6. Makan Malam

1.2K 157 15
                                    

"Do you wanna build a snowman~"

Kafka mengusap wajahnya. Cewek itu tidak menyerah juga. Padahal sudah Kafka abaikan dari tadi. Dia terus berada di depan pintu kamarnya. Mengetuk-ngetuk dan mengajak makan malam--yang sekarang malah cosplay jadi Anna.

"C'mon let's go and play~"

Kafka malah jadi teringat dengan video di mana nyanyian Anna itu langsung ditanggapi dengan No yang menggelegar. Apakah Kafka juga harus melakukannya ya? Biar dia diam?

"Do you wanna build a snowman~"

Tidak, lebih baik Kafka tidur. Anggap saja nyanyian Shenka yang berupa dua bait yang diulang-ulang itu sebagai pengantar tidur. Ini memang masih cukup siang, tapi bukan dosa juga 'kan tidur jam 7? Lebih baik untuk kesehatan jiwanya juga.

Kafka berbaring dengan tangan sebagai bantalnya. Ia pun mulai memejamkan mata. Namun, setelah beberapa saat, nyanyian Shenka tiba-tiba berhenti. Kafka membuka mata kembali dengan kernyitan heran. Apa dia sudah menyerah setelah 10 menit mencoba mengganggunya itu? Eum, mungkin Shenka tak sebebal yang Kafka kira.

"Hallo, Mama?"

Kafka belum mendengar suara kendaraan datang, yang menjadi indikasi orang tuanya itu belum pulang. Shenka bertelepon dengan ibunya?

"Mama kapan pulang, huhu ...."

Eh? Apa-apaan anak itu? Kenapa tiba-tiba menjadi menangis?

"Shenka belum makan, Mama. Kak Kafka nggak mau keluar dari kamarnya."

Kafka melotot. Kenapa Shenka yang tidak makan seolah-olah menjadi salahnya? Cewek itu bisa makan sendiri jika mau. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan Kafka.

"Iya, Ma. Ini Shenka udah 2 jam nungguin di depan kamar Kak Kafka ...."

Ya Tuhan, memang salah ya Kafka sempat berbaik sangka pada cewek itu. Dia tetap iblis kecil yang menyebalkan.

"Shenka laper banget, Ma, huhu ...."

Kafka bangkit, dirinya tidak bisa diam saja. Ia tak rela jika harus menanggung omelan mamanya atas fitnah itu. Meskipun belum lama mereka menjadi keluarga, Teresa jelas lebih terlihat memihak Shenka, apalagi jika cewek itu membuat drama.

Kafka membuka pintunya lalu menatap Shenka tajam. Bukannya takut, Shenka yang tengah bersandar santai pada kusen pintu itu seketika menyunggingkan senyum.

"Yah, boong," ucap Shenka menunjukkan layar ponselnya yang mati.

Kafka merapatkan geraham, ia hendak menutup pintunya kembali, tapi dengan cepat Shenka memeluk tangannya.

"SHENKA!" pekik Kafka. Bukan karena kesal tindakannya dihalangi, tapi kaget akan Shenka yang menempel seperti ini padanya.

"Kak Kafka belum makan." Shenka menarik tangan Kafka agar ikut dengannya ke arah dapur.

"Itu bukan urusan lo."

"Aku adik Kak Kafka, udah kewajiban aku mastiin Kakak makan yang bener. Mama sama Papa nggak bakal pulang karena banyak keluarga yang ngumpul di rumah Nenek, tadi telpon. Yang itu nggak boong."

Shenka itu bertubuh kecil, apalagi tangan kurusnya, mudah sekali sebenarnya untuk ditepis. Namun, entah mengapa Kafka seperti kehilangan kemampuan dan malah tergiring begitu saja, bahkan saat Shenka mendudukkannya pada salah satu kursi.

"Meskipun orangnya nyebelin, tapi masakan Bibi enak kok," ucap Shenka seraya mengisi piring di depan Kafka dengan nasi dan lauk pauk. Shenka juga mengisi piringnya lalu duduk di seberang Kafka.

Hello SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang