EPISODE 3 - FLASHBACK

1.5K 132 10
                                    

"Uang itu menyeramkan. Saking susahnya kami dulu, gue sampai nggak nyangka pernah berantem hebat hanya karena uang sepuluh ribu."

Aku percaya jika hidup berjalan sesuai dengan takdir yang telah ditulis sejak bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum tubuh ini dilahirkan ke dunia. Namun, entah mengapa aku masih sering terkejut akan kejadian-kejadian yang hadir di dalam hidupku. Seperti sebuah cerita di dalam novel ataupun film yang diputar di dalam bioskop, kehadiran cewek yang kini duduk di hadapanku adalah sebuah plot twist yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
Dia... Catherine Zoya, mantan kekasih yang menyumbang satu poin jumlah kegagalanku dalam urusan membangun hubungan asmara. Singkatnya, dia adalah adik kelas yang dulu kuajak untuk berpacaran hanya untuk sekadar bermain-main. Jangan hakimi aku karena saat itu aku masih terlalu muda untuk mengerti arti dari menghargai perasaan seseorang. Jadi, anggap saja kegagalan yang sebelumnya kualami adalah bentuk karma dari sosok Gerry remaja yang bodoh dan tidak mengerti apa itu cinta sebenarnya.
"Ini beneran nggak apa-apa lo pisah meja sama mereka?"
Pertanyaan Catherine barusan berhasil menarik diriku dari lamunan dan rasa terkejut yang masih kurasakan. Aku pun mengerjapkan mata berulang kali, berusaha untuk menyadarkan diri bahwa seseorang di hadapanku benar-benar ada dan nyata. "Ah, iya...," gumamku sembari mengikuti ke mana arah mata Catherine tertuju. "Nggak apa-apa, gue udah bilang, kok, ke mereka mau ketemu sama teman lama."
Teman lama. Aku menertawakan diri sendiri ketika mengulangi kata itu di dalam hati. Bisa-bisanya aku dengan begitu yakin menyebut seseorang yang kupermainkan dulu dengan seorang teman, sedangkan dia belum tentu sudi untuk menerimanya.
Namun, tampaknya Catherine tidak keberatan. Dia mengangguk dan melepaskan pandangan penuh rasa bersalah ke arah sekumpulan manusia di meja nomor tiga belas itu. Tadi, setelah melihat Catherine, hatiku langsung tergerak untuk menyuruh Gab masuk dan berbicara kepada mereka seperti apa yang kujelaskan kepada Catherine, sementara aku langsung mengekori Catherine dan temannya yang bernama Caily itu untuk duduk di meja nomor dua puluh. Tempat yang berada di paling ujung, tetapi posisinya begitu menguntungkan karena dapat melihat keseluruhan area Sushi Tei dengan begitu leluasa.
"Lo masih sama, ya. Maniak sushi sejati," kataku tepat ketika sepiring Aburi Salmon Roll dan Lava Roll tersaji di meja, dan saat itu pula Catherine langsung mencampurkan soyu dan juga wasabi ke dalam sebuah piring kecil, kebiasaan rutin yang selalu cewek itu lakukan setiap kali menikmati makanan khas Jepang itu. Katanya, tidak afdal jika sushi tidak dicocol dengan saus yang dia buat sesuai dengan resepnya sendiri.
Catherine mengangguk penuh semangat. Itu juga kebiasaannya yang tidak berubah sejak dulu ketika aku membahas seputar hal-hal yang dia sukai. "Of course, rasanya hampa kalau perut nggak keisi sushi dan mulut nggak ngerasain wasabi. Apalagi, nih, saus ini. Sekalinya lo makan, pedasnya kerasa nonjok sampai kepala."
Di hadapanku, Catherine tampak lucu. Pipinya mengembung saat satu suap sushi masuk ke dalam mulutnya yang kecil. Cewek itu seperti lupa sekitar jika sudah berurusan dengan sushi, sampai aku dan Caily yang berada di sekitarnya benar-benar dilupakan begitu saja. Sialnya, kebiasaannya yang masih terbawa hingga saat ini berhasil membuatku tidak berhenti mengembangkan senyuman. Putih pipinya yang kini membulat itu tampak seperti sebuah mochi yang rasanya gemas ingin kugigit.
