Perubahan dimulai dari diri sendiri.
Seenggaknya, itulah kata-kata yang pernah Jefino baca di suatu tempat. Yang sekarang sedang coba dia lakukan. Bermula dari dia yang nggak bolos hadir di kelas sampe bikin guru yang mengajar melongo dan berakhir mengabsen nama Jefino berulang-ulang.
"Jefino Josandika?"
"Hmm."
"Jefino ... Josandika?"
"Hadir, Pak."
"Jefino Josandika, betul-betul ada?"
Jefino berdiri sembari menggebrak meja. "HADIR, PAK! BUSEET, BADAN GUE SEGINI GEDENYA NGGAK KELIATAN DARI SITU EMANG? APA GUE PERLU DUDUK DI SEBELAH ELU SEKALIAN?" sahutnya nggak santai, habis kesabaran.
Guru sejarah itu sekadar menggeleng-gelengkan kepala. "Silakan kembali duduk. Terima kasih karena kamu sudah mau masuk di kelas saya."
Cowok yang disegani oleh hampir seluruh murid di SMA ini ragu-ragu bertanya, "Elu guru pelajaran apa ya, Pak? Lupa gue."
"Sejarah."
Mendengarnya, Jefino spontan aja menidurkan kepala ke meja. "Mendingan gue tidur kalo gitu. Silakan elu lanjut ngajar aja."
Namun, perubahan emang nggak semudah itu diterapkan. Namanya juga orang sedang berusaha 'kan.
Esok harinya, Jefino datang pagi-pagi ke sekolah lalu untuk pertama kalinya membantu piket di kelas. Mengelap meja, menyapu hingga menghapus papan tulis yang kotor. Bikin para kawan sekelasnya saling pandang kebingungan.
Malaikat baik mana yang mendadak merasuki jiwa barbar seorang Jefino? Kira-kira begitulah isi di pikiran mereka.
Setelah beres piket, Jefino juga merebut tong sampah di tangan para siswa yang hendak membuangnya.
"Sini! Biar gue aja yang buang."
Dua siswa di depan Jefino yang heran lantas bertanya, "Ka-kamu yakin? I-ini isinya sampah, loh."
Mata Jefino mendelik nggak santai. "Ya, terus kenapa kalo emang isinya sampah? Gue nggak boleh ikut ngebuang, gitu?"
"A-ah, nggak!" Tong sampah akhirnya diserahkan. "Silakan. Buang sampah ini. Makasih bantuannya, Jefino."
Jefino sekadar mendecak, kemudian berjalan pergi dengan tong sampah di pegangannya.
Berlalu berapa hari sesudah itu, Jefino yang mulai masuk selalu ke kelas pun nggak jarang menawarkan bantuan kepada para guru.
"Sini, Pak. Biar gue bawain."
"Silakan kalau begitu." Guru Matematika ini tersenyum. Membiarkan aja Jefino membawakan tas serta buku miliknya.
"Gue baik 'kan, Pak?" Jefino bertanya dengan cengiran bangga yang serta-merta membuat gurunya terkekeh.
"Iya. Kamu sekarang jadi semakin bersikap baik. Apa yang terjadi pada kamu? Apa kamu sudah mulai introspeksi diri?"
Dengan cepat cowok tengil ini menggelengkan kepala. "Mana ada. Gue begini karena pengin carmuk aja di depan gebetan gue."
Jawaban terus terang itu bikin sang guru tertawa. "Sangat jujur. Tapi tidak apa-apalah. Daripada tidak sama sekali." Bahu Jefino ditepuk-tepuk. "Pertahankan, ya."
Pun, staf sekolah nggak jarang ikut kecipratan sisi baik yang Jefino tunjukan.
"Sini, Bu. Biar gue aja yang nyapu." Sekonyong-konyong Jefino nongol dan merebut sapu di tangan staf tukang sapu.
"Tapi 'kan ini kerjaan saya, Dek!" Ibu penyapu berusaha merebut sapunya kembali yang malah dibawa menjauh oleh Jefino.
"Nggak apa-apa kali bagi kerjaan. Pelit amat. Gue nggak bakal minta jatah gaji, kok," sungut Jefino seraya mulai menyapu dedaunan kering di dekat kakinya. "Ibu juga pasti capek 'kan. Istirahat aja dulu bentar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketos Cupu, I Love You [BoyxBoy]
Humor"Kenalan sama gue, yuk. Nama gue Jefino Josandika. Nama lu siapa?" "Bukankah kamu sudah tahu? Untuk apa kita saling berkenalan lagi?" "Sebutin lagi aja, nggak apa-apa. Ayok, kita kenalan dari awal." "Nama saya Yubian Aprillio. Sudah, 'kan?" "Nah, ka...