9

52 5 1
                                    


"Jangan sentuh gue!." Ana memukul dengan kedua tangannya yang masih terikat. Berusaha menghalangi kedua pria itu menyentuh tubuhnya.

"Tolong! Tolong—mmmlpss!."

"Teriak sekencang yang lo bisa. Nggak akan ada yang bisa nolong lo di sini!."

Ana menangis, merasakan tekanan kuat di pipinya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. Hingga dia mampu merasakan napas panas pria itu menerpa wajahnya. Kepalanya mengeleng kencang, ketika pria itu berusaha mencium paksa bibirnya.

"Jangan! Tolong! Tolong!." Kakinya di tekan kuat oleh pria satunya. Sedangkan lelaki yang masih di atas tubuhnya berhasil mencium pipinya hingga Ana menjerit meludahi wajah pria itu.

"Diem Anjing!." Pria itu mengusap marah wajahnya yang Ana ludahi dan menarik kuat rambutnya. Kulit kepalanya rasanya akan terlepas dan itu begitu menyakitkan.

Lalu suara jeritannya membelah sunyi di malam itu ketika leher hingga dadanya di jamah rakus oleh bibir menjijikkan pria itu. Kejahatan apa yang telah dia lakukan di masa lalu hingga harus merasakan kejadian pahit ini.

Jeritan histerisnya semakin mengema, saat merasakan tangan pria itu masuk mengelus punggunya. Dressnya terkoyak, tersingkap sampai memperlihatkan pahanya. Kedua pria itu tertawa, dengan ketidak berdayaan Ana. Amel memang sudah gila!. Dia sampai menyewa orang untuk melecehkannya. Hanya karena obsesi gilanya itu.

"Nggak usah panik. Gue nggak akan terlalu jauh." Pria itu terus menjamah rahangnya. Dan semakin menghimpit tubuh Ana hingga napasnya sesak.

Menangis, dia hanya bisa menangis.

Tenaganya habis. Tengorokannya sakit luar biasa. Siapa pun, tolong. Ana merinding hebat saat kain di pundaknya merosot, terbuka. Memperlihatkan bahu mulusnya. Pria itu menyeringai di atasnya.

Apakah ini akhir baginya.

"Let's play—"

Tiba-tiba pintu di dorong kuat dari luar dan menghentikan kegiatan dua pria itu. Cengkraman di rambutnya terlepas membuatnya terkulai lemas, dengan kepala sakit luar biasa. Penglihtannya terasa berputar. Dan semuanya mengelap.

•••••••••

Gelap, suram. Seperti mimpi buruk. Andai itu hanya mimpi buruk semata. Tubuh ringkih itu mengeliat dalam tidurnya. Netra bulatnya mengerjap pelan, memaksa untuk segera terbuka. Ana masih menyesuaikan penglihatannya saat tangannya memegang sesuatu yang lembut. Tunggu. Lembut?. Kesadaran seakan menamparnya hingga Ana bangkit dengan cepat lalu meringis saat kepalanya berdenyut hebat.

"Aww!."

Masih berusaha fokus di tengah pusing yang luar biasa, matanya awas menyusuri ruangan yang berbau cat itu. Hanya ada lemari kecil di sudut ruangan. Dan meja berukuran sedang beserta cermin di atasnya. Matanya mengerjap lambat dengan jantung mulai berdegup kencang. Ini di mana?. Tangannya meraba kasar rambut dan tubuhnya. Pakainnya sudah berganti menjadi kaus putih kebesaran dan celana training. Sedangkan rambutnya begitu kacau. Matanya kembali memburam. Rasa takut seakan melumpuhkan dirinya. Dia harus pergi!. Ia tidak tau sekarang berada di mana.

Ana turun dengan terhuyung, berusha mendekati pintu kayu yang memenjarakan dirinya. Kakinya begitu sakit hingga tidak mampu menopang tubuhnya lagi membuatnya jatuh mengenaskan. Ana terisak hebat bersimpuh di lantai ketika sulit sekali untuk bangkit. Kepalanya kembali memutar kejadian di gudang membuatnya menjerit histeris. Tubuhnya meringkuk seperti bayi memeluk kuat tubuhnya sendiri.

Tidak lama pintu kayu itu terbuka kencang, dengan Gea yang berlari panik merengkuh tubuh Ana.

"Gue di sini, An. Lo aman... lo aman sekarang." Tenggorokan Gea tercekak, ikut menangis memeluk erat tubuh Ana yang gemetar.

THIS IS LOVE [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang