Namanya Sekar

15 9 2
                                    

"Kamu ini kenapa berisik sekali malam-malam?" Handoko yang mendengar teriakan putranya, dari lantai bawah pun bergegas ke kamar putranya itu.

"Ayah, beneran deh. Rumah tetangga kita itu berhantu."

Wajah pucat Satria menyambut kedatangan sang ayah.

"Berhantu gimana? Orang mereka biasa aja tuh. Kalau iya berhantu, kenapa tidak ada satu pun warga yang geger? Cuman kamu loh, Sat yang banyak tingkah."

Handoko jengah dengan semua yang dikatakan anaknya, sejak kapan Satria yang tidak percaya takhayul ini malah percaya dengan keberadaan hantu? Dia yang dari kecil besar di kampung saja belum pernah sekali pun melihat hantu.

"Tapi, Yah...."

"Sudah, jangan banyak tapi-tapi! Tidur, besok bantu Ayah ke pasar. Kamu kan besok libur kuliahnya," tegur Handoko.

Tidak mau mendengar omongan aneh putranya lagi, Handoko kembali turun ke bawah. Di pikiran Handoko, anaknya itu sengaja mencari perhatiannya. Agar permintaan Satria yang ingin kembali ke Jakarta dituruti.

Selepas kepergian ayahnya, Satria beranjak ke ranjangnya. Dia menyelimuti tubuhnya hingga batas kepala. Rasa takut akan apa yang baru saja dia alami masih belum bisa hilang.

Tubuhnya menggigil, denyut jantungnya berirama kencang. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan dan dahinya. Padahal suhu udara di kampung ayahnya itu saat malam hari sudah dingin, apa lagi menjelang dini hari.

"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan seandainya hantu itu datang ke sini?" gumam Satria.

Dengan rasa takut yang tak terkira itu, Satria mencoba memejamkan matanya. Namun sialnya, bukannya bisa tidur dia justru dapat melihat dengan jelas kelebat bayangan berwarna putih. Bahkan suara cekikikan seorang wanita pun terdengar samar-samar.

Satria teringat salah satu adegan film horor yang dia tonton, yang mana adegan itu menyebutkan jika suara cekikikan itu jauh, maka makhluk itu dekat. Namun jika suara cekikikan itu dekat, berarti makhluk itu jauh darinya.

"Ya Allah, Ya Tuhan.... Tolong lindungi aku. Aku masih mau hidup, aku masih jomlo ya Allah..."

Saking takutnya, Satria mengucapkan do'a yang ngaco. Dia yang selama ini jauh dari Tuhan-nya itu sebisa mungkin merapal do'a yang dia sendiri tidak tahu benar atau tidak.

Ayat kursi saja begitu sulit dia lafalkan, seolah hanya berputar-putar saja tiada ujung.

"Aku menyesal kenapa dulu aku tidak belajar ngaji benar-benar," gumamnya.

Hihihi...

Hihihi....

Hihihi...

Suara itu kembali terdengar, walau samar tapi telinga Satria yang peka akan suara itu justru terdengar sangat jelas dan dekat.

Satria terus merapal do'a hingga dia tertidur dengan sendirinya. Di saat Satria sudah terpejam, sesosok makhluk mendekatinya.

Menatap tajam ke arah Satria, bahkan hendak menyentuh Satria. Namun, makhluk itu mengurungkan niatnya. Gumaman kekesalan terlontar dari mulut makhluk itu. Sebelum akhirnya makhluk tersebut hilang perlahan demi perlahan.

***

Keesokan harinya, Satria bangun dengan kondisi tubuh yang teramat lelah. Wajahnya masih pucat, dia berjalan gontai menuju dapur.

"Baru bangun, Nak? Kamu kenapa loyo gitu? Sakit?" tanya Handoko, seraya menyentuh dahi putranya tapi tidak dirasa panas.

"Nggak, Yah. Mungkin kurang tidur saja."

Satria mengambil sehelai roti tawar yang kemudian dia olesi dengan selai kacang.

"Kamu yakin? Apa sebaiknya kamu di rumah saja. Nggak usah bantu Ayah di pasar."

"Nggak kok, aku bisa ikut Ayah. Paling nanti siangan juga sudah baikan lagi, Yah," jawab Satria.

Pemuda itu mengunyah roti dengan sangat pelan, sebenarnya dia tidak nafsu makan. Siapa juga yang nafsu makan jika malam sebelumnya habis diteror makhluk gaib?

"Makanya, kalau malam jangan banyak nonton film horor. Jadi susah sendiri 'kan? Ya sudah, kalau kamu sudah selesai makan kita berangkat bareng. Ayah tunggu di depan."

Handoko membiarkan putranya menyelesaikan makanannya. Sementara dia memanaskan motor yang akan dia gunakan.

Suara deruman mesin motor yang tengah Handoko panaskan, cukup berisik. Beruntung tidak begitu banyak rumah penduduk di sekitar rumah Handoko.

"Selamat pagi, Pak Baskoro, Bu Siti," sapa Handoko pada pasangan suami istri, tetangganya itu.

"Pagi juga Pak Handoko," jawab Pak Baskoro.

Handoko awalnya kaget, sebab mereka baru pertama bertemu. Akan tetapi tetangganya itu sudah tahu siapa namanya.

"Itu siapa, Pak?" tanya Handoko yang mulai penasaran dengan seseorang yang duduk di kursi roda, yang didorong oleh Bu Siti.

"Oh... Dia Sekar. Putri saya, Pak. Tubuhnya lemah, makanya kadang saat kami jalan santai begini Sekar kami letakkan di kursi roda," ujar Pak Baskoro.

"Ayah, sedang apa?" Satria mendekati ayahnya.

Dia melihat ayahnya tengah berbicara dengan tetangganya itu, seolah tidak ada hal yang terjadi. Satria memperhatikan pasangan tersebut, orang yang diperkenalkan sebagai Bu Siti itu hanya terdiam saja.

Ada yang membuat Satria merasa janggal, wanita yang duduk di kursi roda itu tidak memakai jaket. Padahal mereka semua mengenakan jaket, karena suhu begitu dingin.

"Eh, Satria. Sudah selesai makan, Nak? Kamu pasti sudah kenalan dengan Pak Baskoro dan Bu Siti. Lalu, yang duduk di kursi roda ini putri mereka, Sekar," ujar Handoko.

Pak Baskoro yang tadi memandang wajah ayah Satria itu kini mengalihkan pandangan matanya pada Satria, bahkan sekilas Satria merasa Pak Baskoro tersenyum simpul.

"Ayo Sekar, sapa tetangga baru kita," ucap Bu Siti.

Orang yang diperkenalkan sebagai Sekar itu pun mulai membuka mulutnya, pandangan mata Satria bertemu dengan Sekar.

"Sekar Wati..." ucap wanita di kursi roda tersebut.

Satria menyambut jabat tangan Sekar karena terpaksa, orang tua Sekar tengah mengawasinya.
Saat kedua telapak tangan itu saling bersentuhan, sensasi dingin dirasa oleh Satria. Bukan dingin karena udara, tapi lebih ke dingin benda mati yang yang membeku.

Diam-diam Satria mencuri pandang Sekar, gadis yang masih bersalaman dengannya itu langsung menunduk tatkala pandangan keduanya bertemu.

"Dia normal kan? Kenapa wajahnya terlalu pucat begitu?" gumam Satria.

"Ehem! Karena kita sudah saling berkenalan izin kan kami untuk pamit. Kami harus pergi ke dokter, sudah waktunya Sekar kontrol. Maklum anak kami sedang tidak sehat," ujar Bu Siti.

Mendengar hal itu serta tatapan tajam Pak Baskoro, Satria langsung melepaskan pegangan tangannya dengan tangan putri tetangganya itu. Satria tidak lagi memperhatikan Sekar, dia hanya menjadi pendengar di antara ayahnya dan tetangganya itu berbasa-basi sebentar sebelum tetangga mereka itu berlalu.

"Ayah, aku mau tanya," ucap Satria yang masih menatap kepergian kepergian Sekar dan orang tuanya.

"Mau nanya apa?"

"Ayah ngerasa ada yang aneh nggak dengan Sekar? Bukankah wajah dia terlalu pucat? Dia juga terlalu kurus untuk gadis seusianya," ujar Satria.

"Kenapa aneh? Kan Bu Siti sudah bilang kalau Sekar sedang tidak sehat? Jadi wajar kalau begitu. Sudah ayo masuk ke dalam," ajak Handoko.

Walau rasa penasarannya belum terjawab, Satria pun mengikuti ajakan ayahnya.

Sekar ( Penghuni Rumah Nomor 13 )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang