Episode 29

30 2 0
                                    

Selamat membaca teman-teman. Semoga terhibur dengan cerita di episode ini yaaww...
Selalu dukung Biru Zen terus yaw dan boleh bantu vote jugaaaaa!!!!

Hari ini aku memutuskan untuk ke rumah Kak Ceo lagi. Aku tidak akan menyerah hingga dia mengingatku lagi. Aku harus menepati janjiku.

Kali ini aku naik transportasi umum. Jalan raya di penuhi dengan kendaraan beroda dua ataupun beroda empat. Debu beterbangan kemana-mana. Sinar matahari juga sangat menyengat.

Perjalanan ini cukup memakan waktu. Di tambah lagi dengan macetnya jalan raya. Itu membuat perjalanan ini semakin lama.

Aku sampai di rumah Kak Ceo. Pak satpam membukakan gerbang yang menjulang tinggi itu. Aku terus melangkah menuju pintu utama rumah. Halaman rumah ini sangat luas, banyak bunga-bunga bertebaran.

Aku memencet bel yang berada di samping pintu besar, menuggu jawabann dari dalam. Tante Claudia membukakan pintu. Senyumnya yang tadi terlukis, terhapus seketika saat melihatku. Ini membuatku bingung, biasanya Tante Claudia selalu menyambutku.

"H-halo Tante." Aku menyapa canggung.

"Ada kepentingan apa?" Tante Claudia bertanya singkat.

"Aku ingin bertemu Kak Ceo, Tante." Suasana ini sungguh canggung. Tidak seperti biasanya.

"Ovanya, aku minta padamu, tolong jauhi Ceo. Selama ini dia menderita karenamu. Aku berpikir kamu anak yang baik karena mau mengembalikan Ceo kepadaku, namun, kamu juga membawa banyak efek buruk bagi Ceo. Ceo selalu merasa pusing yang hebat dan juga dada yang sesak saat kamu mengingatkannya tentang masalalunya bersamamu. Bisakah kamu menjauhi Ceo? Bisakah kamu berhenti untuk membuatnya mengingat masalalunya? Jika kamu ingin melihat Ceo bahagia, maka biarkan dia bahagia dengan caranya sendiri. Tidak harus denganmu. Aku sudah membiarkan Ceo pergi selama ini, aku sendirian di sini. Biarkan Ceo bersamaku kali ini. Jangan usik dia lagi. Jika tidak ada ada keperluan lain, cepatlah pulang." Tante Claudia membanting pintu itu dengan sangat keras.

Badanku mematung. Masih mencerna kejadian barusan. Mataku tak kuasa menahan air mata. Aku pergi dengan rintihan air mata. Bahkan langit seperti tahu keadaanku. Langit mulai membuat awan mendung, satu atau dua petir mulai meneriakkan jeritannya.

Pikiranku terbang bebas menuju jurang sampah di bawah sana. Semua hanya pikiran buruk sekarang. Tante Claudia bahkan sekarang tidak ingin aku datang. Aku membalikkan badanku sekali lagi. Mungkin saja tadi hanya bayanganku. Namun, sepertinya tidak. Pintu itu tertutup rapat.

Aku melihat seorang pria jakung di atas balkon. Dia menatapku dari ketinggian. Tatapannya dingin. Namun, matanya juga berbinar. Itu tatapan yang hingga saat ini masih tidak bisa kumengerti.

Hujan mulai turun. Aku terus berjalan. Tidak peduli bajuku basah. Biarkan hujan meredam semua rasa perih hati ini. Tidak ada lagi orang yang bisa menerimaku di rumah ini.

Aku menyerah. Maafkan aku, Kak. Aku menyerah kali ini. Kamu tahu aku tidak sekuat baja. Aku seperti tisu yang mudah koyak. Bahkan tidak sekuat kertas.

Jika akhirnya kita tidak bisa bersama kembali, setidaknya semesta tahu, aku dan kamu pernah melukis semua kenangan indah di atas kanvas yang kosong. Aku sampaikan maafku. Aku benar-benar menyerah kali ini.

Ceo

Aku melihat seorang gadis remaja dari atas balkon yang sedang kutumpangi. Dia menatapku dari bawah sana. Petir menggelegar. Ovanya melangkahkan kakinya, pergi dari halaman rumah.

Aku menelan ludah. Ada perasaan yang membuatku ingin mengejarnya. Jantungku berdegup kencang. Aku tidak paham dengan perasaan ini. Aku masuk ke dalam kamar. Menenangkan diri.

Permata Jiwa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang