EPISODE 2 - MEET AGAIN (PART 3)

1.4K 125 2
                                    

Perempuan memang makhluk Tuhan paling sulit ditebak. Jika saja mereka dapat diimplementasikan dengan sebuah buku, rasanya butuh jutaan lembar dan tinta untuk menjabarkan isi di dalam hati dan kepala mereka. Buktinya saja, mau selama apa pun aku mengenal Jess, sampai detik ini aku sama sekali tidak mengerti jalan pikiran cewek satu itu. Panggilan telepon yang baru saja terputus karena dimatikan sepihak oleh Jess adalah bukti jika perempuan memang membingungkan. Kalimat terakhir yang cewek itu sampaikan berupa, "Keputusanku udah final, Ger. Aku nggak mau punya hubungan yang nggak bisa prioritasin aku kayak kamu gini."
Kali ini, alasan gagalnya asmaraku—yang sialnya selalu saja gagal—adalah prioritas yang tidak terpenuhi. Katanya, aku terlalu sibuk sampai tidak memiliki waktu untuk berpacaran dengannya. Aku terlalu sibuk sampai lupa dengan dirinya yang selalu ingin diprioritaskan. Ya Tuhan! Padahal rezeki baik yang kudapatkan dengan menjadi pemeran tokoh fiksi ini adalah jalan agar aku bisa memenuhi kebutuhannya. Uang yang kuhasilkan juga selalu aku sisihkan untuk berusaha membahagiakannya. Kenapa dia berpikiran seperti itu tanpa melihat ke belakang bagaimana sulitnya aku mendapatkan uang?
Untuk kali ini, aku mengiakan apa yang cewek itu mau. Tidak ada bujuk rayu ataupun adegan mengemis pertahanan hubungan. Jika itu memang yang dia mau, akan kukabulkan tanpa pikir panjang. Aku udah berusaha semaksimal mungkin untuk membangun hubungan yang baik dengannya. Jika alasannya hanya sekadar ingin diprioritaskan tanpa mau mengerti, aku tidak ragu untuk membuka pintu lebar-lebar agar dirinya pergi dari hidupku.
Namun sialnya, setiap adegan perpisahan selalu meninggalkan kesan yang menyakitkan. Bohong jika aku baik-baik saja ketika tahu orang yang mengisi keseharianku memutuskan untuk pergi. Hari-hari yang biasanya diisi oleh suaranya, terancam berganti sepi yang akan datang. Namun, tidak apa. Selagi aku masih ada kesibukan, aku bisa mengatasi rasa sakit yang ada.
"Jess, ya?"
Aku memutar tubuh mengarah ke sumber suara dan mendapati Gab, salah satu anggota yang memerankan tokoh fiksi itu sudah berada di sampingku. Satu tangan cowok itu merogoh saku jaket kulit yang dia pakai karena udara malam Kota Jakarta kali ini terasa begitu dingin. Apalagi, posisi kami berdua sedang berada di taman salah satu mal yang berada di Jakarta Selatan, sebuah kondisi di mana angin dengan mudah menyapa kulit kami.
Ia mengeluarkan saku bungkus rokok Marlboro yang telah terbuka dan menampilkan beberapa rokok berjajar di sana, lalu menyodorkan bungkus itu ke hadapanku, bermaksud menawarkan. Tanpa ragu, aku pun menerimanya dan langsung menyalakan rokok itu menggunakan pemantik yang dimiliki oleh Gab. Isapan demi isapan mulai memenuhi dan menghangatkan paru-paruku.
"Kali ini masalahnya apa, Coi?" Setelah berlama-lama diam dan hanya menikmati kepulan asap rokok, akhirnya Gab membuka suara. Aku sudah menduga jika si pemilik rambut jambul itu berusaha mati-matian untuk tidak bersuara dan menyinggung perasaanku. Namun, tampaknya rasa penasaran cowok itu jauh lebih besar untuk saat ini.
"Stop ngomong gitu seakan cewek gue banyak banget, ya!"
"Gue ngomongin fakta," kata Gab sembari mengendikkan bahunya tampak acuh tak acuh.
Aku tertawa—yang sialnya terdengar seperti ringisan pelan—menanggapi kalimat yang Gab utarakan. Citra sebagai pecinta perempuan sepertinya sudah terlabel jelas di diriku. Mereka yang menjadi saksi percintaanku dari satu perempuan ke perempuan lain sepertinya sudah lelah mendengar bagaimana gagalnya aku dalam urusan asmara. Nggak apa, gue pun sama.
"Gue kira buat yang ini bisa bertahan lama." Sesak di dadaku terembus bersamaan dengan kepulan asap yang keluar dari hidung dan mulutku. "Seenggaknya itu yang gue harapin, tapi ya... mau gimana. Dia maunya udah. Kalau emang sama-sama nggak bisa saling ngerti posisi antara satu sama lain, fungsi hubungan udah nggak berguna lagi, kan? Bagi gue, visi gue sama Jess udah beda. Jadi, emang udah nggak bisa dipaksa." 
"Lo yakin ini bukan keputusan impulsif, kan?" Gab kembali mengajukan pertanyaan lain. Cowok yang berumur dua puluh satu tahun itu memang tampak kekanakan dari segi tingkah dan fisik, tetapi tidak dapat dimungkiri jika rasa empatinya begitu tinggi. Jadi, aku dapat memercayainya jika pertanyaan-pertanyaan darinya adalah sebuah tindakan peduli, bukan hanya rasa penasaran belaka.
"Semoga," jawabku cepat. Semoga memang itu adalah jawaban terbaik untuk gue dan juga Jess ke depannya, lanjutku dalam hati.
Jujur saja, berulang kali gagal menjalin hubungan dengan banyaknya perempuan membuat aku bertanya pada diri sendiri, apakah ada yang salah dalam diriku? Apa cinta yang kuberikan untuk mereka dianggap kurang sampai mereka memutuskan untuk berhenti memperjuangkan hubungan?
Bukannya aku tidak mau setia dengan satu perempuan saja. Sama sekali bukan. Aku pun berharap kisah asmaraku memiliki jangka yang panjang seperti orang-orang kebanyakan. Setia dengan satu pasangan, merawat cinta dalam hubungan bersama, dan memiliki tujuan yang sama. Sesederhana itu terlihatnya, tapi kenapa aku sama sekali tidak berhasil melakukan itu?
"Gue juga capek, Gab. Ketemu sama orang baru lagi. Mulai bangun kebiasaan lain bareng orang baru. Kasih tahu ke mereka kalau gue lebih suka makan soto yang dipisah sama nasinya daripada dicampur. Tapi, mau gimana. Hidup itu, kan, tentang belajar dan gagal. Berarti kali ini gue gagal lagi buat masalah cinta. Cuma buat sekarang, kayaknya gue masih belum mau mikirin salah gue di mana biar gue belajar." Aku mengakhiri kalimat itu dengan mematikan rokok dan membuangnya ke tempat sampah yang tidak jauh dari tempat kami berdua bicara.
Gab tampak setuju. Dia mengikuti apa yang kulakukan sebelumnya lalu mengangkat satu tangannya, melihat satu pesan yang muncul dari Apple Watch silver yang melingkari tangannya. "Dari Prilly, katanya udah pada ngumpul di Sushi Tei. Mau masuk?" tawar Gab, kepalanya diarahkan ke kiri, tepat mengarah ke pintu masuk mal yang berjarak kurang lebih lima puluh meter dari tempat kami berdiri.
Aku pun mengangguk setuju, terlena dengan rasa sakit akibat patah hati tidak terlalu baik. Apalagi hari ini aku masih memiliki jadwal bersama dengan para karakter fiksi dan pihak penerbit untuk makan bersama. Sangat disayangkan jika euforia bahagia yang ada harus hancur karena perasaan sakit yang kurasakan.
Kami pun berjalan beriringan memasuki pintu timur mal tersebut, hawa dingin yang berasal dari angin malam berganti dengan sejuknya AC. Kurekatkan kembali jaket bomber di tubuh sembari berjalan cepat menuju Sushi Tei, tempat makan yang telah disediakan untuk kami berkumpul dan membahas proyek untuk ke depannya. Tempat makan khas Jepang itu berada di lantai tiga, perlu menjajaki tiga eskalator untuk bisa sampai ke tujuan. 
Namun, tepat ketika kakiku tiba di pintu masuk Sushi Tei, tubuhku mendadak diam saat kulihat seseorang yang tidak asing juga sedang berjalan masuk ke tempat yang sama. Cewek dengan rambut panjang berwarna cokelat itu sedang bergandengan tangan dengan temannya yang lain sembari memilah menu yang tersedia.
Mataku menyipit untuk memperjelas penglihatan apakah pradugaku salah atau justru sebaliknya. Saking fokusnya mengamati, aku pun tidak sadar jika kakiku berjalan menghampiri. Dan sialnya, tanpa ragu dan tahu malu, aku pun mulai bersuara, yang membuat cewek itu menolehkan kepalanya. "Cath? Lo... Catherine, kan?" []

GAVRIELL "Tell the old you, I'm back"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang