11. Rasa

48 27 15
                                    

; Rasa ... yang mungkin belum disadari ;

—Enjoy the Story

»«


Kegiatan yang berlangsung di Jambi itu akan berakhir besok. Ini adalah hari terakhir pembelajaran, dan seharusnya giliran Haifa yang mengajar. Namun, sayangnya sejak semalam gadis itu tak mampu keluar dari selimutnya.

Indah—teman satu kamarnya, menempelkan punggung tangannya di dahi Haifa. "Astaga, Fa, panas banget," serunya.

Buru-buru Indah keluar kamar untuk mendapatkan pertolongan pertama. Dia berniat meminta obat pada salah satu pengurus kesehatan, tapi sayangnya tak satupun orang dari divisi kesehatan yang ada di tempat.

Akhirnya dia putuskan mengambil air hangat untuk mengompres Haifa agar panasnya reda.

"Buru-buru banget, Ndah, mau ke mana?" Rayan menyapa.

"Haifa demam tinggi." Indah ceritakan juga kesulitannya mendapatkan obat.

Rayan ikut khawatir mendengar kabar itu. Dimintanya Indah menjaga Haifa, sementara dirinya keluar untuk mencari obat.

Niat awalnya, Rayan ingin mengajak Haifa untuk berangkat bersama ke tempat pembelajaran. Begitu mendengar si gadis sakit, lelaki itu membuka maps untuk melihat apotek terdekat, lalu mengikuti tuntunan tersebut.

Kembali dengan obat di tangannya, Rayan menghampiri kamar Haifa dan Indah, lalu mengetuk pintunya. Dia berdiri agak jauh dari pintu ketika Indah keluar menemuinya.

"Panasnya udah turun?"

"Lumayan, nggak sepanas tadi. Kamu dapet obatnya?" Rayan mengangguk dan menyodorkan obat penurun demam yang berhasil ia dapatkan.

"Dia udah makan?" Indah menggeleng pelan, lalu berucap, "Haifa nggak nafsu makan."

"Tolong tanyain dia, Ndah, mau makan apa? Biar aku cariin." Indah menjalankan tugasnya.

Rayan menunggu dengan khawatir. Tak dia sangka teman ceritanya itu jatuh sakit. Baru saja rasanya mereka bersenang-senang mencicipi makanan Jambi.

Kala Indah keluar dari kamar, Rayan kembali mengulang pertanyaannya tentang makanan yang Haifa inginkan.

"Dia nggak mau makan apapun. Nggak nafsu katanya."

"Nggak bisa gitu, dong." Rayan menghela napas. "Ya udah, aku keluar cari makan dulu. Haifa harus makan dulu sebelum minum obat. Tunggu, ya." Secepat kilat Rayan keluar dari hotel yang mereka huni, lalu mencari makanan yang bisa dimakan oleh orang sakit.

Rayan tak tau spesifik makanan yang Haifa suka, jadi ia beli saja apa yang bisa dibelinya. Ada bubur ayam, nasi gemuk, soto, dan beberapa kue basah.

Si lelaki mampir di kamarnya lebih dulu dan mengambil kertas dan pena. Ditulisnya beberapa kata, berharap dengan itu Haifa bisa melahap makanan yang ia bawa.

Rayan kembali mengetuk pintu kamar Haifa dan Indah, lalu menunggu sampai Indah keluar.

"Wah, banyak banget."

"Nggak pa-pa, biar Haifa bisa milih mau makan apa." Indah menerima kantong plastik berisi makanan itu.

"Ini, Ndah, tolong kasih ke Haifa, ya." Rayan memberikan secarik kertas yang ditulisnya tadi. Indah tersenyum jail sebelum kembali masuk ke kamar.

"Haifa, kamu harus sembuh! Rayan nguras duitnya buat kamu, dan ngirimin kamu surat cinta!" Teriakan itu sayup ditangkap telinga Rayan sebelum dirinya meninggalkan kamar dua gadis itu.

Rayan mengulum senyum.

***

Sebelum Rayan memutuskan untuk mendaftar pada event Jambi ini, ada satu peristiwa yang tak dapat dilupakan.

Cerita cintanya dimulai dari dia mengenal sang gadis, gadis idaman yang pernah diceritakannya pada Haifa. Namanya Ayra. Pemilik senyum manis dan pandangan yang teduh.

Rayan terbuai dalam kenyamanan yang Ayra berikan. Dirinya banyak bercerita pada si gadis, tentang apapun.

Dalam hatinya sudah tertanam niat baik untuk gadis periang itu. Namun, ketika hari itu dilihatnya pemandangan tak enak dipandang, niat itu hancur.

Ayra yang dianggapnya sebagai gadis baik-baik, nyatanya bermain liar dengan lelaki. Rayan tak bisa berkata-kata melihat Ayra yang tak berhijab, Ayra yang tak segan bersentuhan dengan lelaki, Ayra yang tertawa menikmati candaan.

Hilang sudah niatan Rayan untuk meminang gadis itu setelah lulus kuliah. Ingatannya mengenai waktu yang mereka habiskan bersama perlahan terputar.

Rayan sama sekali tak pernah menyentuh Ayra. Dia pun mengajak Ayra jalan-jalan hanya satu atau dua kali. Kemudian untuk membeli keperluan, hanya beberapa kali. Itu pun lebih banyak mereka pergi dengan teman-teman Ayra juga.

Masa-masa setelah itu, Rayan menjauhi Ayra. Menyibukkan diri dengan berbagai macam kegiatan, termasuk kegiatan yang berlangsung di Jambi itu.

"Ngapain bengong siang-siang bolong gini, Bang?" Rayan menarik diri dari lamunan ketika Haidar menepuk pundaknya.

"Dari mana aja?" Rayan balik bertanya.

"Dari tempat ngajar. Haifa sakit, ya?" Rayan mengangguk menjawab pertanyaan itu.

"Karena Indah di sini, jadi aku cabut aja dari sana." Haidar mengakhiri perkataannya dengan cengiran. Rayan menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kebucinan lelaki nonis itu.

"Kamu udah jenguk Haifa?"

"Tadi ngantar obat sama makanan, sih." Haidar menatap bangga pada temannya itu.

"Kerja bagus, Bro. Cewe paling suka sama cowo act of service." Dia berucap sambil menepuk-nepuk pundak Rayan.

"Apaan, sih, Dar. Wajar dong, 'kan temen harus saling membantu." Niatnya membela diri, tapi entah mengapa Rayan tak mampu menahan senyumnya.

"Sudahlah, Boy, jangan disangkal terus. Akui aja, kamu suka Haifa 'kan?" Haidar menaik-turunkan alisnya dan tersenyum jail.

Rayan tak menyahut lagi. Senyumnya yang semakin lebar itu tak tahu mau diartikan seperti apa. Ia sendiri masih bertanya-tanya. Selama ini, betulkah ia tak menyimpan rasa untuk teman seperjuangannya itu?

Tiba-tiba saja kelebat waktu yang dihabiskannya bersama Haifa hinggap di kepala. Latihan MC ... makan bersama ... tugas-tugas yang dibantu Haifa ... tatapan teduh gadis manis itu ....

Percakapan dengan Haidar memaksa Rayan untuk terus berpikir tentang perasaannya. Dia menolak mengakui menyukai Haifa setelah baru saja patah hati dengan gadis sebelumnya.

Namun, mengapa kebersamaan dengan Haifa terus menghantui?

Entah dorongan dari mana, Rayan menyadari dirinya sudah ada di depan kamar Haifa dan Indah. Lama dia hanya diam dan berpikir. Haruskah dia mengetuk pintu? Tapi Rayan tak tahu apa yang akan dikatakan pada gadis yang akan membuka pintu nanti.

Lelaki itu mondar-mandir seperti ilmuwan yang mencari solusi atas masalah dalam teorinya. Ditengah kebimbangan itu, pintu terbuka dan memaksa Rayan untuk menoleh.

Sejenak lelaki itu terpaku. Lidahnya seakan kelu ketika memandang gadis dengan tahi lalat di hidung yang dari tadi mengisi pikirannya.

"Kamu ada keperluan di sini?" Si gadis lebih dulu bersuara.

"O-oh, nggak juga. Kamu udah baikan, Fa?" Rayan mengutuk dirinya yang tiba-tiba menjadi gagap.

Haifa mengangguk pelan. "Makasih, ya, buat obat sama makanannya. Kata Indah, kamu keluar buat nyari obat, ya?"

Rayan mengangguk dan tersenyum.

"Maaf jadi ngerepotin kamu."

"Eh, nggak masalah. Saya nggak merasa direpotkan kok. Yang penting kamu sembuh."

"Makasih, ya." Rayan tak tahu apa yang salah dengan dirinya ketika gadis di depannya itu tersenyum. Senyum manis yang membuat jantungnya berpacu sepuluh kali lebih cepat.

***

Kalo diminta milih, Haifa bakal pilih Rayan atau Daib, ya?
Hohoho.

Tbc.

SenandikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang