Halo semuanya!
Selamat datang dicerita Windi.
Happy reading ya!
“Arabela!!!” Suara itu membuat perempuan dengan model rambut layer itu menoleh kearah sumber suara.
“Huft. Huft.” Erlangga mengatur napasnya setelah sampai didepan Arabela.
Arabela yang melihat itu hanya mengerutkan dahinya bingung, bukan hanya dia bingung tiba-tiba dipanggil lalu ditambah Erlangga yang berlari-lari kearahnya menggunakan kaos polos warna hitam dengan celana pendek casual.
Pagi ini penampilan Erlangga membuat Arabela benar-benar tak habis pikir. Bagaimana bisa laki-laki itu berangkat ke sekolah dengan baju santai seperti ini?
“Baju seragam gue belum dianter dari kemarin,” ungkap Erlangga setelah napasnya mulai stabil.
Perempuan itu reflek menepuk jidatnya. Dia tadi sudah diberi pesan oleh mamahnya untuk mengantarkan pakaian milik Bu Ida yang sudah selesai disetrika semalam.
“Aduh. Sorry ya, Er. Gue lupa.” Arabela meringis tak enak hati.
“Gue tadi sebenernya mau nganterin ke rumah lo. Cuma gara-gara hari senin gue piket jadi gue buru-buru sampai lupa,” tambahnya.
“Ya udah nggak papa. Gue dari tadi nungguin lo. Untung belum banyak yang berangkat. Malu gue pake baju beginian,” ucap Erlangga seraya memegang kaosnya dibagian dada.
Arabela terkekeh. “Lucu,” ucapnya tanpa sadar.
“Apa?”
Hari ini Erlangga begitu tampan dan manis dimata Arabela. Sampai ingin rasanya dia terbang ke angkasa. Jangan lupakan aroma maskulin itu menusuk hidungnya membuatnya candu.
“Ah, nggak. Terus gimana sekarang?” tanya Arabela bingung. Disisi lain dia harus piket dan disisi lain lagi Erlangga membutuhkannya. “Lo tau rumah gue nggak?”
Erlangga menggeleng. “Dimana? Bunda udah kasih tau. Cuma nggak lengkap alamatnya.Jadi, gue nungguin lo dateng aja.”
Arabela mengecek jam dipergelangan tangannya. Dia masih mempunyai waktu 45 menit sebelum bel masuk berbunyi.
Arabela sudah tak peduli jika nanti dia akan diomeli oleh temannya yang hari ini juga jadwal piketnya. Padahal dirinya lah yang sering piket. Bahkan anak laki-laki yang tak mau piket terkadang.
Memang begini ya jika jadwal piket di hari senin. Harus berangkat pagi dan tugas piket harus selesai sebelum upacara dimulai.
“Ya udah ayo!” ajak Arabela menaiki motor maticnya.
“Gue aja yang nyetir,” ucap Erlangga mengambil alih kunci motor milik Arabela.
Sebelum Arabela kembali naik, laki-laki manis itu sudah menurunkan step kaki untuknya.
“Kenapa bisa sepeka ini sama hal kecil?” batin Arabela. Tak bisa dipungkiri jika hatinya sekarang seakan berbunga-bunga.
Senyuman bahagia milik Arabela itu tercetak sempurna.Dia tak pernah berpikir sekali pun tentang kedekatannya dengan Erlangga akan sejauh ini.
*****
“Sorry ya, Er. Gue jadi nggak enak sama lo.” Suara Arabela mulai terdengar dari belakang.
Angin kencang itu membuat rambut Arabela berkibar-kibar.
“Nggak papa, Ra. Tumben sampai telat nganternya? Biasanya Minggu sore udah dianter ke rumah,” ungkap Erlangga.
Untung saja Erlangga dengar apa yang dirinya katakan. Dia pikir kerena angin yang begitu kencang mempengaruhi pendengar Erlangga dan juga suaranya.
Karena biasanya laki-laki itulah yang sering menerima pakaian yang sudah di setrika setiap minggu sore.
“Soalnya Pak Anto nggak berangkat karena sakit.”
Erlangga mengangguk tanda mengerti. Memang biasanya Pak Anto lah yang mengantarkan pakaiannya. Terkadang juga mereka berbincang sebelum Pak Anto melanjutkan pekerjaannya mengantarkan pakaian pelanggan.
“Sakit apa?” tanya Erlangga penasaran. Pak Anto itu walaupun umurnya sudah memasuki kepala empat tapi tubuhnya terlihat masih sehat.
“Katanya demam. Nanti gue pulang sekolah juga mau sekalian mampir kesana.”
“Gue ikut!”
“Apa? Gue nggak denger!!” Arabela memajukan wajahnya hingga sejajar dengan Erlangga.
Jika laki-laki itu menoleh maka bisa dipastikan pipi Arabela sudah kena kecup bibir Erlangga.
“Gue ikut,” ucap Erlangga sekali lagi.
“Boleh. Sering ketemu sama Pak Anto ya?”
“Iya. Sering ketemu gue pas nganter pakaian.”
“Pak Anto itu baik banget. Dari mamah nggak punya orang buat bantuin nganterin karena usaha Mamah waktu itu baru buka, Pak Anto dengan suka rela nganter pakaian itu buat bantu Mamah. Katanya kasian liat mamah berjuang sendirian.”
“Emang keliatan baik banget Pak Anto. Dia sering juga ceritain pengalamannya pas muda dulu,” tambah Erlangga. “Udah kaya cucunya gue kalo udah dinasihati.”
“Cucu ketemu gede ya,” ucap Arabela dengan kekehan kecil.
“Iya juga. Eh, tapi Pak Anto itu belum tua-tua benget deh kayanya.”
“Umurnya udah hampir lima puluh,” jelas Arabela.
“Wah. Berati awet muda ya.”
“Haha. Iya.”
“Al?” panggil Erlangga melirik Arabela melalui spion.
“Kenapa?” Perempuan dengan rambut acak-acakan itu kembali memajukan wajahnya.
“Rambut lo acak-acak itu!” Erlangga reflek mengatakan itu karena menyadari rambut Arabela yang sudah seperti singa.
“Gue lupa nggak bawa jepitan,” ucap Arabela sedikit kesulitan membenarkan rambutnya yang berantakan terkena angin.
Tiba-tiba Erlangga menghentikan motornya di pinggir jalan. “Nih pake ini!” Dia melepas gelang hitam miliknya lalu diberikan pada Arabela. Dia tak segan melepaskan gelang hitam itu.
“Buat?” Arabela sedikit bingung.
“Buat nguncir rambut lo,” terang Erlangga.
“Bisa nggak?” tanya Erlangga ketika melihat perempuan itu kesusahan membuka paket.
Erlangga segera meraih gelang hitam itu lalu menguncir rambut Arabela.
Jangan ditanya bagaimana perasaan Arabela? Detak jantung nya begitu cepat
“Selesai.”
“Gue boleh minta nomor wa lo?” tanya Erlangga hati-hati. Takut jika Arabela tak mau.
****
Jangan lupa like dan komen ya.
Bye bye. See you.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Manis
Teen FictionPerempuan mana yang tidak terpesona dengan laki-laki berkulit sawo matang dengan senyum manis menjadikan matanya segaris, ditambah dengan sikapnya yang begitu manis pada banyak orang terutama perempuan. Arabela salah satu perempuan di sekolahnya yan...