10

47 4 2
                                    

Asap rokok Arga mengepul memenuhi dapur tempatnya berdiam sekarang. Tidak lama suara pintu yang terbukan dan tertutup membuat kepalanya meneleng, terlihat Sarga baru keluar dari kamar mandi dan bersiap untuk pulang. Mereka baru saja selesai makan malam. Sarga melewatinya tanpa kata. Seolah Arga adalah sosok yang tidak terlihat.

"Dia anak angkat Bunda."

Sarga tersedak air yang baru saja dia minum. Matanya melotot horor menatap Arga. Telinganya masih berfungsi dengan baik. Jadi dia tidak mungkin salah dengar kan?. Sarga memencet hidungnya yang terasa panas. Sial!, air itu sempat-sempatnya masuk.

"Bangsat lo Ga! Ngomong tuh yang bener!" Sarga menatap tajam Arga yang terlihat santai menghisap rokok. Tidak terganggu dengan keterkejutan Sarga yang menurutnya terlalu lebay.

"Lo mau tau siapa 'dia',kan? Itu jawabannya."

Informasi ini terlalu mendadak untuk bisa di cerna otak tua Sarga. Tangannya mulai memijit keningnya yang tiba-tiba pusing.

"Lo.Dia-lo lagi nggak bercanda kan?!." Sarga tidak bisa berkata-kata untuk menyimpulkan. Bingung, terkejut semua seolah memblokir pungsi otaknya.

Arga hanya mengangguk tenang di kursinya.

"Sumpah, Ga!....Berarti kalian bersaudara dong?."

"Nggak. Dia cuma anak bunda sama ayah gue."

"Sama aja dodol!." Sarga melempar kesal jaket di tangannya ke wajah lempeng Arga. "Lo kan anak bunda sama ayah lo juga jirr.... Dan tu cewek udah di angkat jadi anak mereka. Otomatis kalian bersaudaralah!."

Sepertinya otak Sarga sudah bisa mencerna sekarang. Kepalanya mengangguk seolah benang merah itu sudah ia temukan.

"Tapi gue nggak anggap dia adik gue. Apapun alasannya dia bukan adik gue."

Sarga mengernyit mendegar nada dingin itu. Ternyata banyak yang belum dia tau tentang temannya ini. Atau tidak ada yang dia ketahui.

"Namanya siapa?" Sarga memilih bertanya hal lain, merasakan suasana yang tiba-tiba berubah tegang di antara mereka.

"Ana." Arga menjawab malas.

"Terus yang satunya?"

"Itu temennya. Gea."

Sarga mengangguk. "Terus lo udah kasih tahu bunda sama ayah lo soal...Ana?."

Arga mendengkus. "Kenapa lo jadi cerewet gini! Pulang sana!"

"Sensi banget lo!." Sarga cemberut membuat Arga bergidik. "Kayaknya gue ginep juga di sini."

"Nggak. Pulang sana." Arga langsung menolak. "Tante jihan udah telpon gue dari tadi. Tanyain lo terus. Dasar anak mami."

Sarga mendengkus, namun dia tetap berlalu setelah pamit dengan Arga. Dia tidak perlu khawatir meninggalkan Arga sendiri di sini untuk menjaga kedua gadis itu. Fakta yang sangat membuat dia terkejut tentu saja. Dia tidak bisa memaksa Arga bercerita tentang keluarganya mengingat bagaimana keras kepala temanya itu. Tapi, lambat laun Arga pasti akan terbuka kepadanya kalau dia sudah siap dan mau. Seperti sekarang ini.

Setelah kepergian Sarga. Ia masih bertahan di dapur walaupun roroknya sudah habis. Tidak ada niatan untuk beranjak naik untuk tidur. Gea, gadis itu datang jam tujuh tadi. Seperti katanya pagi itu, dia membawa pakaian ganti untuk Ana. Kaus dan celana Arga yang dia pinjamankan malam itu sudah gadis itu cuci.

Arga kembali mengingat kejadian saat makan siang tadi. Ana yang menangis histeris akhirnya jatuh tertidur karena terlalu lelah menangis. Berusaha membaringkan tubuh itu sepelan mungkin. Menjaga gadis itu supaya tidak terbangun. Namun dia tidak bisa langsung keluar. Karena kausnya masih di cengkram kuat oleh Ana. Tidak ada pilihan lain, dia akhirnya duduk di lantai membiarkan tangan gadis itu menetap di sana. Arga berdecak mengingat kejadian itu. Harusnya dia tidak terlibat terlalu jauh seperti ini.

THIS IS LOVE [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang