"Kamu yakin mau kenalan sama cowok itu?" tanya Diaz usai bel pulang berdentang.
"Hm," anggukku. "Jangan kuatir. Aku nggak mungkin macarin cowok cuma buat balas sikap buruk seseorang."
"Yah, emang nggak kehitung sih berapa cowok yang kamu tolak sebelum jadian sama Rendra," papar Diaz. "Tapi justru di situ juga letak sumbunya. Aku jadi nggak tahu kamu bakal gimana kalau sudah nyangkut Rendra. Soalnya cowok itu adalah orang pertama yang kamu suka. Jadi ...."
"Sudah kubilang kan, ada cowok lain yang pernah kusukai sebelum dia," potongku sambil mendecak bosan. "Dia memang pacar pertama aku, tapi bukan berarti cinta pertamaku juga. Aku punya pengalaman perihal memendam rasa sampai melupakannya. Jadi nggak usah mikir kejauhan, oke? Aku nggak segila itu sampai mau pacaran sama cowok tanpa ada perasaan."
"Terus apa tujuan kamu mau dikenalin sama Orion?" Diaz merendahkan suaranya.
"Aku cuma penasaran orang yang namanya Rion itu kayak apa. Sehebat apa dia dalam basket sampai Kak Junot sering kali nyebutin dia pas latihan," ucapku sembari menyandang ransel ke bahu. "Aku serius nggak ada rencana apa-apa, setidaknya buat sekarang ini. Aku setuju sama Vika buat kenalan dulu sama dia. Nggak ada salahnya nyoba berteman. Syukur-syukur kalau orangnya beneran baik dan menarik, aku jadi bisa punya pacar lagi, kan?" candaku yang langsung diberi dengusan.
"Pacaran sama rivalnya mantan. Kedengarannya bakalan heboh."
"Eh?" Dengan kaget aku menatap Diaz. "Emangnya beneran? Kamu juga pernah denger kabar itu, Yaz?"
"Kabar yang mana?" Diaz membalas tatapanku tak mengerti.
"Soal si buaya, yang katanya hubungannya kurang baik sama si Orion itu."
"Kal," Diaz tiba-tiba mencekal lenganku. Saat itu kami sudah mulai berjalan meninggalkan kelas, beberapa langkah dari depan pintu. "Sekarang jujur deh sama aku. Kamu beneran pengen balas Rendra lewat cowok itu, kan?"
"Hah, beneran deh." Aku menjatuhkan kedua bahu dengan lelah. "Apaan, sih? Ya mungkin ada, sedikit niatan."
"Tuh, kan!" Seketika Diaz mencengkeram kedua bahuku dan mengguncang-guncangkannya. "Kal, sadar, Kal! Aku percaya kamu bukan orang kayak gitu. Aku udah kenal kamu dari kecil dan nggak pernah ada ceritanya hatimu jadi kotor begitu. Jangan gara-gara satu cowok kamu berubah jadi cewek berhati sempit gini, plis. Daripada ngelakuin hal nggak bener kayak gitu, mendingan kita naik kora-kora lalu kamu keluarin semua emosi di situ. Teriak sekencang-kencangnya. Sebut nama si buaya dan seluruh penghuni kebun binatang lainnya sampai kamu merasa lega."
Terang saja aku dibuat terpingkal oleh perkataannya. "Serius, Yaz, kamu mau naik kora-kora?"
"Kalau kamu emang mau naik, aku bersedia nemenin. Mumpung kita lagi sama-sama jomblo juga."
Aku tertawa lagi sambil melepaskan diri dari cengkeramannya. "Kayaknya boleh dicoba, tuh. Lagian bener, udah lama banget kita nggak main bareng ke mana gitu. Hari Minggu besok nggak ada acara, kan? Gimana kalau ajak Riko sama Vika juga?"
"Kalau Vika ngajak Kak Martin, entar jumlah kita ganjil, dong." Diaz tercenung. "Tapi nggak mungkin juga kita ngelarang Vika ngajak cowoknya."
"Gampang. Tinggal ajak satu orang lagi, kan?"
"Orang lain siapa?" tanya Diaz datar. "Riko aja sama-sama nggak punya pacar."
"Si Orion itu, kita undang aja biar jumlah kita jadi berenam."
"Oh." Diaz menanggapi pendek lantas berlalu begitu saja meninggalkanku.
"Hei, Yaz! Dengerin dulu!" Aku mengejarnya. "Ini nggak seperti yang kamu kira, kok. Coba dipikir lagi. Bukannya bagus kalau dia diajak biar sekalian kita semua bisa kenalan? Jadi kamu bisa langsung menilai sendiri dia orangnya kayak gimana. Aku nggak mau berekspektasi tinggi tentang dia sih, tapi ayolah ...."
"Guys, kalian lama banget sih keluar kelasnya?" seru Vika yang rupanya masih berada di ujung tangga. "Ditungguin juga, malah berdua ribut kayak orang pacaran lagi berantem aja."
"Heh, ngadi-ngadi!" Diaz menggaruk kepalanya waktu kami mendekati Vika. "Tumben belum langsung balik. Kak Martin ke mana?"
"Oh, dia sudah di depan gerbang," jawab Vika sambil menunjukkan ponselnya. "Barusan dia minta aku buat ngajak Kallea nyamperin dia ke sana."
"Oh, ya?" Tentu saja aku keheranan. "Ada urusan apa memangnya?"
"Kak Martin bilang, Orion ada di depan sekolah kita sekarang."
"Hah?!" Aku dan Diaz sontak bertukar pandang. "Yang bener, Vik? Kok bisa? Emangnya, sekolah dia keluar jam berapa?"
"Ya sama kayak kita. Kebetulan aja dia abis ada ulangan, terus bisa keluar agak awal." Vika menerangkan berdasarkan pesan dari pacarnya itu. "Yuk!"
"Aku ikut!" serobot Diaz ketika Vika menarik siku tanganku untuk menuruni tangga.
"Apa? Ikut ke mana maksudnya?" Vika langsung memberinya tatapan sinis.
"Kenalan sama Orion ...."
"Nggak!" jawab Vika bahkan sebelum Diaz selesai bicara.
"Kenapa nggak boleh?"
"Yang bener aja! Kallea ini mau aku kenalin ke cowok. Kalau kamu ikut, kamu bisa bikin cowok itu bertanya-tanya kamu ini siapanya."
"Lah, aku kan temennya Kallea. Teman kamu juga, Vik," sergah Diaz. "Aku jadi penasaran sama si Rion itu setelah dengar ceritanya."
"Maaf, tetap nggak bisa!" tegas Vika. "Oke. Kamu bakal aku kenalin ke Rion juga kok, Yaz. Tenang aja. Tapi besok ya, nggak sekarang. Bye!"
"Yah, terpaksa," ucapku sebelum Vika menarikku lebih jauh. "Duluan, Yaz!" lambaiku padanya.
***
"Vik, tiba-tiba aku jadi nggak yakin buat ketemu Rion sekarang," bisikku ketika kami hampir mencapai gerbang."Kenapa? Karena kamu nggak sempat dandan, ya?" Vika memerhatikanku yang jalan di sampingnya. "Tetap keliatan cantik, kok. Santai aja, Kal."
"Bukan itu." Aku mendesah. "Tapi lihat, deh. Kenapa hari ini, rasanya banyak anak tim basket berkeliaran di sekitar gerbang coba?"
"Ah, nggak juga. Biasanya juga kayak gini, kok." Vika melihat berkeliling. "Kalau maksudmu Kak Junot sama Rendra, dari tadi mereka emang jalan nggak jauh dari kita. Kayaknya Kak Junot abis nyamperin Rendra ke kelasnya, deh. Soalnya pas aku nungguin kamu di atas tangga tadi, aku liat mereka jalan di belakang kamu sama Diaz."
"Apa? Di belakang gimana?" pekikku panik. Bagaimana bisa aku tidak melihat keberadaan mereka? Bisa gawat kalau keduanya mendengar percakapanku dengan Diaz sebelumnya.
"Ya nggak di belakang persis, sih. Agak jauh. Tahu sendiri kan, di mana kelas Rendra?" tenang Vika lalu menyenggol pundakku. "Lucunya, mereka ngeliatin aneh gitu pas kamu debat nggak jelas sama Diaz. Seolah-olah kamu sama Diaz itu sepasang kekasih aja, haha."
"Itu berdasarkan pandangan kamu aja kali," simpulku sambil memutar mata.
"Bisa jadi," Vika tertawa lagi. "Tapi Diaz sih belum apa-apa. Tunggu sebentar lagi sampai mereka ngeliat kamu dekat sama siapa."
Hampir saja aku mengatakan bahwa Vika terlalu percaya diri akan pemikirannya. Namun sebelum aku jadi bersuara, aku lebih dulu mendengar bisik-bisik dari beberapa cowok kakak kelas yang lewat di depanku.
"Eh, bukannya itu Rion, ya?"
"Rion siapa?"
"Rion anak Pancasila itu, lho. Yang jago banget main basketnya."
"Oh, Orion maksudnya?" Kakak kelas berambut cepak itu menoleh ke area gerbang bagian luar. "Ngapain jam segini dia nongkrong di depan sekolah kita?"
"Nggak tahu juga. Kenal Martin tuh kayaknya."
Aku mendadak berdebar-debar karena percakapan keduanya. Sepertinya Diaz ada benarnya. Ini agak berbahaya. Harusnya aku menuruti ucapannya dan Riko saja jika ingin hidup lebih tentram.
"Ehm, Vik. Setelah kupikir-pikir lagi, kayaknya aku nggak bisa ...."
"Kallea!" sebut suara Kak Martin tiba-tiba. Secara spontan aku menengok ke arahnya. "Kenapa baru nongol aja? Nih, ada yang udah nungguin dari tadi." Ia menunjuk seorang cowok yang berdiri di sebelahnya.
"Ah." Aku menelan ludah. Dalam sekejap, semua mata langsung terarah kepadaku, kemudian kepada cowok di depan sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Croco And My Best Friend
RomansaKarena jatuh cinta pada teman baik sudah tidak ada harapan, aku mencoba peruntungan pada cinta lain yang datang. Tapi, kenapa aku malah kena jebakan? ©Francesc Indah 2022