Prolog

1.8K 77 24
                                    

—2007 (Bandung kala itu)

Kata orang-orang, Bandung adalah kota yang sangat indah, tak jarang pula Bandung menjadi tempat utama yang banyak dipilih untuk berwisata. Udaranya yang sejuk, pemandangan yang sangat memukau di setiap sudut kotanya, pun juga dengan keramahan warganya menjadikan Bandung sebagai pilihan utama untuk menikmati libur di akhir pekan. Bagi warga Ibu kota, akan menjadi kebanggan tersendiri pula apabila seringkali menghabiskan waktu libur di sana. Termasuk salah satunya, Adisa, remaja perempuan berusia 16 tahun yang sangat antusias sekali apabila kedua orangtuanya mengajak berlibur ke Bandung.

Sayangnya, di tahun ini, bagi Disa Bandung berubah menjadi kota yang paling ia benci. Disa terpaksa meninggalkan Jakarta beserta seisinya dan memulai kehidupan baru di kota Bandung. Rasanya tak salah apabila penggunaan kalimat "meninggalkan kota Jakarta dan seisinya" Disa pakai saat ini, karena baginya, yang tersisa hanyalah Ibunya saja. Ayah dan Adiknya yang masih kecil saat itu menghilang bak ditelan bumi secara tiba-tiba, semua kebahagiaan yang ia rasakan seketika sirna layaknya diterpa badai yang sangat kencang. Disa hanyalah remaja yang masih tak mengerti apa-apa, Ibunya pun tak banyak menjelaskan, ia hanya ditenangkan dengan kalimat, "Maafkan Mamah, Ca, saat ini hanya kamu yang Mamah punya, dan hanya kota ini yang aman buat kita ke depannya. Kita coba mulai hidup dari awal lagi, ya, Nak, Di sini."

Disa sudah cukup usia untuk peka, alih-alih membenci Ibunya, Disa malah semakin menyayangi Ibunya, ia yang tadinya sangat manja dan kekanak-kanakan, perlahan berubah demi membantu Ibunya. Salah satunya dengan cara terlihat baik-baik saja, walau pada realitanya, Disa ingin kembali ke Jakarta, berharap keluarga kecilnya yang harmonis Tuhan kembalikan. Tak masalah apabila Ayahnya jarang pulang dan seringkali beralasan lembur kerja, yang penting Disa masih bisa melihat Ayah dan Adiknya sebagaimana semestinya.

Tetapi, keinginan tersebut hilang, saat dilihat oleh Disa, sang Ayah yang sangat ia rindukan berada di layar kaca, dilantik menjadi pejabat negara dan didampingi oleh wanita lain yang menjadi Istrinya. Hari itu Mamah menangis seharian, Disa tak banyak bertanya saat itu, ia hanya memeluk Mamahnya dalam diam. Setidaknya hari itu, semua pertanyaan yang terpendam sejak ia pindah, sudah terjawab dengan sendirinya. Rasa rindu kepada Ayah yang tadinya sangat besar dan menyiksa, kini berganti benci yang tak terhingga.

"Maafkan Mamah, Ca, Mamah ceroboh sekali saat pertama kenal dia, dengan bodohnya Mamah percaya dia belum berkeluarga. Saat kebenaran terungkap, Mamah malah terbuai dengan tutur kata dia yang menjanjikan bahagia untuk kita. Maafkan Mamah udah hancurin kebahagian Disa dan Adek, maafkan Mamah, Ca..., Mamah yang salah atas semuanya, Maafkan Mamah..." Bahkan kata demi kata yang Mamahnya ucap di hari itu, masih melekat dengan jelas pada ingatan Disa.

"Mah, bukan salah Mamah, Disa janji bakal belajar yang bener, Mah, Disa bakal jadi orang besar nantinya, Mah, bahkan lebih dari Ayah, dan Disa bakal ambil Adek, Mah, dari Ayah. Disa janji." Begitulah kira-kira janji yang Disa ucap kepada Mamahnya.

Sejak hari itu, Disa berubah menjadi anak yang ambisius di sekolah barunya, walau ia tak menyukai lingkungan barunya, sekeras mungkin ia mencoba bertahan, bersaing dengan anak-anak lainnya, sebagai pembuktian, kelak ia akan menjadi orang hebat yang dapat mengalahkan Ayahnya, serta membalaskan sakit yang ia dan Ibunya rasakan.

"Woy, Disa, kamu teh gak denger, ya?" Suara sekaligus dorongan pelan di bahunya menyadarkan Disa dari lamunannya, "Itu di UKS ada yang luka, abis jatoh dari manjat pager sekolah, giliran kamu yang jaga, kasih obat merah dulu, weh, kata Pak Imam, abis itu baru kasihin ke guru BK." Lanjut salah satu anggota PMR yang sedang menghampirinya.

"Iye, ini mau ke sana, bawel." Jawab Disa kemudian segera melangkahkan kakinya menuju ruang UKS yang tak begitu jauh dari ruang kelasnya. Sesekali ia melihat pada jam tangan yang ia pakai, memastikan bahwa jam istirahat pertama masih tersisa, agar ia bisa membagi waktu untuk kembali ke kelas tanpa tertinggal pelajaran selanjutnya.

Jeffrey, Disa dan Persib BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang