Tempat Baru

59 17 2
                                    

Satria Mandala, pria awal dua puluhan yang berdarah campuran Korea dan Indonesia. Dia baru saja tiba di kampung halaman ayahnya--Handoko Mandala--

"Yah, kita kenapa harus pindah ke kampung? Kenapa nggak menetap di Jakarta saja?" protes Satria.

"Kenapa emangnya kalau pindah ke kampung? Bukannya malah bagus, kampung ayah ini masih asri tidak banyak polusi," jawab sang ayah yang tengah sibuk menurunkan barang bawaan dari bagasi mobil.

"Nggak keren banget lah, Yah. Apa kata temen-temen Satria kalau tahu Satria jadi anak kampung. Nggak elit banget loh."

"Sudah, dari pada kamu protes terus mending kamu bantuin Ayah masukin barang ke dalam rumah."

Handoko tidak peduli akan protesan putranya itu. Pikirannya sudah kusut dengan banyaknya hal yang terjadi. Bisnis yang dia kelola bangkrut, istrinya juga meminta cerai dan anak keduanya juga ikut mantan istrinya kembali ke Korea Selatan.

Handoko bukan tidak mengerti dengan perasaan Satria yang pasti kesulitan, untuk menerima semua yang terjadi dalam waktu sekejap. Akan tetapi untuk bertahan hidup di kota besar, dengan keuangan yang tidak memadai itu sama saja tindakan menyiksa diri.

"Ayah!"

Satria mengejar ayahnya yang sudah duluan masuk ke dalam rumah peninggalan sang kakek. Rumah bergaya klasik zaman dulu, terlihat kuno tapi estetik. Hanya itu saja point plus-nya. Satria tidak suka dengan suasana di kampung ini. Kampung yang menurut Satria sangat penuh dengan misteri.

Apa lagi saat dia baru masuk di area gapura kampung, dia melihat seorang nenek dengan penampilan yang acak-acakan melihat kearahnya dengan tatapan yang sudah ditebak.

"Ayah!" Satria terus memanggil sang ayah yang entah masuk ke ruangan mana.

Bau ruangan yang tidak pernah dihuni itu cukup membuat Satria tidak nyaman, Satria yang selama ini hidup di rumah yang mewah dan bersih mulai hari ini harus beradaptasi di tempat baru.

"Ayah...!"

"Ish! Ada apa sih, teriak-teriak terus. Masih pagi ini, ganggu tetangga nanti kamu tuh," tegur Handoko yang baru keluar dari arah belakang.

"Yah, beneran deh. Kita pindah saja dari sini, aku nggak minta kita pindah ke tempat mewah seperti rumah kita dulu. Asal jangan di sini, Yah," rengek Satria.

"Kenapa lagi, Satria?" Handoko mulai kesal dengan semua protes yang diajukan putranya itu.

"Aku punya firasat nggak enak di kampung ini, ayah lupa tadi ada nenek-nenek yang lihatin aku?"

"Nggak ada kok nenek yang kamu maksud itu. Kamu terlalu banyak nonton film horor, makanya kebawa sama ceritanya. Sudah jangan lebay, kamu itu anak cowok masa kalah sama cewek mentalnya," ujar Handoko.

"Kalau gitu, kenapa tidak Kiran saja yang ikut Ayah? Aku bisa ikut Ibu. Mungkin sebaiknya aku emang lebih milih ikut Ibu dari pada ikut Ayah," ucap Satria.

"Kenapa baru sekarang kamu ngomong gini? Kamu nggak mau ikut Ayah karena Ayah sekarang jadi miskin begitu?" tanya Handoko  dengan suara agak tinggi.

"B--bukan begitu, Ayah. Aku cuman nggak suka kita pindah ke kampung Ayah ini."

Satria melunakkan suaranya, tidak seperti sebelumnya yang penuh dengan emosi.

"Kenapa kamu tidak suka? Bukan kah kamu suka tiap kali kita pulang ke kampung, kamu suka-suka aja tuh. Nggak banyak komplen, malah kamu sendiri bilang dengan almarhum Kakek kalau kamu ingin pindah ke sini?"

"Itu kan dulu, Yah. Sekarang aku nggak mau, suasananya berbeda."

"Apanya yang beda sih? Masih sama kok. Sudah jangan banyak omong, bantu Ayah berbenah. Keburu siang nanti kita gak bisa belanja apa yang diperlukan," ujar Handoko. Mengakhiri sesi debat antara ayah dan anak tersebut.

"Yah! Ayah!"

Handoko tidak menoleh apa lagi berhenti, dia terus berjalan menuju mobilnya. Masih banyak barang yang harus dibereskan.

"Ish! Ayah nggak percayaan banget nih," gerutu Satria.

Dengan langkah kaki yang terpaksanya, dia ikuti sang Ayah. Satria memilih ikut dengan ayahnya karena kasihan, jika dia ikut ibunya juga siapa yang akan menjaga ayahnya kalau terjadi sesuatu dengan sang ayah.

Jadi dia mengalah memilih ayah dari pada ibunya. Sementara Kiran Mandala atau sekarang dia ikut marga ibu mereka, jadi Kiran Kim adiknya itu memilih tinggal dengan ibu mereka setelah perceraian kedua orang tua mereka.

Satria mengangkut dua kardus terakhir dari bawaan mereka, bulu kuduknya meremang dan hawa udara disekitarnya terasa lebih dingin dari sebelumnya.

"Nah kan, apa lagi nih?" bisik Satria. Dia menengok ke belakang tapi tidak ada siapa pun.

Mata Satria terfokus pada salah satu rumah dengan gaya bangunan Belanda. Jarak rumah tersebut dengan rumahnya hanya satu rumah saja.

"Rumah Belanda? Apa di sana ada Noni Belanda seperti yang ada di film-film?" tanya Satria seperti bertanya pada orang lain.

"Kamu penasaran?"

Satria menoleh saat tiba-tiba dia seperti mendengar suara orang menyahuti pertanyaannya barusan. Namun, lagi-lagi tidak ada orang yang ada di sekitarnya. Lalu, siapa yang tadi menyahutinya? Masa iya dia berhalusinasi di pagi bolong gini? Atau memang firasatnya benar?

Tidak mau berlama-lama di luar, Satria segera melesat ke dalam rumah menyusul ayahnya.

"Ya ampun, tadi itu siapa yang ngomong?" batin Satria.

Pemuda itu berjalan setengah berlari tanpa menoleh sama sekali. Persis seperti orang yang tengah kebelet ingin ke toilet.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sekar ( Penghuni Rumah Nomor 13 )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang