Cerita Teman

13 8 0
                                    

"Sial banget gue pagi ini," keluh Satria. Dia lempar tas ranselnya di kursi yang biasa dia tempati.

"Lah, kenapa lu? Pagi-pagi tuh muka ditekuk, macem cucian yang belum digosok," tegur Roni. Teman yang baru Satria temukan di kampus barunya itu.

Roni pun sama seperti Satria, dia anak kota yang terpaksa pindah ke kampung karena orang tuanya dipindah tugaskan di kampung tersebut.

"Diem bisa? Gue tuh udah kesel makin kesel denger celotehan elu." 

"Kenapa sih? Cerita lah biar enak ati elu, plong gitu."

Satria menghela nafas panjang, seolah dia baru saja melalui hari yang begitu melelahkan. Padahal hari ini belum juga setengah hari berlalu.

"Gue tuh tadi pagi nurutin apa kata bokap gue_" Satria pun mulai bercerita, tapi Roni lebih dulu memotong kalimatnya. Sengaja cari penyakit tuh emang.

"Nyuruh apaan sampai elu macem gini?"

"Dengerin dulu! Gue belum juga kelar cerita, udah elu potong!"

Dijitaknya jidat Roni yang lebar bak lapangan bola yang tak jauh dari rumah barunya, lapangan bola yang jauh lebih mirip seperti tanah lapang yang dipenuhi semak belukar.

"Bokap nyuruh gue buat berkunjung ke tetangga gue, nah yang bukain pintu itu bapak-bapak burik gitu. Udah gitu, nyambut gue dengan judes, ketus, pokoknya nyebelin banget!"

"Eits! Bentar deh, kayaknya kalau nggak salah inget, tetangga elu itu kan rumahnya kosong? Terus yang ngomong ama elu siapa, Sat?" tanya Roni mulai bingung.

"Bukan yang kosong itu, sebelahnya yang kosong. Kan itu ada rumah lagi dan ada pemiliknya. Tahu nggak kamu?"

"Oh! Rumah Pak Baskoro!"

"Nah, itu dia mungkin. Entahlah, pokoknya gue nggak tahu namanya. Intinya yang bukain pintu itu bapak-bapak, yang wajahnya ada luka gitu," balas Satria.

"Memang benar, setahu gue nih. Pak Baskoro itu empat tahun yang lalu mengalami luka bakar. Rumahnya dulu itu kebakaran, kalau elu perhatiin dapur rumah Pak Baskoro itu masih ada sisa-sisa kebakarannya," tutur Roni.

"Elu kok tahu banget? Kan elu juga pindahan belum lama ini?" Kali ini Satria yang merasa bingung, gimana ceritanya Roni yang tinggal dua blok dari rumahnya itu bisa tahu persis kejadian lima tahun lalu? Bukannya Roni baru pindah setahun lalu?

"Jangan salah, Sat. Di kampung, berita apa pun akan jauh lebih cepat menyebar dari pada di kota. The power of emak-emak gibah itu luar biasa," ujar Roni.

Sekarang barulah Satria paham kenapa Roni bisa tahu semua itu, ya tidak heran kalau sumber utama informasi tersebut adalah gibahan para ibu-ibu kampung.

Ibunya sendiri juga pernah berpesan, katanya masih mending tinggal di kota besar. Walau biaya hidup semua serba mahal, tapi jauh lebih baik dari pada menghadapi omongan para tetangga julid.

"Gue lanjutin lagi ya ceritanya," pinta Roni. Pemuda itu mulai bersemangat mengenalkan seluk beluk kampung tempat mereka tinggal pada penghuni barunya. Berasa jadi senior lah si Roni ini.

Satria mengangguk setuju, jujur dia sebelumnya tidak begitu banyak cerita ini dan itu dengan temannya. Namun, sejak tinggal di kampung yang apa-apanya serba jauh dan hanya Roni teman yang dia miliki saat ini. Membuat Satria jadi pemuda yang banyak omong.

"Nah, menurut kabar yang beredar, putri tunggal Pak Baskoro dan Buk Siti, meninggal dunia. Namun, aku belum tahu apakah ini benar atau tidak. Sebab kalau memang benar putri mereka meninggal, pasti ada pengumuman di masjid 'kan? Ada orang melayat, dikebumikan. Layaknya orang meninggal pada umumnya."

"Lalu? Apa yang terjadi, Ron?" tanya Satria mulai tertarik dengan topik yang dibawakan oleh Roni.

"Tidak ada kabar apa pun! Pak Baskoro dan Buk Siti bilang, anaknya itu masih hidup. Saat kebakaran terjadi, anaknya sedang tidur di kamarnya. Sewaktu tetangga yang lain membantu memadamkan api dan Pak Baskoro yang juga langsung mendapat penanganan medis, Bu Siti tidak keluar rumah sama sekali."

"Kenapa? Kok aneh banget? Bukannya biasanya ibu-ibu yang heboh sendiri?" tanya Satria.

"Gue pun tak tahu, katanya sih kasihan putrinya kalau dia ditinggal di rumah sendiri. Padahal putrinya itu sudah remaja, dia seumuran kita. Nah, sejak kebakaran itu lah tidak ada yang melihat putri Pak Baskoro dan Buk Siti keluar rumah," tutur Roni di akhir kisahnya.

"Udah gitu aja?"

Roni mengangguk cepat, sebab hanya itu yang dia dengar sewaktu dia membantu ibunya menjamu tamu.

"Tapi, kenapa putrinya dibilang meninggal?"

"Kalau ini sih, soalnya ketika kebakaran itu terjadi dari luar rumah terdengar Bu Siti berteriak histeris. Memanggil nama anaknya berkali-kali, lalu menurut warga yang datang lebih dulu dia seperti mendengar Pak Baskoro mengatakan kalau putri mereka sudah meninggal," jawab Roni.

"Siapa namanya? Nama dari putri mereka?" tanya Satria lagi.

"Sekar, Sekar Wati."

"Sekar..." Satria mengulang nama yang diucapkan Roni.

Satria merasa dia sudah pernah mendengar nama itu sebelumnya, tapi Satria tidak ingat di mana dan siapa yang mengenalkan nama tersebut. Ingatannya kabur, tiap kali dia mencoba mengingat si pemilik nama Sekar itu.

"Gue nggak tahu Sekar ini siapa, mungkin benar cerita elu itu. Hanya saja, waktu gue sedang mengobrol sebentar dengan si Pak Baskoro itu, emang ada cewek yang mengenakan hoodie hitam. Gue gak bisa lihat wajahnya dengan jelas, dia menunduk," ujar Satria.

"Hah? yang bener lu, Sat?" tanya Roni.

"Bener. Buat apa gue bohong sama elu?"

Di saat Roni dan Satria kembali tenggelam dengan cerita tentang tetangga Satria, salah satu teman sekelasnya datang bergabung.

"Kalian lagi ngomongin Sekar ya?"

"Eh, Sulis. Baru dateng?" tanya Roni, pemuda itu langsung merapikan baju dan rambutnya.

Sulis itu gadis kampung yang sudah mencuri hati Roni, walau selama ini pernyataan cinta Roni selalu ditolak Sulis.

"Iya, kami sedang ngobrol tentang Sekar. Kamu tahu dia?" Satria ingin menggali informasi lebih banyak tentang gadis bernama Sekar ini.

"Dia itu dulu sahabatku, tapi sejak kejadian itu aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Bahkan Sekar juga putus sekolah. Dengar-dengar kata ibuku, Sekar kena luka bakar parah di wajahnya. Namun, aku nggak tahu benar nggaknya. Sebab belum ada yang bertemu dengan Sekar lagi sejak peristiwa tersebut," tutur Sulis.

Penjelasan Sulis, bukannya memberikan titik terang bagi Satria. Justru menambah rasa penasarannya. Entah kenapa Satria merasa kalau dia sudah kenal dengan gadis bernama Sekar itu, padahal jika memang dia kenal dengan Sekar tidak mungkin Satria yang daya ingatnya luar biasa itu bisa lupa tentang gadis tersebut.

Obrolan ketiganya pun terhenti, saat bel tanda mata kuliah pertama akan dimulai. Sulis juga kembali ke tempat duduknya sendiri. Roni yang mengeluh karena harus berpisah sekian kursi dengan sang pujaan hati, sementara Satria yang dipenuhi tanda tanya dan rasa ingin tahu tentang gadis bernama Sekar.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sekar ( Penghuni Rumah Nomor 13 )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang