Chapter 7

5.7K 111 0
                                    

Warning 🔞⚠️

Seperti biasa yang dibawah umur, please don't read this chapter!!!
⚠️Harap bijak⚠️

Dosa ditanggung masing-masing!

.

.

.

.

Setelah kepergian Bernetta beberapa jam yang lalu, Nicholas beranjak ke ruang kerjanya. Ia duduk bersandar seraya membolak balik kertas-kertas laporan di tangannya selama berjam-jam. Walaupun begitu, otak Nicholas tidak bekerja sebagaimana mestinya. Ia memikirkan tentang Shaira Zhanafnier yang telanjang di bawahnya.

"Sialan!" Umpatan yang selalu keluar jika ia memikirkan wanita itu. Bagaimanapun dirinya mencoba untuk melupakan pergumulan panas mereka, tetap saja otak Nicholas bekerja otomatis untuk mengingatnya.

Nicholas sudah bulat akan menemui Shaira, tapi alasan di balik itu bukanlah demi kesehatan Riftan seperti yang Veerzhan katakan, melainkan untuk memenuhi rasa laparnya pada wanita itu.

Nicholas bangkit, lalu melirik Rolex yang melingkari pergelangan tangannya menunjukkan pukul 8 malam lebih. Ia mengusap rambutnya ke belakang sebelum pergi meninggalkan setumpuk laporan yang belum satu pun dirinya periksa dengan teliti.

Nicholas membawa kakinya ke kamar Riftan. Ia melihat Marry masih ada disana dan putranya tengah tertidur, tetapi bubur yang Marry bawa sudah tinggal setengah.

"Tuan Kecil sudah meminum obatnya, Tuan. Demamnya juga sudah turun, tapi Tuan Kecil bertanya dimana Mommy-nya, Tuan," terang Marry.

Nicholas mengulurkan tangan kirinya untuk menyentuh dahi Riftan. Masih sedikit panas, tapi tidak sepanas saat ia baru tiba di mansion. Nicholas merasa sedikit lega. Ia mengusap pelan kepala anak itu sebelum membenarkan selimutnya.

"Jaga dia! Jika terjadi sesuatu segera hubungi aku!"

"Baik, Tuan."

Nicholas mengambil jasnya yang ia tinggalkan di kamar Riftan sebelum menemui Bernetta. Ia berlalu begitu saja tanpa repot-repot untuk membersihkan diri ataupun sekedar mengganti pakaian. Hal itu tidaklah penting bagi Nicholas, mandi atau tidak dirinya yakin tubuhnya masih wangi.

Pria 32 tahun itu mengemudikan Bentley Mulsanne-nya dengan kecepatan di atas rata-rata. Nicholas mengetatkan rahangnya ketika bayangan Shaira kembali terlintas dalam otaknya. Gerahamnya bergemeletuk saat ia merasakan celananya mulai terasa sempit. Dirinya mengeras hanya karena memikirkan wanita ayu itu.

Kalau bisa memutar waktu, Nicholas tidak akan bermain-main dengan Shaira jika ia tahu betapa tersiksanya bermain gairah dengan perempuan itu. Demi apapun, Shaira terlalu menggiurkan hingga ia tidak mau melewatkan kesempatan sedikitpun.

Namun, hidup Nicholas terasa seperti jungkir balik. Tubuhnya tidak bisa diajak kerja sama begitu pula dengan otaknya yang akhir-akhir ini meliar.

'Sadarlah Nicholas, perempuan yang setengah mati kau dambakan tubuhnya itu hanya seorang pelayan!' pikirnya memaki dirinya sendiri.

Tidak sampai satu jam berkendara, Nicholas hampir tiba di Camelian Bars, tempat Shaira bekerja. Ia memutar kemudinya membelok di pertigaan lampu merah. Nicholas memelankan laju mobilnya, lalu masuk ke pelantaran depan gedung berlebel Camelian Bars itu.

Nicholas menatap sejenak pintu masuk yang dijaga oleh dua security di depannya. Ia mencoba menenangkan sisi primitif nya yang sejak tadi terusik. Setelah sedikit tenang, ia masuk dengan langkah ringan seperti biasanya. Rahang yang kokoh menambah kesan betapa berbahayanya seorang Nicholas. Matanya yang tajam memindai setiap pelayan di bar itu, berharap Shaira berada di antara mereka. Namun, hasilnya nihil, wanita itu tidak bisa ia temukan.

Terjerat Gairah Tuan Harvey Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang