16

12 5 4
                                    

Selama beberapa detik, baik aku maupun Diaz tak ada yang bersuara. Ucapan kakak benar-benar gila. Aku kaget sekali sampai sanggup melongo saja. Bagaimana bisa dia ....

"Woi, Kak! Yang bener aja!" semprotku, segera setelah bisa menguasai diri. "Kalau nggak ada bahan buat diomongin, mendingan diam aja. Oke?" Dasar! Bikin suasana jadi aneh saja. Dipikir aku bakalan senang apa?

"Lho, kenapa? Kamu kan emang jomblo, Kal." Kak Arin malah tertawa. "Daripada bingung-bingung nyari pacar, kenapa nggak ngambil yang dekat-dekat aja, kan? Gimana menurut kamu, Yaz?"

"Mana ada!" sahutku menyerobot Diaz. "Asal Kak Arin tahu aja. Diaz nggak pernah bingung kok buat nyari cewek. Yang naksir dia itu di mana-mana ada. Dia begitu cuma karena hari ini baru aja putus. Nggak lama lagi, Diaz pasti bakalan ketemu cewek cantik yang bisa nyembuhin patah hatinya."

Memang aku pernah suka Diaz. Tapi asal tahu saja. Yang Kak Arin harapkan itu, bagiku sudah jadi cerita lama.

"Yaah, penonton kecewa," rutuk kakak sambil berlalu ke ruang tengah. "Sering-sering main ke sini lah, Yaz! Nanti jangan lupa, kenalin aku sama cewek barunya!"

"Siap, Kak!" jawab Diaz ala kadarnya.

"Nggak usah didengerin. Kak Arin tuh, kalau ngomong kadang asal keluar aja. Suka kesel aku tu sama dia," celotehku sembari berpaling pada Diaz. Anak itu sedang melamun menatap gelas kosongnya. "Masih haus, ya? Mau aku ambilin minuman lagi?"

"Nggak. Aku cuma lagi ngerasa ...." Diaz terpekur lagi untuk beberapa lama.

"Ngerasa apa?" tanyaku, mendadak terngiang oleh perkataan Kak Arin sebelumnya. Namun aku langsung menepisnya. Tak mungkin Diaz terpengaruh oleh ceplosan sembarangan semacam itu.

"Kecewa," ujar Diaz tanpa merubah ekspresi.

"Ooh, kita kembali membahas Audi ya?"

"Itu juga bikin kecewa, tapi aku nggak lagi ngomongin dia."

"Terus ngomongin siapa?" Dengan aneh aku menatapnya.

"Kamu."

"Hah, aku??" Terang saja aku terperanjat. "Kok bisa jadi aku? Emang kapan aku bikin kamu kecewa?"

"Barusan ...." Diaz menggantung ucapan sambil memandangku.

"Barusan apa?" Perasaanku jadi tak nyaman.

"Kamu bilang Riko lebih ganteng daripada aku. Gimana aku nggak kecewa coba?"

"Oh." Serta merta aku terbahak mendengarnya. "Ya ampun, Yaz. Aku cuma bercanda elah. Kamu serius nanyain aku kayak gitu apa?"

"Tentu aja serius," Diaz bersungut. "Jadi kalau nggak bercanda, apa berarti aku masih gantengan daripada dia?"

"Hm, aku nggak pernah bener-bener merhatiin Riko, sih. Tapi kurasa dia lumayan juga. Beberapa anak Bahasa yang dulu satu SMP denganku pernah nanya-nanya soal dia," ucapku sebijaksana mungkin. "Biarpun begitu, masih lebih banyak cewek yang terang-terangan ngomongin kamu ketimbang Riko. Jadi harusnya udah ketebak siapa yang lebih oke kalau dilihat dari jumlah peminatnya."

Kali ini sebagai tanggapan, Diaz mengelus-elus dagunya dengan bangga.

"Lagian, tumben-tumbenan kamu nanya hal kayak gitu. Seumur-umur kita temenan, kayaknya kamu nggak pernah deh nunjukin tanda-tanda kenarsisan. Apalagi banding-bandingin tampang sendiri sama teman."

Diaz tergelak. "Aku juga cuma bercanda kok, Kal. Cuma pengen tahu di mata kamu yang adalah teman aku, aku ini kayak gimana. Biasanya antar teman kan, mau secakep apapun bentuk kita kelihatannya jadi biasa aja."

"Udah tahu nanya," gumamku yang lagi-lagi dibalas oleh tawa. Aku terpaksa tidak berterus terang bahwa sebenarnya, aku selalu menganggap Diaz ganteng semenjak kami bertemu lagi di SMA. Hanya saja aku sudah mengubur dalam-dalam semua pemikiran itu semenjak ia jadian dengan Manda.

Seiring waktu aku berhasil menganggap Diaz lagi sebagai teman biasa. Tentunya hal itu tak lepas dari keberadaan Rendra. Si buaya itu .... Kini justru dia yang mengambil alih tempat Diaz sebelumnya. Bahkan ia memperluas teritorialnya tanpa pernah aku duga. Kuharap, sebentar lagi hatiku juga mampu melepas cowok itu sepenuhnya.

***


"Temannya Kak Martin ada yang minta dikenalin sama Kallea," ucap Vika suatu hari di pelajaran terakhir, di mana kami berempat sedang berdiskusi untuk pekerjaan kelompok Bahasa Indonesia.

"Temannya yang mana?" Aku langsung melirik. Deretan cowok kakak kelas yang merupakan teman-temannya Kak Martin kebanyakan aku kenal meskipun hanya sekedar nama.

"Bukan dari sekolah kita, kok. Aku aja baru sekali doang ketemu dia," terang Vika sambil memainkan bolpoin di tangannya. "Dia anak SMA Pancasila. Satu angkatan sama kita, bukan kakak kelas. Orangnya cakep, sih. Kata Kak Martin, dia juga bukan tipe yang suka macem-macem. Tapi aku nggak bisa ngasih jaminan karena aku sendiri belum beneran kenal dia. Cuman kalau dari kesan pertama ya, anaknya kelihatan bener."

"Gimana bisa Kak Martin temenan sama anak Pancasila? Mana nggak seangkatan lagi," Riko berkata heran.

"Oh, mereka tetanggaan. Kadang-kadang mereka nonton bola bareng, juga sesekali nongkrong sambil gitaran kalau malem. Ya pokoknya kayak normalnya orang bertetangga lah." Pandangan Vika beralih ke Riko. "Kak Martin bilang, minggu lalu dia ke sekolah kita buat ikut pertandingan basket. Terus pas mau pulang gitu, katanya dia lihat Kallea lagi ngobrol sama aku dan Kak Martin."

"Bentar. Jadi, maksudnya dia anak basket?" Riko membalas pandangan Vika dengan takjub.

"Seriusan dia anak basketnya SMA Pancasila?" Diaz turut serta.

Vika meringis pada keduanya. "Begitulah." Ia lalu memandangku tak enak. "Aku tahu Kallea mungkin punya perasaan tersendiri terhadap anak basket. Tapi ayolah, guys. Dia itu bagian dari tim basket SMA Pancasila. SMA Pancasila yang selalu menjuarai liga di Surabaya. Bukannya itu agak keren?"

"Justru itu," Diaz menimpali. "SMA Pancasila itu kan rival terbesar sekolah kita. Terutama dalam hal basket, mereka selalu gagalin tim SMA Nusantara di semi final. Gimana bisa Kak Martin malah mau ngenalin bagian inti rivalnya ke Kallea? Kallea, yang jelas-jelas mantannya anak basket sekolah kita."

"Haha, justru itu." Vika membalik ucapan Diaz. "Bukannya itu malah bagus?"

"Bagus dari mananya? Bukannya sama ajak ngajak gelut?" Diaz mendumal.

"Baru-baru ini, Kak Martin sedikit nyari tahu dan kayaknya emang benar. Rendra punya pacar lain di luar sekolah sejak masih pacaran dengan Kallea," bisik Vika hingga Diaz dan Riko kompak memajukan kepala. "Gimanapun Kak Martin ikut kesel tahu berita itu. Nah, kebetulan banget temannya yang anak basket Pancasila itu tiba-tiba nanyain Kallea."

Tanpa dilanjutkan pun, kami bertiga pun langsung tahu ke mana arah pembicaraan Vika.

"Nggak, ah. Jangan suruh Kallea balas dendam dengan cara manfaatin orang," sanggah Diaz kemudian.

"Bener," sambung Riko. "Kayaknya malah bahaya buat Kallea kalau entar anak Pancasila itu tahu Kallea pernah pacaran sama Rendra."

"Eh, jangan buru-buru ngambil kesimpulan gitu, dong!" sela Vika. "Kallea kan nggak harus jadi pacarnya dia. Yang penting kenalan aja dulu. Kalau memang nggak tertarik, ya anggap aja buat nambah-nambah teman. Gimana?"

"Tetap nggak setuju," ujar Diaz kukuh.

"Nama dia siapa?" Aku yang dari tadi diam akhirnya bersuara. Diaz dan Riko sontak menoleh padaku sambil membelalakkan mata.

"A-ha!" Seketika senyum Vika mengembang dengan sempurna. "Namanya Rion. Orion. Harusnya Kallea nggak asing sama Rion, karena anak-anak basket sekolah kita pasti pernah ngomongin dia."

Vika benar. Walaupun aku tidak tahu pasti Orion orangnya yang mana, tapi nama itu sering sekali disebut-sebut Kak Junot ketika berbincang dengan anak setim lainnya. Menariknya lagi, cowok bernama Rion itu kabarnya tidak pernah akur dengan Rendra.

Mr. Croco And My Best Friend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang