Shenka mengadukkan sedotan pada minumannya. Menatapnya penuh damba sebelum menyesapnya dengan pelan. Senyum manis terukir di bibirnya, menandakan kepuasan atas minuman yang kini sudah melewati kerongkongannya.
Ekspresi yang tidak pernah gagal membuat Kafka mendapatkan lonjakan dopamin.
Cantik, baik, lembut. Sepertinya Kafka mengambil habis semua keberuntungannya dengan menjadi kekasih dari cewek itu. Tidak akan pernah ada penyesalan dalam hidup Kafka selama memiliki Shenka. Shenka yang selalu pengertian, lembut penuh kasih sayang, dan pembawaan positif dengan senyum yang selalu menghiasi bibirnya.
Seperti kisah-kisah dalam roman klasik, dirinya dan Shenka pertama kali dipertemukan oleh ketidaksengajaan. Shenka meninggalkan sapu tangan di halte dan Kafka berlari untuk mengembalikannya. Berkenalan, merasa nyaman, lalu pacaran. Klise, tapi semua tahu kisah klise mempunyai akhir bahagia selama-lamanya. Hal yang kini selalu Kafka panjatkan dalam harapnya.
"Kamu nggak minum?" Kening Shenka berkerut samar saat menyadari Kafka hanya diam dan memperhatikan dirinya. Bibirnya mengerucut kecil saat Kafka bukan menjawab tapi malah semakin memandanginya dengan senyuman.
Kafka terkekeh kecil. Ia pun mengulurkan tangan untuk menepis bulir air yang tersangkut di rambut Shenka. Memang di perjalanan tadi mereka sedikit terkena gerimis.
"Kamu harus minum dulu." Shenka memberikan cebikan kecil. "Kenapa selalu abai banget sama minum, padahal itu penting."
Menurut pandangan Kafka, Shenka itu seperti peri kecil. Dia selalu menebarkan kebaikan dengan tingkah lembutnya. Selalu mengingatkan hal yang Kafka abaikan. Meskipun belum total, tapi sedikit kini Kafka mulai menjalankan hidup dengan lebih sehat.
Seperti yang selalu menjadi jargon utama di kebanyakan novel remaja. Mau se-badboy apa pun cowok, mereka akan berubah di tangan cewek yang dicintainya.
Kafka tahu ini cukup menggelikan, tapi memang sedalam itu Kafka terjatuh pada Shenka. Hingga dirinya yang diberi titel garang oleh anak-anak di sekolahnya saja bisa takluk. Hanya dengan satu senyuman Shenka, Kafka bisa menjadi kucing yang jinak.
Mau bucin atau bahkan tolol sekali pun, Kafka akan terima jika itu tentang Shenka.
"Minum."
Tangan lembut Shenka meraih tangan Kafka kemudian menggenggamkan pada minuman milik cowok itu. Kafka tertawa kecil lagi. Mungkin sekali Kafka harus menjelaskan pada Shenka betapa menggemaskannya cewek itu ketika berusaha membantu Kafka padahal dirinya sendiri terlihat seperti gumpalan kapas yang harus dilindungi.
"Oke, oke, aku minum."
Kafka pun mulai menyedot jus mangganya. Hanya dengan Shenka, Kafka bahkan tidak berani memesan kopi. Ia selalu memesan jus mengikuti selera cewek itu.
"Kita putus."
Minuman yang belum sepenuhnya Kafka telan itu seketika termuntahkan kembali. Kafka dibuat terbatuk beberapa saat, yang cepat-cepat ia redam dan menatap Shenka dengan penuh pertanyaan.
"Ka-kamu bilang apa?" Suara Kafka sedikit tertahan karena ia juga menahan perih dari minuman yang masuk ke hidung. Kepalanya sampai terasa pening. Namun, itu tak lebih penting daripada mengonfirmasi jika barusan dirinya salah dengar.
"Kita putus," ulang Shenka tanpa beban.
Kafka tahu kepribadian cewek itu tenang, tapi haruskah juga dipakai dalam situasi ini? Maksudnya hubungan mereka tidak ada masalah. Semua berjalan seperti biasanya. Kenapa harus tiba-tiba diakhiri? Ini sama saja seperti disambar petir di terik siang.
"By, kamu nge-prank aku ya?" Kafka mencoba lebih tenang meski tenggorokannya serasa dicekat. Ia tertawa sumbang dengan kepala menoleh ke sana kemari mencari kamera. Sayangnya harapan itu harus lebur saat Shenka menggeleng dengan pasti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Sister
Teen FictionKetika cewek yang lagi disayang-sayangnya adalah anak dari suami nyokap lo. Mau benci, tapi masih cinta. Mau cinta, dia adek lo. *** Orang bilang kebucinan Kafka pada Shenka itu sudah pada tahap akut. Kafka tak masalah dicap lebay. Baginya Shenka a...