Cewek itu sadar di suapan keempatnya bahwa dia sedang dikelilingi oleh dua manusia yang sedari tadi sibuk memerhatikannya. Dia pun buru-buru meraih tisu yang tersedia untuk menutupi mulutnya dan mengelap bagian yang dirasa kotor. "Sorry, gue asyik sendiri," katanya pelan, kalimatnya tidak begitu jelas sebab mulutnya masih dipenuhi oleh makanan.
Aku menggeleng cepat, takut jika Catherine merasa bersalah akan kelakuannya. "No, enjoy your meal, Cath. Gue juga makan, nih," kataku, berupaya menenangkan. Tanganku mengangkat sumpit yang sudah menjepit satu gulungan sushi, menunjukkan kepada Catherine jika aku juga menikmati makanannya.
"Pakai ini!"
Sebelum benar-benar masuk ke dalam mulutku, Catherine menyodorkan piring berisi saus resepnya itu mengarah padaku. Tanpa pikir panjang, aku pun mencocolkan sushi itu ke dalam saus berwarna hitam lalu memasukkannya ke mulut.
Lidahku terkejut bukan main karena rasa dari tuna dan salad yang sudah dibaluri mayones itu berhasil dikalahkan oleh pedasnya wasabi yang mendominasi. Nggak salah dia bilang kalau pedasnya bikin nonjok. Rasanya benar-benar membuat mati rasa di lidah. Aku buru-buru menenggak segelas air mineral yang untungnya kupesan itu hingga menyisakan setengah. Itu resep saus yang gila. Aku lupa jika cewek di depanku ini juga seorang maniak rasa pedas. Untukku yang biasanya masih menoleransi rasa pedas, takar rasa pedas Catherine sudah berada jauh di atas rasa-rasa.
"GER, LO NGGAK APA-APA?" Catherine terkejut bukan main karena aku yang masih berusaha menghilangkan rasa pedas dengan menjulurkan lidah berulang kali. "Sorry. Minum punya gue aja, ya, kalau masih belum hilang pedasnya."
Aku mengangguk, menerima segelas lemon tea yang Catherine sodorkan ke arahku. Beruntung, cita rasa aneh yang diminati oleh Catherine tidak merambah ke minuman yang membuatku dapat menerimanya. Jika saja Catherine memesan americano dengan takaran delapan shot, kupastikan lidahku akan benar-benar mati rasa.
"Udah better?"
Kali ini, Caily yang berbicara. Cewek yang dikenalkan Catherine sebagai sahabatnya itu menyodorkan tisu untukku mengelap keringat. Hanya karena sedikit cocolan itu, efeknya luar biasa hebat. Pantulan wajahku yang memerah di dinding kaca tempat ini sudah dapat menjelaskannya.
Ada jeda cukup lama untukku dapat mengontrol diri, sebelum akhirnya aku dapat berbicara dengan baik-baik saja untuk kembali mencairkan suasana. Terutama mencairkan suasana hati Catherine yang sebelumnya terlihat begitu antusias, berubah menjadi rasa bersalah.
"Oh iya, udah hampir enam tahun kita nggak ketemu. Lo kapan pindah ke Jakarta, Cath?"
Catherine menaruh sumpitnya di meja, lalu memfokuskan diri untuk mengarah padaku sepenuhnya. "Tahun 2021 gue ke Jakarta. Ada casting dan tawaran model. Tapi, gue masih bolak-balik Manado-Jakarta karena kuliah gue masih di Manado."
"Oh, ya? Gue kira lo fokus ke karier. Ternyata juga sambil kuliah? Keren banget!" Itu adalah respons paling ekspresif yang kukeluarkan secara spontan di hari ini. Entah karena topik yang dibicarakan oleh Catherine atau aku memang sedang antusias berbicara dengan cewek itu.
Di mejanya, Catherine tampak tersenyum membalas respons dariku. Aku menduga jika cewek itu sudah mulai ilfeel atas kehadiranku yang tiba-tiba dan berlagak asyik di hadapannya. Namun, hari ini, aku benar-benar kehilangan urat malu hanya untuk berlama-lama dengan cewek satu itu. Hadirnya Catherine secara mendadak ini benar-benar membuatku seperti sebuah besi yang tertarik oleh kutub magnet.
"Lo sendiri, gimana? Semenjak udahan, gue nggak tahu banyak kabar tentang lo. Tiba-tiba udah di Jakarta aja, nih, jadi seleb," katanya sambil melipat kedua tangan di atas meja lalu memajukan sedikit tubuhnya, bersiap untuk mendengar cerita hidupku beberapa waktu ke belakang.
Aku terdiam sejenak, berpikir mulai dari mana harus kuceritakan perjalanan hidup yang ada baiknya tidak untuk dikenang itu. Memutar kembali ke belakang sama saja membiarkan diri untuk terjebak pada masa lalu dan membuka lagi luka lama yang perlahan sudah terobati. Hanya saja, entah mengapa melihat antusiasme dari kedua mata Catherine yang memusatkan pandangan ke arahku, aku tidak bisa untuk tidak menjawab pertanyaan dari cewek itu.
Setelah lama berpikir, aku pun memutuskan untuk memulai cerita sejak fase tiga bulan pasca putus dari cewek di hadapanku ini, saat aku yang sedang kacau memutuskan untuk merantau karena terus gagal dan hanya menjadi beban yang mempermalukan kedua orangtuaku. Di Jakarta, aku hidup bergantung dengan pekerjaan yang ditawarkan oleh Mami sebagai seorang penjaga toko. Tidak ada yang spesial pada tahun itu. Pun pada tahun-tahun seterusnya hingga tanpa sadar, tahun sudah berganti menjadi 2019.
Pada saat itu, aku memutuskan keluar dari pekerjaan tersebut karena merasa tidak memiliki perkembangan yang signifikan. Banyak mau memang. Bagi teman-temanku, seharusnya aku bersyukur memiliki pekerjaan seperti itu di tengah sulitnya warga Jakarta mendapatkan pekerjaan. Namun, jika itu tidak membuatku berkembang, aku akan meninggalkan hal itu dan mencari yang lebih baik lagi. Beruntung, Mami menyetujui apa yang kulakukan. Katanya, "Muka kamu tampan, banyak hal yang bisa dimanfaatkan dari hal itu."
Awalnya, aku tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Mami. Sampai akhirnya, aku mendapatkan tawaran untuk masuk ke dalam agensi. Penawarannya sungguh luar biasa, iming-iming menjadi the next Irwansyah adalah satu kalimat yang menarik bagiku saat itu. Apalagi, ketika seseorang yang enggan kusebut namanya itu, mengatakan jika wajah yang kumiliki akan mudah menarik brand-brand ternama untuk mengajak bekerja sama. Aku pun mengiakan saat itu juga dan mulai berlatih akting secara autodidak saking berharapnya menjadi seorang artis papan atas.
"Pas itu, gue bodoh banget berharap sampai satu tahun lamanya. Padahal, mereka cuma modalin tempat tinggal yang tidur aja harus sambil dempet-dempetan sama talent yang lain," kataku sembari mengingat bagaimana reyotnya studio yang disewa oleh agensi tersebut. Sebuah tempat belasan remaja menaruh mimpi supaya menjadi seseorang yang dikenal di layar kaca, tetapi hanya berakhir menjadi angan semata. Untuk makan saja, aku dan para talent lainnya hanya bermodalkan endorse yang tidak seberapa. Aku harus bekerja paruh waktu pula di salah satu kafe sebagai pengisi lagu saat senggang. "Mana selama satu tahun lamanya, gue sama sekali nggak dapat job apa-apa lagi."
Catherine dan Caily yang berada di depanku terdiam dan masih memusatkan pandangan ke arahku, menyalurkan empati mereka terhadap cerita yang sedang kusampaikan.
"Setelah itu, covid lagi tinggi-tingginya. Keluarga gue khawatir sama keadaan gue di Jakarta. Apalagi, saudara gue yang seumuran sama gue... meninggal karena covid dan saat itu jarak kami masih jauh. Mau nggak mau, pas agak better kondisinya, gue balik ke Manado hampir satu tahun lamanya juga. Dan saat itu pula... gue balik jadi beban kedua orangtua karena nganggur dan nggak menghasilkan apa pun." Tenggorokanku tercekat, seperti ada batu besar yang menghalangi laju suara untuk keluar usai mengatakan kalimat terakhir yang kuucapkan. Hatiku kembali teriris setiap kali mengingat bagaimana tidak bergunanya aku sebagai anak pada saat itu. "Puncaknya, tahun 2021. Gue masuk ke salah satu agensi entertainment yang cukup ternama. Kali ini, gue belajar dari kesalahan sebelumnya dan percaya kalau manajemen ini bakal bikin gue jadi 'orang'. Di agensi itu juga, gue punya teman. Namanya Kale dan juga Topan. Kami bertiga ikut casting sana-sini. Tapi, di antara kami bertiga, cuma Topan yang berhasil dapat job yang kami sama-sama kejar. Iri? Nggak, sih. Lebih ke kayak... kok, selalu dia? Apa gue kurang maksimal, ya? Menjadi yang nggak terpilih selama hampir satu tahun lamanya juga ngebuat gue sama sekali nggak dapat job apa pun. Karena gue sama Kale cuma jadi bayang-bayang menuju kesuksesannya si Topan."
Pada akhirnya, di percobaanku yang ke sekian, aku selalu gagal mendapatkan apa yang sudah kurencanakan. Hidup di kota orang tanpa sepeser pun uang, hanya berbekal uang akomodasi untuk bertahan hidup dari sisa perjalanan casting yang selalu pulang tanpa membawa hasil. Beruntung, saat itu Kale selalu berada di sisiku, menjadi partner of luntang-lantung era. Hidupnya yang santai itu membuat aku merasa jauh lebih tenang tanpa merasa dikejar oleh apa pun. Ekspektasi yang kugambarkan di kepala pun perlahan kuhapus menjadi arsiran sederhana yang memang dapat kucapai sesuai realitas yang ada.
Namun, selama itu pula aku merasa ada sesuatu yang salah. Hidup kami berdua hanya bergantung pada uang dari manajemen saja. Apalagi, sebuah konflik yang terjadi antara aku dan Kale membuatku memutuskan untuk bergerak lebih cepat lagi dari biasanya.
Jika diingat-ingat, saat itu aku berjalan dengan rasa bahagia sembari menenteng dua bungkus nasi dengan lauk tahu dan tempe di dalamnya. Setelah menahan sakit perut yang terasa seperti diperas sekencang mungkin karena dalam waktu satu hari belum diisi, pada akhirnya aku bisa menghilangkan rasa lapar itu. Terima kasih kepada satu lembar uang sepuluh ribu yang entah disengaja atau tidak, ditinggalkan oleh Kak Joshua, manajer perusahaan entertain yang saat ini menaungiku, menjadi penolong dua anak rantau yang sama sekali tidak memegang uang barang sepeser pun. Miris? Tentu saja.
"Makan, Kal," kataku dengan cepat membuka karet yang mengikat nasi bungkus itu. Sebelum memasukkan makanan ke mulut, aku memisahkan satu bungkus lainnya mendekat ke arah Kale. Kasihan dia, hanya menghabiskan waktu untuk bermain game yang bermodalkan Wi-Fi kontrakan untuk menepis rasa lapar di perutnya.
Tanpa memedulikan Kale yang masih fokus dengan ponselnya, aku pun mulai menikmati nasi dengan lauk tahu dan tempe yang terasa seperti makanan bintang lima. Hiperbola? Memang. Biarkan anak rantau yang sudah satu bulan tidak mendapatkan pekerjaan dan menghasilkan uang sepeser pun menikmati makanan sederhana itu. Aku sama sekali tidak peduli. Di lidahku, asinnya tahu dan tempe dengan pedasnya sambal yang kucocol itu terasa begitu nikmat dan sangat enak.
"Mana uang gue?" tanya Kale di suapan keenamku. Aku menghentikan gerakan tangan untuk menyatukan nasi yang tersebar di kertas makan, lalu melongo ke arah Kale yang sudah berkacak pinggang. Maksudnya bagaimana? Apakah gue nggak salah dengar?
"Loh, itu duit lo udah berubah jadi nasi." Aku menjawab dengan mengarahkan dagu menuju nasi yang masih terbungkus dan berada di dalam plastik berwarna putih.
"Bukannya kita setuju buat bagi dua uangnya? Kenapa malah lo beliin nasi semua? Kan, goceng itu mau gue pakai buat beli rokok!"
Nada tinggi yang dikeluarkan oleh Kale semakin membuatku bingung, sampai-sampai aku tidak sadar kalau keningku mengerut begitu dalam. "Lo... lebih milih rokok daripada isi perut lo pakai nasi?" kataku masih mencerna apa yang diproteskan oleh cowok yang ada di depanku ini. Dia gila, ya?
"Gue lebih mending nggak makan, daripada nggak ngerokok!"
Dia emang benar-benar gila, ternyata.
Dan saat itu, api dalam diriku seolah mendidih dan menjalar ke seluruh tubuh. Bagaimana bisa seorang manusia yang salah satu caranya bertahan hidup dengan makan justru berkata jika dia lebih memilih nikotin itu dibanding nasi dan segala protein yang sudah susah payah kubeli?
Aku berjalan cepat ke luar dari ruangan itu. Muak juga jika harus satu udara dengan seseorang yang membuatku sesak dada. Saat itu, kulihat saldo yang ada di seluruh rekening digital bahkan uang elektronik yang ada di dalam ponsel, mencari sisa-sisa yang ada untuk membayar amarah dari Kale dengan menyumpal mulut itu menggunakan rokok sialan yang dia inginkan. Aku tersenyum puas saat melihat angka sebesar Rp23.950,00 tertera di salah satu aplikasi uang elektronik. Tanpa pikir panjang, aku pun bergegas untuk membeli benda berbahan tembakau itu dan pulang dengan melemparnya tepat ke wajah Kale. "Makan tuh rokok biar lo kenyang. Sekalian, cuci otak lo pakai rokok-rokok itu."
Setelahnya, aku menghubungi Mami untuk kembali pulang ke rumahnya. Aku sudah membayangkan jika berada di dalam satu ruangan dengan Kale, yang terjadi hanyalah perang dingin tanpa tegur sapa.
"Kalau diingat-ingat, saking susahnya kami berdua, gue masih nggak percaya kalau uang sepuluh ribu bisa bikin gue sama dia berantem hebat kayak gitu."
"Tapi, sampai sekarang kalian masih temanan, kan?" Catherine yang sedari tadi hanya fokus mendengarkan pun pada akhirnya buka suara, terlihat begitu tertarik dengan topik cerita yang saat ini kusampaikan.
Aku mengangguk tanda bahwa apa yang ditanyakan oleh Catherine masih terjalin hingga saat ini. "Kale adalah orang yang ngebantu gue sampai ada di titik ini," jelasku. "Dua hari setelah ribut dan diam-diaman, gue dihubungi sama Kale. Dia duluan yang mau turunin ego. Katanya, gue sama dia ada tawaran dari salah satu penerbit. Jadi visual lokal. Awalnya, gue bingung, visual lokal itu apaan. Tapi, pas ketemuan sama Bang Bin dan dijelasin gimana-gimananya, gue pun jadi tahu kalau ternyata dunia buku seluas itu. Makanya, sampai sekarang gue kerja di sana dan dikasih kesempatan jadi visual lokal juga."
"Ger...."
Aku membalas tatapan sendu yang dipancarkan oleh Catherine untukku. "Hm?"
"You did really well, lo keren banget bisa bertahan sampai detik ini."
"Thank you, Cath, for your appreciated. Maaf pertemuan mendadak ini isinya malah jadi curhat, ya."
Aku menggaruk tengkuk kepala yang tidak gatal itu untuk meredakan rasa malu dan juga bersalah yang bersarang di hati. Pasalnya, aku bukan tipikal orang yang senang mengumbar cerita ataupun oversharing tentang apa yang kualami selama ini. Namun, entah kenapa di dekat Catherine yang menanggapi dengan ekspresif dan sungguh-sungguh, membuatku seperti terhipnotis untuk mengalirkan semua cerita sampai ke akar-akarnya. Sebuah kebetulan yang sangat aneh jika aku semudah itu nyaman dengan seseorang—yang menjurus ke arah mantan lama—yang kembali hadir dalam hidupku.  Sampai-sampai, kehadiran cewek itu membuatku lupa jika aku adalah seorang cowok yang baru saja putus cinta beberapa jam yang lalu. Anehnya lagi, sakit karena patah hati itu benar-benar sirna saat kulihat sinar di wajahnya yang hangatnya menjalar sampai ke hati.
Aku menggeleng keras ketika asumsi cinta lama bersemi kembali muncul di kepala. Namun, persepsi tentang orang lama adalah pemenangnya tidak menutup kemungkinan ada dalam kamus hidupku. People come and go, maybe she is comeback to me for make a story with me (again)? Entahlah, saat ini aku hanya menantikan takdir baik apa yang akan hadir untuk diriku ataupun Catherine pada masa yang akan datang. []

GAVRIELL "Tell the old you, I'm back"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang