6. Dibawah Guyuran Hujan Malam

64 13 1
                                    

Happy Reading !



Hujan turun tepat setelah acara makan malam selesai. Awalnya Andhira ingin pergi keluar untuk bermain hujan, namun papa menghukum dirinya untuk tetap berada dikamar. Andhira tahu kesalahan yang ia perbuat, menggunakan ilmu bela dirinya untuk hal yang salah. Tapi menurut Andhira itu benar, karena anak-anak nakal itu harus mendapatkan pelajaran atas perilaku yang mereka perbuat. Lagipula, ia hanya ingin menolong Adinata saja.

Tunggu, untuk apa dia menolong Adinata? Bukankah selama ini dia membenci pemuda itu?

Andhira duduk terdiam ditepi jendela, menikmati suara hujan yang begitu menenangkan. Hal yang membuat Andhira membulatkan matanya sempurna, dibawah sana. Tepat di taman kecil didepan rumah, Adinata berada disana. Ia duduk bersila diatas rumput jepang yang basah karena terguyur hujan. Andhira memperhatikannya cukup lama, pemuda itu hanya duduk diam seperti patung, entah apa yang ada dipikirannya, hanya Tuhan dan Adinata yang tahu.

Tanpa berfikir lagi, Andhira segera melepaskan earphone ditelinga nya dan langsung keluar kamar. Masa bodoh dengan hukuman yang papa berikan. Dipertengahan anak tangga, Andhira tiba-tiba terdiam. Untuk apa ia menghampiri Adinata? otaknya berkata untuk kembali ke kamarnya, namun hatinya bersikeras menyuruh gadis itu untuk turun dan menghampiri pemuda itu.

Tentu saja, Andhira lebih memilih mengikuti apa yang hatinya katakan. Ia kembali melanjutkan langkahnya menuju taman kecil didepan rumah.





Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya saat ini. Sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan kamarnya, dan memilih untuk basah kuyup dibawah guyuran hujan malam ini. Ia duduk bersila diatas hamparan rumput jepang disebuah taman kecil didepan rumah.

Banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Tuhan. Kenapa ia terlahir dengan sebuah kekurangan? kenapa? Adinata juga ingin seperti anak-anak lainnya, mereka bisa mengutarakan isi hati mereka dengan lisan, mereka bisa menyalurkan suara indah mereka dengan merdu. Adinata hanya tersenyum kecil, lalu ia menunduk. Buliran air matanya turun begitu saja.

"Kalau kamu mau nangis, ya nangis aja. Bukan cuma perempuan aja yang bisa menangis, laki-laki juga bisa. Nangis itu bukan bentuk dari kelemahan. Jadi, nangis aja, jangan ditahan"

Begitu yang mendiang ayah katakan dua tahun yang lalu. Saat itu ia kalah mengikuti olimpiade sains saat SMP dan Adinata menangis. Bukannya memarahi, ayah malah tersenyum dan memeluk putranya. Kini, pelukan itu hanya menjadi sebuah kenangan yang selalu Adinata rindukan.

Tuhan, kenapa kamu mengambil ayah ku begitu cepat?

Disisi lain, ada seorang gadis yang memperhatikan punggung rapuh itu dalam diam. Ia bisa menebak, sosok didepannya ini sedang menangis karena punggungnya bergerak naik turun, seperti orang menangis. Lalu, hal selanjutnya yang ia lakukan adalah ikut duduk bersila disamping pemuda itu.

Siapa lagi kalau bukan Andhira.

"Nangis sambil hujan-hujanan emang enak banget sih" Andhira tiba-tiba menyeletuk. Pandangannya menengadah keatas, membiarkan air hujan membasahi wajahnya.

Adinata kembali menegakkan kepalanya lalu menoleh hanya untuk melihat siapa yang kini duduk disampingnya.

Andhira ikut menoleh dan menatap Adinata.

"Kenapa? lanjut aja nangisnya"

Adinata hanya terdiam.

Adinata, Hujan, & AndhiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang