Chapter 9

5.3K 96 1
                                    

.

.

.

.

.

Matahari sudah cukup meninggi. Nicholas tidak menyangka bahwa dirinya begitu betah tidur di atas kasur lepek yang lembab karena ulah dirinya dan seorang wanita yang masih terlelap di sampingnya. Tubuh kekarnya terasa semakin bugar saja. Ia juga tidak menyangka akan menatap wajah wanita itu cukup lama. Wajah yang tampak kelelahan karena melayani kebutuhan biologisnya semalaman.

"Kau tidak akan bisa mengontrol ku dengan tubuhmu, Shaira. Karena aku yang akan mengendalikan mu setelah ini," bisik Nicholas.

Nicholas beranjak. Ia pungut dan memasang kembali pakaian yang ia kenakan tadi malam. Kemudian membawa langkahnya ke sofa kecil di kamar sempit itu. Ia duduk dengan kaki menyilang seperti biasa. Dimanapun ia singgah, sekalipun di tempat sederhana milik Shaira dalam keadaan belum menyentuh air, aura kewibawaan dan ketegasan Nicholas tidak pernah berkurang.

Ponsel pintarnya berdering. Nicholas segera mengambilnya, lalu menerima panggilan itu setelah nama asisten pribadinya tertera di sana.

"Masuk dan tunggu!" titah Nicholas sebelum memutus sambungan teleponnya.

Nicholas beranjak keluar dari kamar Shaira. Ia mendapati Daniel sudah berdiri di ruang tengah dengan sebuah map biru di tangannya. Ia memilih duduk di sofa panjang dekat TV, karena itu adalah satu-satunya tempat yang bisa dirinya duduki.

"Yang Anda butuhkan, Tuan," ucap Daniel seraya menyodorkan map biru yang dia bawa.

"Aku tidak mau ada kesalahan, Daniel. Kau sudah memastikan semua poin-poinnya menguntungkan ku, 'kan?"

"Seperti yang Anda minta, Tuan. Semuanya menguntungkan Anda," jawab Daniel lugas.

Nicholas membaca satu persatu isi map itu. Ia tidak akan melewatkan kesempatan untuk memojokkan Shaira. "Setelah wanita itu tanda tangan, tambahkan uang denda yang akan dirinya bayar jika mengingkari perjanjian ini."

"Baik, Tuan."

"Apa jadwalku hari ini, Daniel?"

"Ada beberapa jadwal untuk Anda, Tuan," tukas Daniel seraya membuka buku yang berisi jadwal kegiatan Nicholas.

"Katakan!"

"Tuan Abraham  ingin menemui Anda di jam makan siang, Tuan. Rapat–" Ucapan Daniel terpotong karena interupsi bos-nya.

"Abraham?"

"Benar. Tuan Zarkhan Ezriel Abraham meminta untuk menemui Anda," jawab Daniel.

"Baiklah, katakan padanya aku akan menemuinya. Urus jadwalku yang lain, Daniel. Setelah itu siapkan pakaian ku di kantor," tukas Nicholas.

"Siap, Tuan. Ada lagi yang Anda perlukan?"

Nicholas mengangkat tangan kanannya. "Kau boleh pergi," putus Nicholas.

Setelah beberapa saat kepergian asisten pribadinya, Nicholas menatap culas map biru di tangannya. Ia menarik sudut bibirnya ke atas, seolah puas dengan hasil yang akan ia terima setelahnya. Tentu saja Nicholas akan merasa puas sebagaimana kepuasan yang ia dapatkan dari tubuh Shaira. Hal itu sebentar lagi akan ia dapatkan secara cuma-cuma, tanpa paksaan. Wanita itu akan menyerah dan bertekuk lutut di bawah kuasanya.

***

Shaira mencoba membuka matanya perlahan. Langit-langit kamarnya terasa buram dan berputar. Ia memejamkan matanya rapat-rapat sebelum kembali membukanya. Kali ini penglihatannya sedikit jelas, walau masih terasa berputar.

"Riftan, kau kah itu, Sayang?" tanya Shaira kala mendengar suara pintu terbuka. Namun, tidak mendapat jawaban apapun.

Shaira masih mencoba mengumpulkan jiwanya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi padanya. Seketika ia menangis dalam diam saat bayangan percintaan panasnya dengan seorang pria terlintas begitu saja di otaknya.

"Hiks, a-apa yang terjadi, Tuhan? Tolong ampuni aku, hikss!" racau Shaira frustasi. Dirinya berharap yang terlintas di dalam kepalanya itu hanyalah mimpi belaka.

Ketika Shaira ingin mendudukkan tubuh mungilnya, ia sepenuhnya tersadar. Rasa tidak nyaman yang dirasakan tubuhnya sudah menjelaskan segalanya, area bawahnya terasa membengkak dan basah, kasur yang ia tiduri pun terasa lembab.

"Aaaaaaaaarrrggghh! Aaaaaaaaaa! Hiks hikss!" teriak Shaira sambil memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Ia terisak hingga kesulitan bernapas. Ia merasa begitu kotor karena melakukan kesalahan yang sama.

Nicholas hanya menatap datar ke arah Shaira. Tidak ada rasa bersalah yang melingkupi hatinya yang beku. Ia memang menikmati tubuh wanita itu, tetapi tidak berarti ia harus menaruh empati lebih.

"Tanda tangan, Shaira!" tuntut Nicholas setelah melempar map biru yang ia bawa ke wajah Shaira.

Shaira tertegun sejenak. Ia mengusap air matanya yang tidak kunjung berhenti keluar. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali untuk melihat lebih jelas. Lalu, menatap nyalang ke arah Nicholas yang tengah berdiri angkuh di sampingnya. Ia melempar map itu hingga mengenai dada Nicholas. Shaira tidak sudi melakukan perintah pria itu.

Namun, Nicholas tidak membiarkannya begitu saja. Ia mengangkat tangannya untuk mencengkram rahang kecil Shaira hingga membuat perempuan itu meringis. Tulang rahangnya terasa akan patah.

"Dengar! Kau tidak berhak membantahku, Shaira! Tanda tangan atau aku akan menyeret mu ke penjara!" tekan Nicholas sekali lagi. Ia melepas kasar cengkeramannya.

Shaira kembali terisak. Ia bahkan tidak memiliki kesalahan pada pria itu, tetapi kenapa dirinya harus di penjara? Apa yang sudah dirinya lakukan hingga membuat pria seperti Nicholas tidak bisa untuk tidak mengganggunya?

"Hiks ... Tuan, aku tidak merasa memiliki kesalahan padamu, hiks, tapi kenapa kau mengambil putraku? Bahkan merusak diriku, hiks. Jika, aku memiliki salah, tolong ampuni aku, Tuan! Tolong kembalikan putraku, hiks. Aku tidak akan menuntut apapun, sungguh. Tolong, hikss!" lirih Shaira.

Suaranya tercekat, ia terluka cukup parah dan tidak ada yang mau menawarkan penyembuh padanya. Shaira hanya butuh putranya, Riftan-nya kembali. Biarkan dunia menghukumnya, Shaira tidak perduli.

"Benar. Kau memang sudah rusak, jadi biarkan saja, Shaira. Kau membawa lari putraku, aku mengambil bayaran serta bunganya padamu. Kita impas," pungkas Nicholas.

"Impas? Kau merampas harga diriku, berengsek!" jerit Shaira tidak terima.

"Harga diri? Kau menyerahkan dirimu sendiri, Shaira. Dan wanita rendahan sepertimu tidak berhak berteriak padaku. Kali ini aku bermurah hati, aku memiliki penawaran untukmu. Tanda tangani berkas itu, kau akan bersama putraku lagi, tetapi sebagai gantinya kau harus melayaniku," putus Nicholas.

Shaira hanya bisa menangis. Ia memikirkan kehidupan tanpa Riftan yang terasa mati. Namun, menyerahkan diri kepada pria arogan seperti Nicholas akan membuatnya tersiksa. Bahkan disaat seperti ini, Shaira tidak sanggup melawannya. Nicholas terlalu berkuasa dan ia hanyalah butiran abu kecil yang bisa kapan saja pria itu hilangkan.

Tangan Shaira gemetar ketika memegang bolpoin dan membubuhi tanda tangannya di atas kertas bermaterai yang tidak ia ketahui apa isinya. Shaira merasa begitu bodoh karena tidak membacanya terlebih dahulu. Yang dirinya pikirkan hanyalah bertemu Riftan-nya.

"Bagus. Segera bersihkan dirimu, orangku akan datang menjemputmu setelah ini," ucap pria bermata biru itu. 

"Kau akan membawaku kemana?" tanya Shaira dengan suara seraknya. Tak kunjung mendapatkan jawaban ia menghela napasnya pasrah. "Bisakah aku menemui temanku terlebih dahulu?" lanjutnya.

"Kirimkan pesan atau tidak sama sekali!" putus Nicholas.

Pria itu berlalu begitu saja tanpa mau menunggu respon Shaira. Nicholas harus segera ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ia akan membawa putranya serta Shaira pulang ke New York. Namun, sebelum itu Nicholas harus menghadiri pertemuan dengan Zarkhan.



Bersambung ...



Gimana? Gimana?
Guys, semisalnya ada typo mohon ditandai
See u next chapter🤭

Terjerat Gairah Tuan Harvey Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang