A
lfa tersenyum, mata bulan sabitnya berhasil membuat lengkungan yang indah. Tangannya memeluk sebuah bag berisikan sekitar lusinan buku pelajaran bekas dirinya waktu kecil. Pemuda itu dengan semangat menyebrangi lampu merah. Rasanya tidak sabar untuk segera memberikan buku-buku mahal ini ke anak-anak.
Kemarin Leon sudah mendonasikan buku-buku baru, hampir satu truk saking banyaknya. Membuat anak-anak berlarian senang, mengerubunginya hingga tubuh raksasa itu rubuh.
"Semoga anak-anak gak sakit kepala." Ringis Alfa, pasalnya buku yang ia bawa adalah buku sains. Buku SMP yang harus dikuasai Alfa kecil karena tuntutan sang ayah.
Langkahnya benar-benar ringan, postur yang biasanya membungkuj itu sudah lebih tegak sekarang. Juga sorot matanya yang selalu menghindar dari tatapan orang-orang, akhirnya menyala.
Membara seperti semangatnya sekarang.
Perkembangan sanggar amat pesat. Dierja akan mampir selepas sekolah selesai, mengajar anak-anak jalanan dengan pembawaannya yang ceria. Memang hanya baca dan tulis terlebih dahulu, tapi setidaknya ada ilmu yang tersampaikan dengan baik. Bas pun tak kalah hebat, remaja itu benar-benar bersuara emas walaupun mulutnya seperti petasan. Mengomel sana sini.
"Heh, nyanyi ntu pake perasaan. Pake hati!"
"Lah ngapa sekarang diem aje lu pada?!"
"Katanya suruh nyanyi dalem hati, bang!"
"Pake hati! Bukan dalem hati bocah kencuurr!"
Leon beda lagi, aura kebodohannya tertutup sempurna oleh keseriusannya dalam membimbing anak-anak. Pekan pertama ia mengajarkan muaythai, tapi berhenti karena salah satu anak malah menunggunakan teknik tangan panjangnya untuk mencopet di angkot. Dijewer Leon sih, besoknya mereka berkeliling untuk mengembalikan uang si korban.
"Bang, aye cuma ngambil gopek! Ini lu ngapa ngembaliin sejuta?!"
Kalau gini mah korbannya minta dicopet lagi.
Alfa tertawa mengingatnya, pikirannya masih asyik berkelana. Dirinya sudah sampai di taman kota, tempat yang mereka sepakati untuk belajar bersama kali ini. Sebelum sebuah dorongan kuat berhasil membuatnya terjerembab ke aspal jalan. Tiba-tiba, pemuda itu tak sempat mempetahankan keseimbangan.
"Eh, sorry gak sengaja.. cupu."
Panggilan terakhir berhasil membuat Alfa yang masih membereskan bukunya yang berserakan, terpaku. Bulu kuduknya meremang mengenali suara itu, salah satu sumber dari semua mimpi buruknya. Amat perlahan, lelaki bermafa sipit itu mendongak. Meremas kuat celananya menyadari tiga orang berwajah familiar menyeringai remeh menatapnya.
"Well, kayaknya setiap pertemuan kita adalah takdir, ya nerd?" Sahut si surai sebahu—Hortace, berjongkok tepat di depannya. Matanya yang tak kalah sipit menelisik wajah pucat di depannya dengan senyum tersirat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alphabet Miliknya
FanfictionHuruf-huruf itu terus berlarian, Alfa kelelahan mengejar. Ekspetasi papa ikut berhamburan, Alfa hampir mati menggapainya. Bisakah ia menciptakan alphabet-nya sendiri? Tak perlu terbaca, tak perlu tertulis. Dan tak perlu pengorbanan untuk semua yang...