5. Burgundy

2.8K 220 18
                                        

Kafka melepaskan tangan Shenka dari bajunya, setengah menepis kasar. Ia pun menegakkan tubuh, memasang wajah setegas mungkin. "Kalo udah bangun dari tadi kenapa nggak jalan sendiri? Nyusahin," ketus Kafka dengan mata yang melirik sinis.

Wajah Shenka seketika cemberut, bibirnya mengerucut. "Nggak tau ya konsepnya? Ya biar digendongin lah."

"Beban."

Shenka bangun dari posisi tidurnya lalu terduduk. Matanya menatap Kafka dengan menyipit. "Kak Kafka kenapa judes banget sih kalo sama aku? Aneh banget."

"Kita nggak saling kenal sebelumnya. Jadi kamu yang sebenarnya kayak gini," Kafka menunjuk Shenka, "dan aku yang sebenernya kayak gini. Nggak perlu terheran-heran." Kafka menarik senyuman yang semua tahu itu bukan berarti baik, lebih pada mengejek.

Shenka beringsut. Ia memeluk kakinya dan menyimpan pipi di atas lutut. Sementara matanya terus menatap Kafka. "Masih marah ya?" tanyanya kemudian mengedip-ngedipkan mata untuk beberapa kali. Terlihat lucu sebenarnya, tapi karena sudah sedikit tahu, Kafka tidak akan mudah terpengaruh lagi.

"Marah buat apa?"

"Nggak usah ngelak gitu. Tau kok masih marah karena aku putusin."

Kafka terdiam untuk beberapa saat, merasa tertohok. Ingin sekali rasanya mengumpat karena Shenka membahasnya dengan semudah itu di saat dirinya mati-matian untuk move on dan menganggap semua tidak pernah terjadi. "Aku udah nggak peduli soal itu."

Shenka menangkup kedua pipinya, bibir bawahnya sedikit dimajukan sementara matanya dibuat sendu. "Aku cuma pengen tau, apa aku ini bisa disayang sama Kak Kafka atau nggak." Shenka menghela napas lemah di akhirnya.

"Tapi nggak harus sampe main-main jadi pasangan 'kan?" Yang membuat Kafka diterpa perasaan kacau balau seperti ini.

Wajah murung Shenka seketika berubah, senyumnya kembali tersungging lebar. "Katanya udah nggak peduli."

Kafka mengusap wajahnya kasar. Giginya mengatup menahan kesal. Harusnya dia tidak terpancing barusan.

Shenka mencubit baju Kafka dan sedikit menarik-nariknya. "Kak ...."

Kafka menatap Shenka. Dirinya tidak boleh lemah. Kafka harus tegas membuat batasan atau akan terus termainkan trik licik cewek itu yang jelas tidak punya hati.

"Gue bukan Kakak lo." Bisa dimulai dengan berprilaku kasar pada cewek itu. Move on adalah kepastian, tapi dirinya juga tidak bisa semudah itu menerima sebagai saudara. Opsi terbaik adalah membuat benteng yang tinggi.

"Tapi--"

"Meski orang tua kita nikah, jangan sok akrab sama gue."

Shenka terdiam sejenak lalu mengangguk-angguk pelan. "Oke. Aku juga lebih suka yang tsundere."

"Ini bukan tsundere!" pekik Kafka cepat. "Ini peringatan buat lo. Jangan coba-coba ngelewati batas."

Senyum Shenka tersungging, dia bahkan menatap Kafka dengan mata bulan sabitnya. Sedikit pun tidak terpengaruh meski perkataan Kafka semakin kasar. "Ngelewatin batas? Itu yang kayak gimana?"

"Jangan pura-pura--"

"Kayak gini bukan?" Shenka tiba-tiba memeluk pinggang Kafka. Membuat cowok itu melotot dan mendorong kening Shenka dengan kuat sampai-sampai cewek itu terbaring pada ranjang.

"Lo!" pekiknya dengan rahang yang mengeras juga kepanikan dalam sorot matanya.

"Kak Kafka lucu, masa pelukan dibatasi? Itu hal biasa kali buat adek-kak--"

"Gue bukan Kakak lo!"

"Sekarang kita ada dalam satu Kartu Keluarga. Bebas mau ngapain. Mau bobo di samping aku aja wajar kok." Shenka menepuk-nepuk kasur di sampingnya. "Ayo bobo di sini."

Hello, Sister!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang