3. Panggilan Terakhir

1.3K 154 10
                                    

Kafka keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang masih setengah basah. Air dari rambutnya malah masih menetes-netes. Ia hanya membelitkan handuk di pinggang, membiarkan bagian atas tubuhnya telanjang. Bukan hal aneh. Karena ini yang memang sering Kafka lakukan selepas mandi.

Hingga mata Kafka menangkap sosok yang kini tengah meringkuk di atas ranjangnya. Kafka baru menyadari jika keluar dari kamar mandi hanya dengan mengunakan selembar handuk adalah bentuk dari hal memalukan. Kafka mulai sedikit panik, tapi begitu melihat mata Shenka yang tertutup damai, ia pun bisa bernapas lega.

Harusnya Kafka bergegas mengambil baju dari lemari lalu masuk lagi ke kamar mandi. Karena tidak ada yang tahu apakah Shenka itu tertidur atau hanya sekedar memejamkan mata. Kalau benar tidur pun tak ada jaminan dia tidak akan bangun dalam waktu cepat.

Namun, yang Kafka lakukan saat ini justru terdiam. Dia mengamati Shenka yang meringkuk dengan tubuh kecilnya. Wajah cantiknya terlihat damai. Tidak salah lagi, ini memang Shenkanya. Peri cantik yang penuh kelembutan yang entah terkena kutukan dari mana tiba-tiba berubah menyebalkan. Dan sialnya Kafka tetap berdebar meski asing dengan tingkah barunya itu.

Kesimpulannya Kafka tetap bingung dengan situasi sekarang. Dan mau bagaimana pun juga Shenka tetap cantik. Bibirnya, hidungnya, hingga matanya yang kini terbuka.

Eh terbuka?

"AAA!" Shenka berteriak kencang. Jeritan perempuan terkencang yang pernah Kafka dengar.

Kafka secara refleks menyilangkan tangan di depan dada, sementara Shenka langsung berbalik memunggungi cowok itu.

"KAK KAFKA NGAPAIN NGGAK PAKE BAJU?!"

"Ka-kamu ngapain buka mata?!" ucap Kafka yang malah jadi ikutan panik karena teriakan Shenka. Sebelumnya Kafka tidak pernah mendengar cewek itu menjerit. Itu mengagetkan.

"Eh iya, kenapa aku harus balik badan?" Shenka perlahan membuka tangan yang menutup wajahnya. Matanya berkedip untuk beberapa kali. Ia pun kembali berbalik dan menatap Kafka.

Entah terlalu terkesima atau apa, Kafka kini tidak bisa berkata-kata saat Shenka menatap dirinya.

"Wow," ucap Shenka tak terlalu kencang tapi bisa didengar oleh Kafka.

"Ternyata badannya sebagus itu."

Kafka melotot, apalagi ketika Shenka mulai menyunggingkan senyum aneh dengan mata yang terpaku pada perutnya.

"Shenka tutup mata!" Kafka mati kutu, kakinya mendadak kaku untuk dibawa pergi, jadi ia hanya bisa berkata.

"Kenapa? Kakak nggak perlu malu-malu loh sama adik sendiri." Senyuman Shenka semakin aneh, bahkan terlihat seperti ... cabul?

"Kamu bukan adik aku!"

Senyum Shenka luntur, digantikan sebuah cebikkan. Mood yang begitu mudah berganti. "Kalo aku bilang sama Mama Teresa, dia pasti sedih banget denger omongan Kakak itu."

Kafka menghela napas, ia menangkup wajahnya. Ia mencoba menarik napas untuk menjaga kesabarannya. "Kamu balik badan, aku mau ambil baju," ucapnya dengan intonasi melemah. Lebih tepatnya ia memilih mengalah daripada harus berdebat. Kafka benar-benar tidak tahu cara menghadapi Shenka yang seperti ini.

Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Hidupnya yang semula tenang damai berubah semrawut kurang dari 24 jam. Putus cinta, adik tiri. Konflik hidup orang di luar sana tidak se-absurd ini.

"Aku selalu penasaran gimana rasanya nyentuh perut yang kotak-kotak."

"ANJING!" Kafka nyaris meloncat, saking kagetnya mendapati Shenka yang tiba-tiba sudah ada di hadapannya dengan tubuh membungkuk dan wajah yang condong pada perut Kafka.

Hello SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang