Episode 22

27 2 0
                                    

Selamat membaca teman-teman. Semoga terhibur dengan cerita di episode ini yaaww...
Selalu dukung Biru Zen terus yaw dan boleh bantu vote jugaaaaa!!!!

Malam ini adalah malam yang menegangkan. Benar kata Kak Ceo. Hujan malam ini di sertai dengan badai. Suara petir yang menggelegar bersaut-sautan dengan ganasnya.

Aku mengambil payung dan mantel hujan. Aku menatap jam dinding. Sekarang pukul 21.45 karena sinar rembulan hanya bisa di pasang dua jam oleh Bulan, aku memutuskan berangkat sedikit lebih awal.

Willy sudah menunggu di pagar rumah. Sudah siap dengan mantel hujan dan sepedanya. Aku berpamitan kepada Tante Melati. Dia hanya mencium keningku dan di berbarengi oleh air mata yang menetes.

"Willy, aku akan berjalan kaki dari sini. Kamu tolong bawa Bumi dan Bulan pada pukul sepuluh tepat, oke? Bantu mereka bersiap-siap."

"Hah? Kamu gila ya? Ini badai loh. Kamu serius akan begitu? Kamu sendirian loh." Willy berdecik kesal.

"Aku tidak sendirian, Willy. Aku bersama Kak Ceo. Kamu tidak perlu khawatir jika aku bersama Kak Ceo. Ini adalah terakhir kalinya aku bersamanya. Dengan ingatanya yang begitu indah." Aku mendukkan kepala, menatap tanah yang basah dengan mata sayu.

"Kamu yakin, Ovanya?" Aku mengangguk mantap.

Aku melangkah menuju pagar. Aku merasakan ada sesuatu di sakuku. Kak Ceo menaruh entah apa di saku jaket milikku. Aku hendak menggambilnya, namun, Kak Ceo langsung menggandeng tanganku.

"Kamu menaruh apa di sakuku Kak?"

"Bukan apa-apa. Ayo kita lanjutkan perjalanan."

Ini adalah perjalanan terakhirku bersama Kak Ceo dengan ingatanya.

***

Ini sudah seperempat jalan. Petir dengan ganasnya menampakan kilatnya. Aku sempat ketakutan. Namun, Kak Ceo menutup telingaku agar aku tidak mendengar suara petir itu.

Kami berjalan tanpa sepatah katapun. Aku diam. Kak Ceo pun begitu. Kak Ceo berjalan di depanku kali ini. Dia memastikan tidak ada jalan yang berlubang di jalur yang akan aku lewati. Dia mengambil ranting-ranting yang berjatuhan di jalan karena badai.

Kami sudah setengah jalan. Namun, masalah baru muncul. Angin yang sangat kencang menerjang badanku dan Kak Ceo. Aku hampir terlempar kebelakang. Kak Ceo dengan cepat menarik tanganku.

Matel hujanku robek. Sepertinya tersangkut ranting yang ikut terbang. Kami memutuskan untuk berteduh sebentar hingga badai sedikit reda. Tapi badai ini tidak akan reda hingga Kak Ceo tenang.

Kami berteduh di gubuk yang kosong dan gelap. Aku melepas mantelku. Aku tidak akan megenakannya lagi, karena bagian robeknya hanya akan menghambat langkah jalanku.

Gubuk ini benar-benar sepi. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Aku melirik ke arah Kak Ceo. Dia terlihat begitu tidak bersemangat. Kalau begini terus mungkin badai ini tidak akan berhenti. Sedangkan kami juga sedang diburu oleh waktu.

"Kak, kamu masih mengkhawatirkan masalah ini?" Aku meraih pundaknya.

"Hmm... Mungkin. Maaf Ovanya, aku tidak bisa menahan ini semua. Maafkan aku. Aku hanya membuat rencana gagal." Kak Ceo menghela napas panjang.

"Bukankah sudah aku bilang, kamu tidak perlu menkhawatirkan ini semua, Kak. Aku berjanji, aku akan membuat kamu ingat dengan semua hal ini." Aku mengelurukan kelingkingku.

Kak Ceo tersenyum. Khas dengan mata sipitnya. Dia juga membalasnya dengan kelingking. Ini adalah janji ringan yang tidak akan merugikan pihak manapun. Badai mulai surut. Senyum Kak Ceo terlukis di wajahnya. Seperti pelangi yang terlukis setelah badai.

Permata Jiwa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang