Kafka hanya diam mematung, hingga Teresa menyenggol lengannya dan berbisik penuh peringatan agar Kafka cepat membalas uluran tangan Shenka. Sayangnya Kafka tak menggubris, membuat Shenka tertawa kecil dan memilih menarik kembali tangannya. Dia pun duduk pada kursi di samping Andra. Disambut dengan usapan puncak kepala oleh pria paruh baya itu.
"Kak Kafka orangnya pemalu ya," ucap Shenka yang kemudian mengambil minumanya. Dia mengaduk dengan sedotan sebelum meminumnya. Kebiasaan yang sudah Kafka hafal di luar kepala.
Maksudnya cewek yang duduk di seberangnya ini adalah Shenka. Benar-benar cewek yang Kafka cintai yang beberapa jam lalu membuat hidup Kafka berantakan karena ajakan putusnya. Sekarang tiba-tiba datang sebagai anak dari pria yang akan menjadi suami dari ibu Kafka dan bertindak seolah tidak kenal.
Dunia tidak sedang bercanda 'kan?"Maafin Kafka ya, Shen. Dia emang agak bandel."
Shenka mengangguk-angguk. "Nggak papa kok," ucapnya dengan senyuman.
"Oh iya, Mama udah liat-liat foto yang aku kirim belum? Menurut aku konsepnya cantik-cantik banget. Mama suka yang mana?"
"Mama?" Tanpa sadar Kafka menyuarakan keheranannya. Ia melirik Shenka dan Teresa bergantian. Apa maksud dari situasi ini adalah bahwa Shenka sudah akrab dengan ibunya sejak lama?
"Kita 'kan bakal jadi keluarga, jadi Shenka manggil Mama. Kamu juga bisa mulai dari sekarang buat panggil Om Andra Papa," jelas Teresa yang sama sekali tidak membantu kebingungan Kafka.
Maksud Kafka, Shenka dan Teresa sudah dekat sejak lama hingga tak sungkan memanggil 'Mama'. Melihat Shenka yang bahkan tidak sedikit pun kaget Kafka di sini, artinya Shenka sudah tahu jika Kafka ini anak dari pacar papanya.
Shenka sudah tahu situasinya. Lalu kenapa selama ini Shenka diam dan malah memilih tiba-tiba menghujani fakta di akhir seperti ini?
"Nggak papa kalo Kafka masih belum bisa," tambah Andra penuh pengertian.
Jika tahu seperti ini, mungkin dari jauh-jauh hari Kafka akan berusaha memisahkan mamanya dari papa Shenka. Meskipun kedengaran egois dan jahat, tapi Kafka di sini juga berhak atas perasaannya 'kan? Setan dalam diri Kafka berkoar-koar.
"Oh iya, nanti Shenka bakal pindah ke sekolah Kafka setelah kami menikah."
"NGGAK!"
Semua terkaget akan pekikan spontan Kafka itu. Terutama Teresa dia menatap putranya seolah berkata 'kamu 'kan udah setuju.'
"Maksudnya, kenapa She-shenka pindah? Kita belum bahas 'kan?" sanggah Kafka dengan cepat.
"Shenka pilih sekolah yang sekarang karena letaknya dekat sama kantor Om. Dulu Om pikir karena bisa berangkat bareng, tapi ternyata kita nggak selalu bisa pulang bareng. Om khawatir Shenka selalu pulang sendiri. Jadi, mending pindah. Selain lebih dekat, ada Kafka juga di sana."
Rasanya Kafka ingin sekali memukul-mukul kepalanya.
"Oh iya, itu SMA impian Shenka dulu loh." Si tokoh utama yang menjadi segala sumber ikut menambahkan dengan senyum dan mata yang penuh binar. Sama sekali tidak ada raut dosa di sana.
"Shenka seneng deh, apalagi sambil punya kakak."
Shenka menangkup kedua pipinya kemudian menatap Kafka. Kedua kalinya pandangan mereka benar-benar bertemu. Shenka hanya memberikan senyum manis, yang untuk saat ini tidak bisa membuat Kafka bahagia seperti biasanya.
"Kak Kafka, Kakak nggak keberatan 'kan kalo nanti Shenka nebeng berangkat sekolahnya?"
Kafka memalingkan wajah, lalu kemudian merasakan kakinya diinjak. Ini jelas bukan dari mamanya yang mencoba memperingatkan ataupun dari Andra yang seharusnya gencar mencari muka. Yang menginjaknya sekarang sudah pasti cewek yang ada di depannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Sister
Teen FictionKetika cewek yang lagi disayang-sayangnya adalah anak dari suami nyokap lo. Mau benci, tapi masih cinta. Mau cinta, dia adek lo. *** Orang bilang kebucinan Kafka pada Shenka itu sudah pada tahap akut. Kafka tak masalah dicap lebay. Baginya Shenka a...