15

21 5 2
                                    

"Ha?" Mataku spontan terbelalak dan bibirku ternganga. "Bi-bilang apa tadi?"

"Kupingmu masih normal, kan?" kata Diaz dengan santainya.

"Nggak. Sebelum kamu datang pas aku lagi mandi, telingaku sempat kemasukan air sebenernya." Kumiringkan kepalaku lalu kupukul-pukul pelan bagian yang ada di atas.

"Seriusan?" Diaz mengamatiku tak percaya.

"Iya lah." Aku menegakkan leher ke posisi semula. "Omongan kamu tadi sebenarnya sarkas, kan? Kamu bilang aku masih lebih cantik dari Audi, padahal yang kamu maksud sebaliknya. Semua orang juga tahu kalau Audi itu si cewek cantik teladan. Jahat banget sih jadi teman."

"Apaan sih?" decak Diaz. "Emang kapan aku sarkasin orang?"

"Ya tadi, kan?"

"Nggak," Diaz menggeleng. "Audi emang cantik, tapi kamu ya ... kayak yang tadi aku bilang. Yah, kalo dipikir lagi ucapanku barusan agak aneh ya emang. Ya udah deh, lupain aja."

"Oh." Aku jadi tidak tahu harus bereaksi apa. Bisa jadi Diaz hanya sedang kecewa pada Audi sehingga berbicara sembarangan. Pikirannya kacau sampai-sampai memandangku secara tak wajar. Aku tidak boleh kege-eran. "Ngomong-ngomong kamu kelihatan lebih tenang daripada yang kukira. Maksudku, keadaanmu sekarang nggak kayak pas abis putus sama Manda."

"Tentu aja beda," Diaz cepat membalas.

"Kenapa? Apa kamu nggak sesuka itu sama Audi?"

"Kata siapa? Aku suka kok sama dia," sahut Diaz singkat saja.

"Lebih suka siapa kalau sama Manda?" Aku coba memancing, dan sorot mata anak itu langsung terlihat tak suka.

"Apa harus dibanding-bandingin?" ucapnya menohokku. "Aku bilang beda karena ya emang beda. Setiap kisah punya tempatnya sendiri. Yang udah lalu biarlah berlalu."

"Hehe." Aku terkekeh meminta maaf. "Aku nggak serius nanya, kok. Iseng pengen tahu aja. Maaf kalau bikin kamu tersinggung," ujarku menyesal. "Abisnya, Audi itu kan keren banget, Yaz. Nggak cuma cantik dan pintar, ternyata dia juga rajin nggak ketulungan. Rasanya nggak adil abis diputusin cewek kayak dia kamu cuma lesu gini aja."

"Aku jadi heran. Yang teman kamu siapa, sih? Dari tadi nggak belain aku tapi terus aja muji-muji dia." Diaz lalu mengomeliku.

"Ya maaf." Aku terkekeh lagi. "Sebenarnya aku ini agak ngefans sama Audi. Selama kamu pacaran sama dia, nggak sekalipun aku punya kesempatan buat ngobrol bareng atau ngumpul sama dia. Aku cuma bisa ngeliatin dari jauh karena selalu kamu yang nyamperin dia. Ya nggak? Kalau dulu pas sama Manda kan .... Ah, maaf. Aku nggak akan nyebut-nyebut dia lagi. Pokoknya begitu intinya."

"Tahu sendiri Audi orangnya sibuk. Aku aja kaget pas dia ngaku kalau aku pacar pertamanya."

"Hah? Serius, Yaz?" pekikku seketika. "Gila! Bukannya dari dulu banyak banget cowok yang suka Audi?"

"Pastinya sih iya." Diaz mengangguk setuju. "Tapi dari yang kutahu, Audi nggak pernah bener-bener nanggepin mereka. Dia selalu jaga jarak, bikin cowok-cowok mikir dia udah punya pacar. Aku aja tadinya ngira begitu."

"Wah, kalau gitu kamu termasuk orang spesial buat Audi dong, Yaz. Buktinya kamu ditanggepin sampai bisa jadi pacarnya."

"Hm, sayangnya aku nggak seistimewa itu, Kal. Buktinya baru satu setengah bulan pacaran, dia lalu sadar kalau aku nggak lebih menarik daripada rutinitas hariannya." Diaz tertawa sumbang.

"Bukannya nggak lebih menarik, kamu cuma kalah penting aja, Yaz." Aku membenarkan ucapannya. "Emangnya kamu nggak nyoba ngomong kayak, 'Aku bersedia tetap jadi pacar kamu kok, biarpun kamu cuma punya sedikit waktu buat aku' gitu? Berdasarkan pengamatan aku sih, kamu beneran naksir sama Audi. Pas PDKT sampai seminggu pertama jadian tuh, aku sampai bisa lihat bunga-bunga bermekaran di sekeliling kamu. Ada juga balon-balon cinta beterbangan entah dari mana."

"Lebay!" komentar Diaz diselingi sebuah tawa. "Emang aku beneran tertarik sama dia, kok. Terus secara tersirat, aku juga udah mau ngomong kayak gitu tadi. Tapi ...."

"Tapi apa?" tanyaku tak sabar.

"Audi udah lebih dulu bilang kalau dia nggak mau merasa bersalah. Katanya, dia jadi terbebani karena kesannya cuma aku yang bergerak dalam hubungan kami," terang Diaz pelan-pelan. "Bukannya dia nggak mau memperlakukan aku dengan baik juga, tapi kesibukannya itulah yang bikin dia nggak bisa. Dia minta maaf dengan tulus tadi. Walaupun kecewa, tapi di sisi lain aku juga malah kagum sama dia."

"Audi hebat ya." Lagi-lagi aku tak tahan untuk memujinya. "Kepribadiannya ternyata emang bagus seperti kelihatannya. Kalau seperti itu, kamu nggak bakalan jadi canggung walau besok masih harus sering papasan sama dia. Kecuali kalau nanti kamu punya pacar lagi, dan ceweknya masih temenan sama dia. Tapi, kayaknya sulit buat kamu dapetin cewek yang lebih baik dari Audi."

"Masa sih?" Diaz berseloroh. "Apa di mata kamu, Audi sekeren itu?"

"Bukannya udah jelas?" sahutku tanpa ragu.

"Kalau sama aku, kerenan siapa?"

"Bukannya udah jelas?" Aku mengulang jawaban sebelumnya, hingga Diaz memutar mata.

"Ada teman habis putus dihibur dikit, kek. Ini malah belain orang lain terus," dumalnya sebelum menghabiskan cokelat yang sudah tak lagi hangat.

"Kalau disuruh menghibur, aku malah makin nggak bisa ngasih hiburan jadinya." Aku menertawakan ekspresi sebal Diaz dengan geli. "Tapi tenang aja, Yaz. Biarpun kalah keren dari Audi, kamu tetap ganteng kok. Apalagi dengan rambut ditata pakai gel kayak gitu. Asli, kamu jadi kece abis. Gantengnya nyaingin Shawn Mendez."

"Shawn Mendez, ya." Diaz mangut-mangut. "Kalau sama Rendra, gantengan siapa?"

"Kenapa tiba-tiba dia?" Aku memberikan tatapan sengit pada cowok itu.

"Kenapa nggak jawab aja?"

"Ya tapi kenapa harus dia?" protesku. "Nggak ada orang lain yang bisa dijadikan perbandingan apa?"

"Orang lain siapa?" Diaz memasang tampang sok polos waktu memandangku. "Oh, Junot ya maksudnya?"

"Dih, ngapain bawa-bawa Kak Junot segala?"

"Oke, deh. Kalau gitu aku sama Riko, gantengan siapa?" Diaz memandangku dengan cermat, seolah sangat menunggu jawabannya. Sungguh. Rasanya tanganku gatal sekali ingin menempeleng kepalanya.

"Gantengan Riko," kataku kemudian.

"Mana mungkin?" Diaz langsung memprotes.

"Kenapa nggak mungkin?" timpalku sewot.

"Kan jelas gantengan aku ke mana-mana. Jujur aja deh, Kal! Aku masih lebih ganteng daripada Riko, kan? Buktinya, Audi aja mau nerima aku jadi pacarnya."

"Apaan ...."

"Wah, wah, ada apa nih?" Kak Arin yang baru pulang kuliah berseru, membuat perhatian aku dan Diaz teralihkan padanya. "Padahal cuma berdua, tapi suara kalian rame banget sampai kedengeran di luar. Kirain ada Vika juga."

"Nggak, Kak. Aku ke sini sendirian tadi," Diaz menjawab. Suaranya memelan dibanding saat berdebat denganku tadi.

"Tumben," Kak Arin menatapku sejenak. "Kayaknya udah lama banget aku nggak liat kamu mampir. Terakhir ke sini kan, kamu selalu rame-rame ngerjain tugas bareng Vika dan anak-anak lain. Pacarnya nggak dibawa, Yaz?"

"Aku udah nggak punya pacar, Kak."

Jawaban itu menyebabkan Kak Arin yang sudah melangkah menuju ruang tengah seketika berhenti. "Serius? Jadi sekarang kamu jomblo?"

"Iya. Kenapa?" Mata Diaz membelo. "Kak Arin mau ngenalin cewek ke aku, ya?"

"Oh, nggak sih. Nggak ada cewek yang bisa aku kenalin ke kamu sayangnya." Kak Arin menggeleng-gelengkan kepala. "Tapi, bukannya di depan kamu udah ada cewek, ya? Jomblo juga kan dia! Kenapa kalian nggak pacaran aja?"

😆😆😆

Mr. Croco And My Best Friend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang