membuat Leon akhornya ragu-ragu mencelupkan pelepah pisangnya ke wadah cat. Masih di bawah tatapan menunggu Dierja dan Bas, tangannya berani membubuhkan pelepah pisang yang diselimuti warna di kertasnya yang bersih. Begitu dalam dan penuh penghayatan, sampai—
Robek.
Dierja dan Bas sama-sama menepuk dahi.
"Yaa kagak sampe robek juga jubaedah! Lu kedaleman nemplokinnya. Kagak pake otot kan bisa!"
"Duh, ganteng-ganteng kok oon."
Leon nyengir. Menampilkan deretan giginya yang besar. Malah membuat bocah laki-laki di sampingnya menjerit ketakutan. Takut dimakan.
Sedangkan Alfa disana telah berkeliling, melihat gambaran-gambaran beragam yang anak-anak buat. Beberapa menakjubkan, beberapa hanya asal. Bahkan bukan pelepah pisangnya yang dicelupkan, tapi satu hvs ia celupkan. Membuat lantai kotor karena tetesan cat. Alfa menggeleng sambil tertawa, namanya anak kecil.
Tapi ia jadi mengerti, tidak semua bakat anak-anak ini adalah melukis. Tidak semua ketertarikan mereka ada dalam bidangnya.
"Adit bisa tambahin nama disini, biar nanti gak ketuker sama yang lain."
Anak lelaki dengan plester di dahi itu mengernyit, menatap kertas bergambar sawah itu lamat. Kemudian memandang Alfa yang barusan bicara. "Nama gua bang?"
Alfa mengangguk.
"Abang aja yang nulisin boleh kagak? Aye udah lama kagak nulis, dah lupa dah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alphabet Miliknya
FanfictionHuruf-huruf itu terus berlarian, Alfa kelelahan mengejar. Ekspetasi papa ikut berhamburan, Alfa hampir mati menggapainya. Bisakah ia menciptakan alphabet-nya sendiri? Tak perlu terbaca, tak perlu tertulis. Dan tak perlu pengorbanan untuk semua yang...