EPISODE 1 - HOPE... LESS

5.8K 391 135
                                    


Gerry

Bandara Seokarno Hatta, 2017

Kaki gue berhenti melangkah tepat di depan papan petunjuk yang menggantung di langit-langit, mencari pintu keluar agar cepat mengirup udara segar usai melewati perjalanan udara yang lumayan panjang. Setelahnya, gue kembali menarik koper abu-abu peninggalan Oma—panggilan khas Manado untuk sebutan nenek—lalu berjalan mengikuti pejuntuk.

Sepanjang mencari pintu keluar, gue ditemani oleh bayangan diri gue yang terpantul lewat dinding kaca bandara. Apalagi, hari ini cuaca cukup mendung dan membuat pantulan itu terlihat lebih jelas daripada biasanya. Di dinding kaca itu, terlihat jelas sosok remaja kurus, dengan cardigan hitam yang turun sebelah akibat satu tangannya sibuk menarik koper, serta tampilan rambut yang begitu acak-acakan. Kondisi ini semakin memprihatinkan karena bau tidak sedap yang berasal dari badan gue menguap dan tercium oleh indra penciuman gue sendiri. Mau bagaimana lagi? Apa yang lo harapkan dari perantauan tanpa persiapan apa pun, Ger? Jadi, nikmati saja bau keringat yang sudah bercampur dengan lembapnya udara itu sampai saudara lo datang.

Nekat, itu kata yang hampir setiap hari gue dengar ketika keputusan untuk pergi meninggalkan tanah Minahasa terucap. Beberapa teman pun juga tidak ragu untuk men-judge gue dengan sebutan gila. Tapi, gue hanya bisa tertawa pelan menanggapi reaksi dari mereka. Wajar saja, siapa juga yang tidak akan komentar ketika tahu jika remaja yang baru saja lulus—hanya berbekal ijazah SMA dan lembaran uang dengan nominal satu juta—memutuskan pergi dari rumah untuk menetap di Jakarta, kota yang keras dan penuh persaingan ini. Namun sialnya, cercaan yang dilontarkan mereka tidak berarti apa pun karena rasa malu dan amarah pada diri sendiri jauh lebih mendominasi.

Amarah itu berawal ketika ekspektasi gue terhadap apa yang direncanakan tidak berjalan dengan semestinya. Pada awalnya, gue sangat percaya diri jika universitas yang gue incar itu akan meloloskan gue sebagai salah satu mahasiswanya. Hal itu pun gue katakan kepada Mama. Kata gue saat itu—yang sialnya benar-benar terdengar angkuh dan percaya diri, Mama tidak perlu khawatir tentang biaya, Gerry akan mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di universitas itu.

Saat itu Mama hanya mengangguk, sorot matanya begitu percaya dengan apa yang anaknya ucapkan. Rambut gue yang saat itu disisir rapi karena akan bersiap mengumpulkan berkas persyaratan itu dielus pelan, mulutnya pun berbisik pelan yang terdengar seperti saluran doa keselamatan dan kesuksesan untuk gue. Dorongan itu yang membuat gue semakin menggebu dan kepercayaan diri gue semakin meningkat.

Namun, semuanya sirna begitu saja ketika warna merah yang berasal dari halaman website pengumuman terlihat. Gue tidak diterima di universitas mana pun yang gue tuju. Perasaan hancur dan malu bercampur menjadi satu, apalagi saat itu Mama dan Papa menemani gue untuk sama-sama melihat hasil dari apa yang gue perjuangkan itu.

"Tidak apa-apa, masih ada universitas lain, Nak," kata Mama mengelus pelan pundak gue yang saat itu sudah merosot lemas.

"Tapi, Gerry nggak punya uang untuk ikut jalur yang lain, Ma." Gue menyandarkan tubuh gue yang lemah ke sandaran kursi, mematikan komputer yang ada di kamar gue lalu menatap Mama. Ada kesedihan yang tidak disuarakan dari tatapan matanya.

"Kenapa Gerry ngomong begitu? Mama ada uang, kok, untuk kamu ikut jalur mandiri. Nggak apa-apa, rezeki pasti akan datang lagi nanti."

"Gerry nggak mau egois. Bukan karena Gerry mau kuliah, sampai-sampai Mama sama Papa habisin uang untuk itu."

"Memangnya jalur mandiri dilaksanain kapan? Nanti Mama cari uang lebih lagi untuk Gerry bisa ikut. Sekarang, tugas Gerry cuma belajar, ya? Biar pas tes nanti, Gerry bisa kuliah, deh, di sana. Oke?"

GAVRIELL "Tell the old you, I'm back"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang