5. ambisi tak berhati

437 91 26
                                    

Sedari tadi senyum Alfa tidak luntur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sedari tadi senyum Alfa tidak luntur. Pemuda delapan belas tahun itu bahhkan bersenandung kecil, di tangannya ada berlembar hvs yang dipenuhi gambaran anak-anak sanggar. Ucapan selamat datang untuknya. Tapi Alfa tidak keberatan, justru mendekapnya erat seakan tak ingin kehilangan satupun.

Langit sudah menunjukkan kondisi petang, Alfa segera masuk ke mansion dengan hati berbunga.

Tak menyadari bahwa ada yang menunggunya dengan amarah memuncak.

"Darimana saja kamu?"

Berjengit, tubuh sang pemuda meremang mendengar nada datar nan arogan itu. Berat hati ia membalikkan badan, meneguk ludah saat menemukan presensi pria paruh baya berkacamata tengah menatapnya instan.

"Papa.."

"Saya tanya kamu darimana Alfa?!" Papa mendekat dengan wajah tegasnya, "papa bilang, weekend itu untuk belajar. Kamu malah keluyuran gak jelas. Sudah merasa pintar ya?"

"N-no papa, i just-" bibir tipis itu kelu, namun langsung kelabakan saat tangan sang ayah menyambar hvsnya begitu saja.

Terlihat sekali ekspresi marah yang tergambar dari raut wajah yang mulai keriput itu, Alfa meremas bajunya cemas. Merasakan sebentar lagi ada sesuatu yang buruk akan terjadi.

Dan benar saja-gambaran anak-anak, disobek keras oleh Papa.

"Jangan pa.." lirih Alfa, tapi tidak bisa berbuat banyak. Memandang sendu hadiah-hadiah berharga yang kini berserakan di lantai.

"I have told you for your entire life, Alfa Laurtney. Jangan buat waktu kamu untuk hal gak berguna seperti ini!"

Hal tidak berguna katanya? Padahal hanya dengan melukis, Alfa bisa tersenyum lagi. Padahal hanya dengan melukis, Alfa bisa menyalurkan emosi yang tak bisa tertuang dan menghancurkan diri. Padahal hanya dengan melukis, Alfa bisa merasakan jiwa dan raganya saling berkoneksi tanpa paksaan apapun, siapapun.

"Alfa minta maaf papa."

Sang kepala keluarga menghempaskan nafas kasar, berujar dingin pada putra keduanya.

"Ikut papa."

Alfa kembali gemetar, papa membawanya ke gudang itu lagi. Gudang dengan lima rak buku-buku tinggi yang menjadi ruang pennghukumannya. Saklar lampu dibiarkan temaran. Mau tak mau ia ikut masuk, sudah mendapati tiga huku tebal di atas meja. Buku Bioetika Kedokteran, Fisiologi Dasar Junqueira, dan satu buku asing Hospital Care for Children.

Bahkan sekarang Alfa sudah merasakan pening.

"You know what you should do, right?"

Pemuda bermata bulan itu mengangguk lemah, mulai mengambil buku pertama. Ia bahkan belum berganti baju dan makan siang, tapi Alfa takut hukumannya akan ditambah jika ia berani mengatakan. Maka oa mulai mengambil kacamata yang ada di sakunya dan bersiap untuk duduk, sebelum-

Alphabet MiliknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang