4. Hari Pernikahan

1.2K 157 14
                                    

Pengukuran baju waktu itu, Kafka meminta untuk didahulukan lalu dirinya pergi dengan dalih janji dengan teman. Setelah hari itu Shenka sering datang ke rumahnya. Kadang menonton atau memasak dengan Teresa, terkadang sampai pulang malam. Mereka terlihat senang, setidaknya Kafka mendengar gelak tawa cewek itu ketika melarikan diri dari rumah.

Kafka menghindari Shenka seekstrim mungkin. Karena dirinya tidak punya pilihan selain move on. Pernah Kafka memakai cara gila. Dia datang pada sebuah gedung kosong. Menulis di tembok jika Shenka adalah cewek licik tanpa hati, ia juga menuliskan kata-kata umpatan untuk merangsang rasa bencinya. Namun, ternyata melupakan tidak semudah itu. Kadang Kafka berakhir mengintip akun Instagram Shenka dan memandangi foto-fotonya dalam waktu lama.

Kafka bisa melewatkan acara pertemuan keluarga besar, ia bisa menghindari printilan-printilan yang punya kemungkinan bertemu dengan Shenka. Namun, Kafka tentu tidak bisa menghindar di hari pernikahan ibunya sendiri. Apalagi pada akhirnya mereka juga akan tinggal di atap yang sama.

Kafka mengangguk sebagai ucapan terima kasih pada seseorang yang memasangkan kain batik di pinggangnya. Penampilannya sudah selesai, cukup menunggu sampai acaranya dimulai. Kafka mengedarkan pandangan pada ruangan yang ramai sejak tadi itu. Lebih tepatnya pada Shenka yang tidak bisa diam membuat orang-orang di sana terus tertawa. Padahal cewek itu seharusnya berada di ruangan pihak laki-laki, tapi malah di sini dan membuat Kafka kesusahan.

Shenka dengan setelah kebaya dan rambut yang disanggul benar-benar tidak bisa dianggap remeh.

"Nah, tangan Mama di situ. Bagus banget. Aku ambil foto full body ya." Shenka mengangkat ponselnya, sementara kakinya yang dibalut kain batik sempit itu mulai berjalan mundur untuk mengambil cakupan lensa yang lebih luas.

Kafka sudah hendak pergi ke tempat lain. Namun, begitu melihat hak runcing Shenka yang mengenai kabel ringlight, Kafka pun segera maju dan menahan punggung cewek itu yang hampir terjatuh.

"Oh, thank you," ucap Shenka seraya menoleh.

Ketika mendapati Kafka sebagai orang yang menolongnya, senyum lebar Shenka tersungging. Bola matanya bahkan memberikan kerlingan jenaka.

Kafka hendak pergi, tapi dengan cepat Shenka mencekal tangannya. Kafka tak mengerti maksudnya, karena cewek itu kini kembali fokus memotret Teresa.

"Cantik banget Ma, coba pose yang lain."

Kafka melihat tangannya yang pegang Shenka. Tangan lentik dengan jari-jari kurus itu kini diberi hiasan kuku palsu yang cantik. Kafka menggeleng. Dia tidak boleh memuji Shenka karena hanya akan berakhir pada rasa kagum. Dan rasa kagum bukan asupan baik untuk dirinya yang berniat menghapus jejak cewek itu dalam hatinya.

"Diem dulu bentar, ada yang mau aku omongin." Shenka mengeratkan cekalannya saat Kafka hendak melarikan diri.

"Satu kali lagi, Ma."

Shenka menyelesaikan jepretan terakhirnya. Ia menurunkan ponsel sementara anggota keluarga yang lain mulai sibuk berfoto dengan Teresa secara bergiliran. Untuk itu, Shenka pun menarik Kafka menuju sisi ruangan yang lebih sepi.

Dengan senyum yang selalu menghias di bibir, Shenka menatap Kafka. Dia memanfaatkan secara maksimal wajah yang Tuhan anugerahkan padanya itu.

"Kalo omongan nggak penting, mending skip," ucap Kafka seraya mengalihkan pandangan ke arah lain. Bersikap cuek meski aslinya untuk menghindari kemungkinan terpesona pada wajah Shenka.

"Ini penting banget, makanya aku mau nanya ke Kak Kafka."

"Apa?" Kafka berucap dingin dan berkesan tak berminat.

Hello SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang