"Kamu kan putusnya sama Rendra, tapi kenapa jadi ngindarin aku juga?" Kak Junot mencegatku suatu hari, ketika aku keluar dari kantor guru.
"Aku nggak pernah ngindarin Kak Junot, kok," balasku sesantai mungkin.
"Nggak usah bohong." Kakak kelas populer yang menjadi kapten basket itu mencemooh. "Padahal aku seneng lho kenal sama kamu."
"Duh, hati-hati ngomongnya, Kak. Kalau orang lain denger terus ngadu ke pacar Kak Junot, kita bisa kena skandal, lho. Aku nggak mau digosipin jadi tukang rebut pacar orang. Apalagi Kak Lany tuh baik banget sama aku," kataku dramatis.
"Ayolah, Kal. Lany juga suka kamu, kok." Kak Junot tak mau menanggapi candaanku.
"Oke. Emang Kak Junot mau aku gimana?" kataku, tak kuat juga berusaha terus bersikap naif. "Kalau Kak Junot mau aku sering-sering lagi nonton latihan basket tiap sore, atau ikut menghadiri acara-acara yang biasa diadain anak-anak basket, itu jelas aku nggak bisa. Kurasa Kak Junot nggak sepolos itu buat tahu alasannya kenapa."
Cowok jangkung bermata sipit itu tak bersuara.
"Coba bayangin. Bukannya aku bakal keliatan konyol kalau aku ikut nongkrong kalian sementara dia ..., orang itu asyik mesra-mesraan sama pacarnya yang sekarang?" ujarku, menahan agar tidak jengkel berlebihan. "Jangan dikira cemburu, aku cuma nggak nyaman. Jadi bukan karena aku sengaja ngindarin Kak Junot atau Kak Lany. Aku juga senang kok berteman sama kalian. Alasanku nggak bisa karena di mana ada Kak Junot, di situ pasti ada dia. Oke, Kak Junot sama Kak Lany boleh ngundang aku main bareng kapan-kapan. Asalkan nggak ada orang itu dan orang-orang yang ada hubungan lebih sama dia, sepertinya aku bakalan datang."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, aku berjalan menyamping supaya bisa melewati Kak Junot yang menghadangku.
"Kenapa sih kamu mutusin Rendra?" tanya Kak Junot tiba-tiba, membuatku yang sedang melangkah tepat di sisinya otomatis terhenti. "Apa alasan kamu mutusin dia secara mendadak seperti itu?"
Padahal sudah hampir dua bulan semenjak berakhirnya hubungan itu, tapi orang-orang di sekelilingku masih saja bertanya-tanya.
"Kak Junot sungguh nggak tahu apa-apa?" tanyaku sembari meliriknya.
"Apa?" Kakak kelas itu menautkan kedua alisnya. "Bagaimana aku bisa tahu, kalau Rendra saja tidak?" ujarnya kebingungan. "Kamu sendiri juga nggak bilang apa-apa."
"Begitu ya." Aku tersenyum getir. Memang saat itu teman-teman Rendra yang membicarakanku di belakang adalah geng teman sekelasnya. Namun aku juga tak yakin Kak Junot dan para anak basket lainnya tak tahu soal kelakuan belang manusia itu.
"Memangnya kenapa, Kal?" Kak Junot menatapku amat penasaran.
Aku berpaling ke arah lain. "Sebenarnya aku sengaja nggak mau bilang biar dia bingung sendirian. Syukur-syukur sih, nanti bisa sadar," ucapku, kedengarannya seperti antagonis di drama musikal. "Kalau aku kasih tahu Kak Junot, artinya dia juga bakal tahu. Jadinya nggak seru lagi, dong."
Untuk beberapa detik Kak Junot terpana, seakan mencoba mencaritahu apa inti pembicaraanku. "Aku janji nggak akan bilang-bilang."
"Nggak mungkin," kataku dingin. Tidak mungkin Kak Junot akan tinggal diam jika aku membeberkan alasannya. Dia pasti akan menanyakan kebenarannya pada Rendra cepat atau lambat.
"Kamu bisa pegang janji aku, Kal."
Aku tersenyum samar padanya. "Aku jamin, Kak Junot bakal nggak bisa menyimpan rahasia ini sendirian. Kalau kuberitahu, Kak Junot pasti akan semakin penasaran. Lalu Kak Junot bakal mulai mencari tahu kebenarannya dari orang sekitar, atau mungkin malah tanya langsung ke orang yang bersangkutan."
"Kamu sadar nggak sih, kalau saat ini kamu nyebelin banget?" Perkataan Kak Junot sama sekali tak kuduga. "Kamu nggak mau ngasih tahu tapi yang kamu lakuin bikin aku tambah penasaran. Bosan hidup, ya?"
Tawa kecilku menyembur keluar. "Aku nggak bermaksud begitu, Kak. Maaf," ujarku kegelian. "Tapi serius, aku ...."
"Aku benar-benar nggak akan bilang ke Rendra atau anak-anak lain. Kamu bisa percaya sama aku, Kal," potong Kak Junot tak kalah sungguh-sungguhnya. "Kamu boleh berlagak nggak kenal aku lagi kalau sampai hal ini terdengar sampai telinga Rendra."
Terus terang sikap Kak Junot membuatku tertegun. "Kenapa?" tanyaku kemudian. "Kenapa Kak Junot ingin sekali tahu walau pada akhirnya nggak boleh bilang apapun ke dia?"
"Aku penasaran," jawabnya sederhana. "Selama ini kamu sama Rendra baik-baik aja. Kuperhatiin kalian berdua juga sama-sama suka, hampir nggak pernah bertengkar. Tapi kenapa?"
Kutelan ludah lantas menghela napas dalam. "Aku nggak sengaja mengetahui dia berhubungan dengan cewek lain di belakang."
"Maksudmu Oliv?" Kak Junot mengerutkan kening. "Ayolah, Kal. Sudah rahasia umum kalau dari dulu Oliv naksir Rendra. Tapi ya, asal kamu tahu aja. Rendra nggak pernah serius suka sama dia. Sekarang mereka jadian juga cuma buat heboh-hebohin suasana aja. Kalau emang Rendra suka, harusnya dia udah nerima Oliv dari jauh-jauh hari. Bahkan sebelum kenal kamu."
Aku tertawa pahit. Bisa-bisanya aku sempat berpacaran dengan cowok semacam itu. Anehnya, orang-orang di sekeliling kami memintaku agar bersedia memaklumi wataknya. Tidakkah mereka coba melihat dari sudut pandangku? "Kak Oliv bukan penyebab satu-satunya."
"Apa?" Kak Junot memandangku bingung. "Memang apa lagi?"
"Kak Junot lihat sendiri kelakuannya sekarang. Nggak cuma Kak Oliv, dia juga dekat sama anak kelas 10 yang mencolok itu. Di luar sekolah dia juga punya banyak gebetan lain. Cewek-cewek cantik yang nggak sadar sudah dia bodohi," tuturku dengan suara agak pelan. "Ada yang bilang dia jadi begitu semenjak diputus tiba-tiba sama aku. Mereka cuma nggak tahu. Sebenarnya dia sudah berkelakuan seperti itu sejak masih berpacaran denganku. Hanya saja tidak seterang-terangan itu. Aku pun menyesal baru tahu setelah berbulan-bulan jadi pacar cowok sebuaya itu."
Kak Junot kembali terdiam. Pandangannya yang tertunduk membuatku mencurigai sesuatu.
"Yah, sudah kuduga Kak Junot bukannya nggak tahu apa-apa soal itu," gumamku dengan miris. "Aku duluan, Kak."
"Aku tidak benar-benar tahu soal itu, Kal. Aku cuma beberapa kali mendengarnya dari candaan anak-anak." Kak Junot berusaha sekali lagi menahan kepergianku. "Aku nggak tahu pasti tentang yang lain. Di depanku Rendra cuma sering ngomongin kamu. Sampai sekarang pun, dia masih aja ...."
"Sudahlah, Kak," selaku. "Hubunganku dan dia sudah selesai. Nggak ada gunanya kita terus bahasin ini."
"Tapi Rendra suka kamu beneran, Kal. Sebagai teman, aku cuma ingin membantu. Dia bener-bener suka sama kamu."
"Aku tahu," sahutku membuat mata Kak Junot melebar. "Aku tahu dia suka aku. Aku nggak pernah menyangkal soal itu." Jeda sekitar tiga detik. "Tapi dia juga suka banyak cewek lain di luar sana. Aku nggak sespesial itu di hatinya. Aku ... nggak ada bedanya sama mereka."
Kali ini Kak Junot hanya termangu menyaksikanku pergi. Dia pun tak bisa lagi menimpali karena memang begitulah kenyataannya. Ah, serius. Bisa-bisanya. Semoga saja Kak Junot tak memergoki mataku yang berkaca-kaca. Semoga juga dia memegang janjinya untuk tak mengatakan semua ini pada dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Croco And My Best Friend
Roman d'amourKarena jatuh cinta pada teman baik sudah tidak ada harapan, aku mencoba peruntungan pada cinta lain yang datang. Tapi, kenapa aku malah kena jebakan? ©Francesc Indah 2022