Bab 4 Pertemuan Tak Disengaja

17 2 1
                                    

Halo semuanya!

Selamat datang di cerita Windi>_<

Happy Reading Semuanya!



“Maaf gu ….”

“Nggak papa kalo emang ng—”

“Gue mau,” potong Arabela cepat.

“Ya udah lo mau yang mana?” tanya Erlangga seraya berjalan menuju kulkas es krim dengan Arabela yang mengikuti.

Belum sempat Arabela menjawab dan melihat isi kulkas Erlangga sudah menunjukan es krim coklat kesukaan Arabela.

“Yang ini?” tanya Erlangga.

“Boleh,” balas Arabela seraya menerima es krim coklat itu.

“Lo nggak ambil es krim?” Dahi Arabela berkerut kala Erlangga menutup kulkas es krim.

“Gue nggak suka es krim,” ungkapnya.

“Oh. Terus tadi ngapain ngajak gue makan es krim kalo lo aja nggak suka?”

“Hehe. Gue udah bikin es teh manis tadi.” Erlangga menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Lo kan suka makanan apa pun yang rasanya coklat. Ya gue pikir es krim coklat lo bakalan suka.”

“Iya gue suka memang. Kalo gitu jadi berapa ini es krimnya gue mau langsung pulang aja. Pasti Mamah udah nungguin,” ucap Arabela seraya merogoh kantong bajunya.

“Eh, nggak usah. Itu gratis khusus buat lo.”

“Loh? Kok gratis? Ah. Nggak gue tetep mau bayar.” Arabela menyodorkan uang berwarna biru pada Erlangga.

“Nggak usah, Ra.” Erlangga mendorong tangan Arabela dengan halus.

“Kenapa gratis sih, Er?”

“Ya gratis aja buat lo.”

Arabela memicing ini pasti ada sesuatu. Pasti ada maunya kalo begini.

“Kenapa? Lo mikir apa? Gue nggak bakal minta apa-apa sebagai ganti es krimnya. Tenang aja. Gue bukan orang kaya gitu.”

Arabela menghembuskan napas pelan. “Apa karena kemarin?”
Pikirannya tertuju pada saat dia terkena lemparan bola milik Erlangga. Siapa tau dia masih tidak enak padanya.

“Kalo lo mau nganggep gitu juga nggak papa.” Ucapan Erlangga membuat Arabela tak puas seakan terserah mau menganggap bagaimana tanpa mau menjelaskan apa maksud sebenarnya.

“Susah emang ngomong sama cowok ganteng,” lirih Arabela.

“Gue denger.” Erlangga menatap Arabela yang sedang tersenyum canggung.

Ah, Arabela merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia melontarkan kata-kata seperti itu. Mau ditaruh dimana muaknya sekarang?

“Ya udah gue pulang dulu, Er. Makasih buat es krimnya!” Arabela kemudian berjalan mendahului Erlangga setelah mendapat anggukan dari cowok berkulit sawo matang itu.

*****

“Arabela?” ucap Ida ketika baru sampai di warung sembako miliknya. Dia melihat Arabela yang sudah jauh dari pandanganya.

“Bunda kenal?” tanya Erlangga.

“Iya, dia kan sering kesini beli gas sama galon. Sering beli es krim juga,” jelas Ida kemudian berjalan masuk ke warungnya.

“Cewek itu yang kena lempar bola Erlangga, Bun.” Laki-laki itu sudah bercerita tentang hal ini kemarin. Karena jujur saja Erlangga hanya ingin Ida tau jika dia tak sengaja melempar bola itu.
Dia juga khawatir jika tiba-tiba orang tuanya mendapat panggilan dari sekolah karena perbuatannya.

“Terus sekarang dia gimana?”

“Ya udah baikan kayanya, Bun. Buktinya juga udah kesini beli galon sama gas.”

“Iya, kalo Bunda lihat Arabela itu kuat anaknya. Mandiri juga. Bunda salut sama dia karena dia kan perempuan.”

“Bunda tau sih sekarang emang banyak perempuan yang bisa angkat gas, galon. Tapi dia kadang bisa sehari bolak balik sampai tiga kali loh kesini,” ungkap Ida.

“Tiga kali, Bun?” Erlangga seakan tak percaya.

“Iya, biasanya sih beli gas. Kan ibunya buka jasa laundry dan setrika. Jadi, harus punya banyak tabung gas,” jela Ida kembali.

“Oh. Jadi buat stok gitu ya, Bun.”

“Iya. Bunda dengar juga udah ada lima orang yang kerja nyetrika baju. Kalo laundry kayanya masih dikerjain sendiri karena katanya belum banyak. Karena usaha laundry nya itu kan baru. Ya biasakan kalo awal-awal buka usaha gimana. Ya nggak bisa langsung rame tapi ya memang ada yang langsung rame.”

“Kalo buat jasa setrika itu kan udah lama. Oh, ya. Baju setrikaan udah dianterin?” tanya Ida teringat jika kemarin sore ada yang mengambil pakaiannya untuk disetrika di tempat jasa setrika Ibunya Arabela.

“Belum, Bun.” Erlangga menggeleng.

“Aduh, apa belum selesai ya? Ada seragam sekolah kamu loh yang putih-abu. Besok dipakai, kan?”

“Iya. Besok kan hari senin,” jawab Erlangga menatap Ida masih belum sadar. “Lah iya, Bun. Terus gimana Er sekolah besok?”

“Nanti kamu ambil aja ya sore ke rumahnya,” saran Ida pada putranya.

“Siap!” ucap Erlangga seraya hormat layaknya hormat pada pemimpin.

“Bunda tadi abis arisan, kan? Gimana? Siapa yang dapet?” tanya Erlangga.
Inilah alasan laki-laki itu menunggu warung Ida. Sebenarnya memang ada karyawan yang bekerja tapi berhubung tadi waktu istirahat dan makan siang maka Erlangga lah yang menggantikannya.

“Bunda dong yang dapet.” Ida mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah.

“Wah. Alhamdulillah.”

“Iya, nanti Bunda bikinin nasi goreng kesukaan kamu.” Erlangga mengangguk dengan mata berbinar. Kali ini dia akan makan makanan kesukaannya yang sudah seminggu lalu dia terakhirnya makan.

“Bunda juga mau bikin seblak yang enak banget,” ucap Ida begitu senang membayangkan makanan kesukaanya yang sudah lama dia tidak membuatnya.
Jadi rindu.

Erlangga langsung terdiam mendengar Ida akan memasak seblak pedas. Ya, Bundnya itu mirip seperti Arabela. Suka sekali makan-makanan pedas.

“Kalo itu Er nggak makan, Bun,” ucapnya lesu.

“Kan nanti bunda buatin nasi goreng kesukaanya kamu. Nggak usah sedih gitu dong. Anak bunda yang paling ganteng.” Ida mengacak gemas rambut rapi putranya.

“Iya deh. Kok Er jadi inget Arabela yang suka makan pedas.”

“Apa iya? Besok ajak dia kesini aja biar rame. Biar Bunda nggak nikmatin seblak terenak ini sendirian,” ucap Ida begitu gembira. Pasalnya Agung, suaminya tak menyukai makanan pedas sama persis seperti putranya.

Erlangga memutar bola matanya malas. “Iya, Bun. Nanti aku aja.”

“Seblak lagi seblak lagi!” gerutu Erlangga ketika dia sudah mulai berjalan menjauh.

“Bunda dengar ya, Er.”

Padahal Ida sudah lama tak memasak seblak pedas kesukannya. Rasanya tak terima mendengar putranya mengatakan seperti itu.

Terima kasih sudah mau mampir dicerita Windi ya.

Jangan lupa like vote dan komen ya jika ada kritikan atau saran.

Selamat berjumpa di Bab selanjutnya.



Dia ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang