Waktu yang Berharga

91 14 3
                                    

Beberapa jam lalu.

Sunyi sedang meratapi hidupnya yang tidak terduga. Entah sudah berapa kali gadis itu menghela nafas menatap aliran sungai, kadang ia akan tersenyum saat melihat ikan-ikan yang berenang mencoba melawan arus sungai itu.

Badan kalian itu kecil, mana bisa. Gumam Sunyi, arus sungai kecil itu lumayan deras dengan ikan-ikan kecil yang keras kepala mencoba melawan arus, akhirnya mereka hanya berenang-renang tetap di tempat yang sama. Kemudian Sunyi kembali tersadar jika ia sedang galau.

"Huwaaaa! Gimana ini ya Tuhaaan." Sunyi menatap langit dengan wajah memerah menahan tangis. Ia benar-benar sedang tidak baik-baik saja. Ia ingin kembali ke masa depan atau apapun itu sebutannya. Ia ingin semua hal ini kembali normal. Menyebalkan sekali.

Sunyi akhirnya tidak sanggup menahan tangis, perasaan bingung memenuhi pikirannya serta rasa takut juga mencoba berkontribusi membuat gadis itu menangis keras sambil berjongkok menatap sungai. Rengekannya cukup untuk membuat risih para hewan-hewan di sana seperti kupu-kupu yang langsung terbang menyingkir. Ia benar-benar terlihat malang.

Sunyi menoleh ke belakang saat ada mobil yang berhenti sekitar 100 meter di belakangnya. Mobil keluaran 2015 sepertinya, soalnya Sunyi punya dosen yang sudah lumayan berumur dan memiliki mobil dengan merk yang sama. Sunyi menghela nafas berusaha menghentikan tangisannya. Tapi susah, sejujurnya ia juga merasa lelah setelah perjalanan dari Kota ke Desa dan malah mengalami kejadian tidak masuk akal.

Sunyi melirik siapa yang keluar dari mobil itu. Tubuhnya terjungkal ke belakang karena terkejut. Biru. Waaah ajaib sekali, bagaimana bisa mereka bertemu kembali di hari yang sama. Sunyi buru-buru menghapus air matanya, ia merasa tidak boleh menunjukkan wajah sembabnya yang begitu menyedihkan di hadapan gebetan barunya.

"Lanjutin aja, saya mau ngerokok dulu." Ucap Biru. Tubuh pria itu dibawa bersandar pada mobil, mengeluarkan kotak rokok dari sakunya. Memungut sebatang untuk ia nyalakan dan mulai ia hisap.

Sunyi memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan Biru. Sunyi versi dewasa pasti akan langsung illfeel melihat orang merokok begitu. Selain tidak sehat, Sunyi juga merasa mereka tidak tampak keren sama sekali. Namun, saat melihat Biru dengan rokoknya malah membuat Sunyi tersipu dan merona sendiri. Benar kata Rumi visual itu menyelamatkan segalanya. Sunyi mendengus.

Ia memutuskan kembali merenungi nasibnya dengan memandang jauh ke arah langit. Sunyi menyadari jika langit mulai berubah warna menjadi agak kemerahan, gadis itu tanpa sadar menahan nafas karena pemandangan ini begitu indah ditangkap mata.

"Woah." Sunyi terkagum-kagum. Sunyi kembali menoleh ke arah Biru, lelaki itu juga sedang menatap langit sore dengan rokok yang terselip di bibirnya. Sunyi melangkah mendekati Biru. Hari semakin gelap, warna senja yang terpatri mungkin sebentar lagi juga akan lenyap.

Menyadari kehadiran Sunyi, Biru melirik sekilas ke arah gadis itu. Menghembuskan asap rokok yang terakhir kemudian menyudahi aktivitas tidak sehatnya.

"Udah mau pulang?"

"Pak Biru sengaja jemput saya ya?" Sunyi menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, bersikap kemayu lagi. Entah kenapa ia jadi ingin sok cantik di depan Biru.

Biru memandang malas, membuka pintu mobilnya agar Sunyi segera masuk ke dalam. "Masuk."

"Siap!" Sebenarnya Sunyi masih galau, tapi dia capek juga kalau galau terlalu lama dan lagi ia lumayan lapar sekarang. Dia mungkin akan pingsan jika pulang jalan kaki. Sunyi memasang seatbelt masih dengan wajah lesu. Ia ingin bercerita lagi tentang kejadian aneh yang menimpanya pada Biru. Namun mendadak semangatnya hilang, percuma saja sepertinya. Biru pasti akan memberikan respon sama seperti Regas.

PancarobaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang