Si Kembar

1K 112 120
                                    

Pada pukul sebelas malam, gadis berusia lima belas tahun itu berlari kecil dari kamarnya ke kamar sang kakak, napasnya terengah-engah dan wajahnya terlihat panik. Begitu sampai di depan pintu kamar sang kakak, dia langsung membukanya tanpa ketuk terlebih dahulu.

"Kak Sena!" Ujarnya dengan panik. Arva yang terkejut pintunya dibuka begitu saja langsung menatap sang adik―sebelum akhirnya dia mengerti dan segera membuka laci meja belajarnya, mencari sebuah benda kecil yang diperlukan adiknya.

"Sebentar, Vera."

Vera mengangguk, dia duduk di ujung ranjang milik sang kakak dengan gumaman tidak jelas dan raut wajah yang sudah lelah, tidak bisa menunggu. Namun, kakaknya ini tetap saja tenang dalam mencari benda tersebut, seolah mencoba berkata "Jangan panik, Kakak di sini. Sabar, ya? Nggak apa-apa." padanya.

Setelah menunggu sebentar, akhirnya benda itu berhasil didapatkan oleh Arva dan segera dipakaikan kepada Vera, dia menepuk punggung adiknya pelan selama adiknya masih memakai alat itu.

"Udah mendingan?" Vera mengangguk, yang mana hal itu membuat Arva menghela napas lega. Untung saja dia belum tidur, jadi bisa segera menolong adiknya.

"Inhalermu ke mana, Vera?"

Saat ditanya seperti itu, dia hanya terkekeh seolah berkata "Aku hilangin lagi," kepada sang kakak.

"Untung aku simpan satu di kamar. Ara kan nggak nyimpen inhalermu." Ujarnya.

"Maaf, hehe. Aku juga kaget tiba-tiba kambuh, Kak. Terus pas aku cek laci, inhalerku nggak ada."

Arva hanya mengiyakan mengerti. Hari ini, hanya ada mereka bertiga di rumah. Ibunda mereka sedang berada di rumah nenek karena nenek mereka sedang sakit, lalu, ayah mereka ... uh, mungkin sibuk dengan pekerjaan kantor? Kemarin, sih, dia kembali ke rumah, tapi hari ini sepertinya tidak. Oleh karena itu, Arva sebagai yang tertua di rumah harus siap siaga kalau adiknya kenapa-napa.

Adiknya yang kedua ini memang pengidap asma seperti Halilintar. Oleh karena itu di dalam rumah mereka terdapat banyak sekali inhaler. Minimal masing-masing punya satu untuk saling jaga-menjaga. Hanya saja, adiknya yang pertama tidak pernah mau jika disuruh membawa inhaler untuk jaga-jaga jika adiknya yang kedua kenapa-napa. Astaga.

Kalau mau tau sesuatu, keluarga Arva ini memang langganan rumah sakit. Ayahnya asma, ibunya dulu mengalami kebutaan dan seorang perempuan normal carrier, karena setau Arva dulu (kalau dia tidak salah) ibunya pernah bercerita kalau nenek dari ibunya adalah wanita buta warna, dari situ pula lahirlah sang ibunda yang merupakan perempuan normal carrier.

Sekarang pindah ke anak-anaknya, dari hasil pernikahan Halilintar dan [Name], terdapat tiga anak dengan kondisi yang berbeda-beda. Anak pertama, Arvanda Nawasena, laki-laki sehat wal afiat. Anak kedua, Ara Arutala, perempuan buta warna. Terakhir, anak ketiga, Vera Arutala, perempuan yang mengidap asma.

Mungkin karena itu juga fokus Halilintar lebih ke adik-adiknya dibanding dirinya. Sedikit demi sedikit, Arva kian mengerti. Ya sudah kalau memang begitu.

"Balik ke kamarmu sana, sudah jam sebelas lewat. Habis ini dibawa tidur aja."

"Kak Sena ngapain?"

"Masih nugas,"

Vera hanya mengangguk, dia keluar dari kamar Arva untuk menuju ke kamarnya, tapi sebelum benar-benar menutup pintu, dia berkata kepada kakaknya, "Jangan lupa tagih Ayah listrik!" Ujarnya, yang mana membuat Arva sedikit terkekeh. Benar juga, sebentar lagi tanggal 14 Desember.

―――――

Esok hari, pada siang hari.

"Um ... permisi, Mbak, ini warna merah marun bukan, ya?"

Ini pertama kalinya Ara berbelanja sendirian di mall yang luas. Biasanya, dia ditemani oleh saudara atau ibundanya jika ingin pergi keluar, tapi kali ini, dia ingin membelikan sesuatu yang spesial―yang tidak boleh dilihat oleh orang lain.

"Wah, itu bukan merah marun ... itu warna oranye ya, Kak." Ara mengangguk mengerti, dia kembali menaruh setelan itu ke tempatnya sebelum kembali bertanya kepada karyawan yang ada di sebelahnya.

"Maaf, Mbak, saya buta warna. Kalau boleh tau, ada nggak ya kemeja model ini yang warnanya merah marun? Saya mau beliin ini buat saudara saya, setau saya dia suka warna merah marun, tapi saya nggak tau warnanya gimana." Katanya, sembari menggaruk pipinya yang tidak gatal.

Benar, sebentar lagi Arva akan berulang tahun, sebagai saudara yang baik, Ara mencoba membelikannya kado, hitung-hitung hadiah karena sudah menjaganya selama ini.

"Tidak ada, Kak, sayangnya. Tapi kami punya warna cokelat yang mungkin bisa menggantikan warna merah marun."

Ara nampak berpikir sebentar, cokelat tidak buruk juga. Dia pikir kakaknya itu juga lumayan cocok kalau menggunakan warna cokelat. Kelihatannya akan gagah. Hanya saja menurut Ara, kakaknya akan lebih gagah jika memakai warna PDI―loh, heh.

"Ya sudah warna cokelat aja, Mbak. Tolong langsung dibawa ke kasir aja, ya." Ara ini tidak banyak basa-basi, yang penting urusan kelar dan dia pulang saja sudah cukup. Toh tujuan dia ke sini kan memang hanya belanja satu setelan yang cocok untuk kakaknya. Dia tidak akan tergoda untuk membeli hal lain.

Setelah membayarnya, Ara langsung keluar dari toko tersebut dan berniat untuk memesan gojek online agar bisa kembali pulang ke rumah. Namun, saat dia ingin memesan―bahunya ditepuk oleh seorang bertangan besar.

"...."

"... Eh? Ayah?" Ara mengerjapkan matanya kaget. Bagaimana bisa ayahnya ada di mall ini? Dia pikir ayahnya sedang bekerja di kantor atau semacamnya. Namun, walau begitu dia tetap mencoba menetralkan ekspresinya.

"Kamu ngapain di mall sendirian kayak gini?" raut wajah Halilintar tidak berubah, pria itu tetap menatapnya sedikit dingin tapi juga lembut di waktu bersamaan. Dia sedikit khawatir ketika Arva tadi mengabarinya kalau Ara tidak ada di rumah dan tidak bersama Vera. Padahal selama ini, Ara dan Vera itu selalu bersama, saling menjaga satu sama lain.

"Ya... Nggak apa-apa, sih. Cuma beli yang Ara cari aja. Emang kenapa?"

Halilintar melepaskan pegangannya pada bahu putrinya, dia menghela napas sedikit kasar sebelum akhirnya menggandeng tangan mungil putrinya. "Ya jangan, kalau mau pergi berdua sama adek atau kakakmu. Lain kali jangan pergi sendiri. Paham?"

Mungkin nadanya terdengar dingin dan sedikit kasar, tapi dari nadanya itu juga Ara bisa merasakan ayahnya yang khawatir pada dirinya. "Iya, Ara paham."

Astaga, kira-kira kalau Ara beritahu ini ke Arva, Arva akan mengamuk tidak, ya? Duh, Ara ingin memberitahu Arva kalau dirinya digandeng oleh Halilintar tanpa ada meminta. Namun Halilintarnya lah yang inisiatif menggandeng tangannya. Astaga, sekarang saja Ara bisa membayangkan raut cemburu dan marah Arva di kepalanya.

Dasar adik laknat.

"Pulang sama Ayah, nggak usah order ojek."

"Iya, iya. Oh ya, Bunda masih lama di rumah nenek?" Tanyanya yang langsung diangguki oleh Halilintar. "Sekitar enam hari lagi."

"Jadi kami bertiga aja di rumah?"

Halilintar mengernyitkan keningnya bingung, "Bertiga? Siapa aja?"

"... Kak Sena, Ara, dan Vera."

"....? Kalian nggak hitung Ayah?"

"Loh, emang Ayah masih inget rumah?"

Ea. Ara diam-diam mematikan. Ucapan Ara tadi juga yang membuat Halilintar reflek menatapnya dan melepaskan gandengannya.

"Ara...."

_______

Sedikit kisah tentang tiga saudara ini xixixi 👀👀 aku nggak pernah bahas mereka soalnya. Habis ini aku juga mau bahas adeknya Aira deh, kayaknya adeknya trio stress jarang aku bahas, kecuali cher.

Ada yang mau ditanya?




satu kesatuan; boboiboy series Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang