04

68 3 1
                                    



"Kamu dimana?!."

Arga menjauhkan ponsel dari telinganya, kala suara Nala terdengar begitu nyaring. Dia berdecak, sebelum kembali menempelkan ponselnya.

"Aku di luar, ru—"

"Luar! Jam segini kamu masih di luar?!."

Arga menghela napas, melangkah ke balkon  mencari sedikit udara segar karena tiba-tiba merasa pengap. Walaupun di kamar Sarga ini sudah terpasang pendingin ruangan.

"Pulang sekarang." Nala kembali bicara di seberang sana, saat tidak mendengar jawaban Arga.

Nada bicara bundanya terdengar santai. Namun berhasil memancing emosinya."Ini baru jam sembilan—"

"Sepuluh kurang."

"Fine." Rahang Arga mengetat, mati-matian menahan suaranya agar tidak meninggi. "Tapi, aku masih ada urusan dengan Sarga"

"Ana sendirian di rumah—"

Dan begitu saja, gadis sialan itu langsung menjadi pembahasan. Seolah-olah hanya dia anak satu-satunya yang harus di perhatika melebihi dirinya. Dia hanya menjadi sosok yang selalu terlupakan jika menyangkut gadis itu.

"Iya. Nanti aku pulang"

"Sekarang. Bukan nanti Arga."

"Bun. Aku masih ada urusan Penting dengan Sarga. Dan di rumah ada Bi Ijah kan?." Rupanya tidak ada pengertian sedikut pun untuk dirinya. Ia terkekeh sinis, merasa muak dengan semua ini. Dia juga mempunyai urusan yang lebih penting dari pada mengurus anak manja itu.

"Bi ijah izin pulang, cucunya lagi sakit. Itu sebabnya Bunda suruh kamu pulang. Adikmu sendirian sekarang, jadi Bunda mohon, pulang ya"

Jika sudah seperti ini, mau menolak dengan alasan apapun sudah pasti percuma. Bunda menutup panggilan sepihak, tanpa mendengar dia setuju atau tidak.

"Kusut amat tu muka?." Sarga baru masuk setelah keluar untuk ambil minum, dahinya mengernyit melihat tampang masam temannya.

Arga bungkam mengambil kasar jaket yang masih tergeletak di kursi Sarga. "Gue cabut"

"Lo nggak jadi nginep—woy! Bangke! Tu anak kenapa?!."

Dia masih mendengar teriakan Sarga, tapi malas meladeninya untuk saat ini.

Jarak rumahnya dengan rumah Sarga tidak terlalu jauh, butuh lima belas menit untuk sampai. Dia menekan bruntal kelakson motornya menimbulkan bunyi yang sangat bising. Namun, ia berheti karena baru teringat jika mang Udin juga ikut keluar kota. Dia berdecak lalu bergerak turun dari motornya. Lagi-lagi umpatan kasar keluar dari mulutnya kala melihat gerbang masih terkunci. Arga kembali ke motornya dan langsung menghubungi nomer Ana yang di kirim Bundanya. Kalau saja Nala tidak mengirimkan nomernya, mungkin dia tidak akan memiliki nomer gadis itu.

"Hal—"

"Buka gerbang sekarang. Cepet!"

Dan tidak lama ia lihat lampu kamar gadis itu menyala. Terdengar derap langkah yang berlari ke arah gerbang. Lalu di susul bunyi berisik dari gerbang yang tengah di buka.

Ana dengan sisa katuknya, berusaha sekuat tenaga membuka gerbang yang berat itu. Gerbang terbuka tidak lama. Dan ana mendengkus melihat Arga diam saja di atas motornya. Tidak ada niatan membantunya apa?.

Arga langsung masuk dan tidak kembali untuk membantu Ana menutup gerbang. Kekesalan Ana betambah dua kali lipat karena tingkah saudaranya itu. Setelah memastikan gerbangnya terkunci rapat, Ana dengan langkah gontai masuk kembali, karena malam ini udaranya terasa lebih dingin.

"Lo emang cuma bisa nyusahin ya."

Baru saja Ana selesai menutup pintu ia sudah di kejutan dengan suara dingin Arga. Tubuhnya dengan kaku berbalik. Ia temukan tatap pria itu begitu menyerahkan malam ini.

Arga bersedekap menatap datar gadis di depannya. Jika saja di depannya bukanlah wanita. Dia tidak menjamin wajah kecil itu akan tetap utuh.

Ana menunduk takut, "Aku—"

"Gue nggak suruh lo ngomong." Arga mendekat, lalu berhenti lima langkah di depan Ana. "Lo punya mulut kan. Coba gunain mulut lo itu untuk hal yang lebih berguna" Tanganya menunjuk Ana yang langsung memejamkan matanya, karena mengira Arga akan memukulnya.

Namun Ana tidak merasakan apa-apa. Dia membuka matanya perlahan. Lalu bernjengit mundur saat wajah Arga begitu dekat dengannya. Sialnya ia melupakan pintu di belakangnya hingga punggunya membentur kuat benda itu. Ringisan keluar dari mulutnya, karena rasanya sakit sekali.

"Gue nggak mau besok-besok Bunda telpon gue untuk pulang dan harus ninggalin urusan gue, hanya buat urus lo" ujar Arga tidak perduli gadis di depannya tengah kesakitan. Gadis ceroboh.

Lalu tanpa Ana duga Arga tiba-tiba mengangkat dagunya, menekan jarinya di sana. Hingga ia kembali meringis. "Lepas—"

"Diem...." Netra gelap Arga menghunus tajam mata bulat Ana. Dan napas hangat pria itu sampai bisa Ana rasakan. Ia menelan ludah takut.

"Lo harus gunain mulut lo ini... untuk lapor yang baik-baik tentang gue ke Bunda."

"Lepa—"

"Gue bilang diem!."

Ana langsung memejamkan matanya kuat. Ia takut sekarang.  Benar-benar takut. Ia rasakan dagunya semakin di tekan, hingga rasanya ia ingin menangis sekarang. Lalu matanya terbelalak kala merasakan jari Arga mengusap bibirnya.

Arga tersenyum sinis, tidak melepas sedikut pun netra bulat gadis itu. "Supaya mulut lo ini lebih berguna." Lalu Arga berlalu meninggalkan Ana yang mematung di tempatnya.

Ana merosot lemah ke lantai seperti jeli. Napasnya memburu dengan jantung berdetum kencang. Giginya bergeletup menahan amarah. Dengan kasar dia mengusap cairan asin yang mengalir di pipinya. Ia justru semakin terisak. Kepalanya tenggelam di lipatan lututnya. Dan menangis sepuasnya di sana.








🐰💜









THIS IS LOVE [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang