Episode 21

25 2 0
                                    

Selamat membaca teman-teman. Semoga terhibur dengan cerita di episode ini yaaww...
Selalu dukung Biru Zen terus yaw dan boleh bantu vote jugaaaaa!!!!

Pagi dengan segelas susu hangat. Aku sedang duduk di sofa depan TV. Melihat kartun di TV milik rumah tua ini. Di luar jendela kaca, aku melihat Willy yang sedang menyirami sayuran.

Tante Melati menghampiriku. Membawa sepiring pisang goreng yang masih hangat. Menaruhnya di meja depan TV. Lalu, Tante Melati duduk di sebelahku. Aku mengganti siaran kartun dengan siaran berita.

Terdengar suara pintu yang terbuka. Willy masuk dengan tangan yang penuh tanah basah. Dia menuju kamar mandi. Lalu, bergabung dengan kami.

"Ovanya, kamu mau ke kebun milik Kakekmu? Di sana banyak stroberi loh." Tante Melati berbicara padaku.

"Mau, Tante. Memangnya sekarang siapa yang mengurus kebun itu, Tante?" Aku bertanya.

"Orang pekerja. Sekarang Tante sudah banyak memperkerjakan orang untuk mengurus kebun milik Kakekmu." Aku mengangguk mengerti.

"Willy, kamu ikut?" Tanyaku. Willy menganguk.

Aku masuk ke kamar. Mengambil jaket yang menggantung di belakang pintu. Tante Melati sudah menyalakan mesin mobil di luar pagar. Aku duduk di depan bersama Tante Melati. Willy sempat protes ketika aku duduk di depan. Namun, Tante Melati membiarkanku untuk duduk di depan. Akhirnya Willy mengalah.

Perjalanan menuju kebun milik Kakek sekitar sepuluh menit dengan mobil. Di sana banyak sekali stroberi yang sudah masak. Tante Melati memetik beberapa stroberi untukku. Rasanya manis dan sedikit asam.

Tante Melati menyuruhku memberikan stroberi ke Kak Ceo. Kak Ceo tersenyum lebar, noda rona terbit di pipinya. Kak Ceo tidak berhenti salah tingkah saat ada orang yang menggangapnya ada walaupun orang itu tidak bisa melihat Kak Ceo.

Aku menyusuri kebun ini bersama Kak Ceo. Entah sudah berapa lama kami masih memetik stroberi. Aku tidak khawatir kehilangan jejak Tante Melati dan Willy. Karena, di sini ada Kek Ceo. Penyelamatku. Aku tidak perlu mengkhawatirkan apapun saat bersamanya.

Semuanya akan baik-baik saja ketika aku di temani Kak Ceo. Namun, tidak butuh waktu lama lagi aku akan berpisah dengan pelindungku. Aku jadi mengkhawatirkan segalanya. Aku hanya gadis payah yang cengeng. Semua itu bisa di tangani oleh Kak Ceo. Bahkan saat Ziko membenciku yang cengeng, Kak Ceo malah menadahi air mataku. Dia tidak sudi air mataku jatuh di atas lantai yang kotor. Dia datang karena takdir. Maka, dia pergi juga karena takdir.

Willy menghampiriku. Mengajakku untuk pulang. Kali ini aku duduk di belakang bersama Willy. Namun, aku memberi sedikit jarak untuk Kak Ceo duduk. Walaupun Kak Ceo bisa lebih dulu sampai ke rumah Nenek dengan berjalan kaki, tapi aku lebih nyaman jika Kak Ceo bersamaku di sini.

Kami sampai di rumah Nenek. Tante Melati langsung ke dapur untuk memasak makan siang. Aku pergi ingin membantu. Memotong wortel dan kentang. Naasnya, jariku malah ikut terpotong.

Tante Melati panik. Berlari mengambil kotak P3K. Membalut lukaku dengan plester. Kak Ceo juga sedari tadi menatap tanganku yang terluka. Menurutku terkadang dia adalah orang yang terlalu khawatir.

Saat aku tergores sedikit luka, dia akan merasa dirinya gagal menjagaku. Padahal aku tidak merasa begitu. Itu adalah hal wajar. Tante Melati menyuruhku untuk kembali ke kamar. Tidak perlu membantu memasak.

Kak Ceo masih terlihat kecewa dengan dirinya sendiri. Mungkin karena hal ini bisa saja terakhir kalinya dia menjagaku dari sebuah luka goresan. Dia merasa tidak ada kesempatan kedua.

"Tidak perlu begitu Kak. Kamu juga selama ini sudah menjagaku dengan baik. Ini adalah kesalahanku karena aku ceroboh dan tidak berhati-hati." Aku mengelus wajahnya dengan lembut.

"Tapi ini adalah terakhir kalinya Ovanya. Harusnya aku tidak lalai. Ini... Ini terakhir kalinya." Kak Ceo menundukan kepalanya.

"Tidak. Ini tidak akan jadi untuk terakhir kalinya. Saat kamu kembali ke ragamu, kamu juga bisa tetap menjagaku Kak."

Kak Ceo menatapku dengan tatapan itu lagi. Tatapan yang sulit kumengerti. Matanya berbinar. Lalu, tatapan itu di akhiri dengan senyuman manis dan mata sipitnya.

Akhirnya kami hanya menghabiskan waktu dengan bercerita banyak hal di kamar ini. Suasana gelak tawa di kamar ini bersama Kak Ceo malah membuatku benci dengan perpisahan yang akan datang.

Sebuah ketukan pintu terndengar dari luar kamar. Aku dengan segera membuka pintu itu. Willy berdiri di sana. Dia menyuruhku untuk makan bersamanya dan Tante Melati.

"Aku bisa mengantarmu Ovanya malam ini. Tidak perlu menunggu besok jika kamu mau." Willy berbicara dengan nada serius.

"Eh? Mengantar kemana?" Tante Melati bertanya.

"Ke tempat permata itu, Tante. Memangnya kakimu sudah sembuh, Willy?"

"Setidaknya sudah baikan."

"Tante bisa mengantarmu dengan mobil jika kalian mau."

"Tidak Ma, hujan akan sangat deras. Mobil sulit melewati jalan yang becek seperti rute ke tanah lapang." Willy menjelaskan.

"Tapi memangnya bisa membawa si kembar dengan sepeda?" Tanyaku.

"Bisa. Aku sudah terbiasa melewati rute seperti itu. Membawa anak kecil seperti mereka bukanlah masalah besar bagiku." Willy tersenyum sombong.

"Baiklah. Nanti kita minta izin kepada keluarga Bumi dan Bulan." Kataku.

                              ***
Sore hari dengan hujan yang sangat deras. Entah mengapa hujan sudah turun di sore ini. Padahal seharusnya nanti malam. Aku mengambil payung yang di letakan di belakang pintu.

Aku pergi menuju rumah Syasya bersama Willy dan Kak Ceo. Aku mengetuk pintu rumah Syasya. Namun, yang membuka pintu malah Bumi dan Bulan. Mereka memelukku dengan erat.

Ibu Syasya menyuruh kami masuk. Aku duduk di sofa tamu milik keluarga itu. Aku sangat gugup untuk membicaran ini semua. Aku takut mereka tidak mengizinkan Bumi dan Bulan untuk membantuku.

Pada akhirnya, Willy yang angkat bicara. Willy menjelaskan dengan sedetail-detailnya. Kami masih menunggu jawaban dari pihak keluarga Syasya.

"Sebenarnya aku sebagai Tantenya mungkin keberatan. Namun, Bumi dam Bulan sudah mensetujui hal ini. Maka aku akan mengizinkan." Ibu Syasya menghela napas panjang.

"Tapi Bu, aku takut terjadi hal yang buruk pada Bumi dan Bulan." Syasya menaikkan nada bicaranya.

"Syasya, dengarkan Ibu. Nenek Ari adalah orang yang selalu menemani Bulan. Dia yang menyembuhkan Bulan. Walaupun cerita itu tidak masuk akal, namun itulah kenyataanya. Nenek Ari memang sudah meninggal saat Bumi dan Bulan lahir. Tapi Nenek Ari memanglah orang yang membantu persalinan Bumi dan Bulan. Ibu dan Tantemu melihatnya. Saat Tantemu sudah kelelahan saat melahirkan, kami melihat sesosok yang membantu Ibu Bumi dan Bulan. Itu adalah Nenek Ari. Kulitnya sangat bersinar di saat itu. Dia memegangi perut Ibu Bumi dan Bulan. Tidak lama kemudian Bumi dan Bulan lahir. Bulan memang lahir dengan selamat, namun dia memiliki keunikan. Begitu juga dengan Bumi. Nenek Ari sempat memberi pilihan untuk Ibu Bumi dan Bulan. Apakah si kembar akan lahir, atau biarkan saja si kembar kembali ke surga. Jika memilih untuk lahir, maka, si kembar akan menjadi anak yang istimewa. Ibu Bumi dan Bulan memilih untuk melahirkan mereka. Alhasil mereka memang memiliki hal yang tidak di miliki orang lain.
Jika Bumi dan Bulan sudah setuju, lalu, apakah kita berhak melarang mereka, Syasya?" Syasya merenung. Dia terlihat kecewa.

Aku mengelus pundak Syasya. Aku berjanji kepadanya, Bumi dan Bulan akan baik-baik saja bersamaku. Aku jamin itu. Pada akhirnya Syasya harus menyetujui ini semua.

Terimakasih sudah membaca teman-teman!!! Nantikan episode selanjutnya yaww!!!

Permata Jiwa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang