Chapter 3

9K 125 1
                                    

⚠️ Warning 🔞

Yang masih dibawah umur harap bijak!!!
Dosa ditanggung masing-masing!

.

.

.

.

Shaira mendekap erat tubuh anak laki-laki berumur 4 tahun. Ia sesekali mengusap air matanya yang sejak tadi terus mendobrak untuk keluar.

Shaira tidak takut apapun, ia akan menghadapi segalanya yang menyakitkan asalkan putra semata wayangnya tetap bersamanya. Dirinya tidak bisa memikirkan hal yang lebih buruk dari kehilangan anak itu.

"Tetap sama Mommy, Riftan. Mommy mohon!" bisiknya.

Shaira merasakan ketakutan yang teramat besar ketika pada akhirnya ia berjumpa dengan ayah kandung dari putranya. Dalam kondisi yang tidak menguntungkan dirinya sama sekali. Ia tidak pernah menyangka, pria yang membuang benihnya di rahim sepupunya adalah pria berkuasa yang tidak bisa Shaira tandingi.

"Mommy?"

Riftan yang baru genap empat tahun sebulan yang lalu itu hanya menatap dada ibunya. Anak itu tidak mengerti, belum mengerti apapun permasalahan orang tuanya. Riftan hanya ingin bertanya keadaan perempuan yang menjadi ibunya saat ini. Dia mengelus-elus pinggang Shaira dengan tangan kecilnya agar wanita itu tidak menangis.

"Mommy sacit?"

Meskipun Riftan masih kecil, belum sepenuhnya mengerti keadaan yang dialaminya, tapi Shaira tahu Riftan pasti khawatir padanya yang pulang lebih awal dan langsung menjemputnya di rumah Parveen—sahabatnya yang berbaik hati untuk menjaga Riftan selama Shaira bekerja.

"Mommy tidak apa-apa, Sayang."

"Tapi Mommy angis."

Shaira segera menghapus air matanya, lalu melepaskan tubuh mungil Riftan.  Ia mencoba tersenyum walaupun hatinya terasa begitu was-was. Riftan adalah anaknya, Shaira tidak akan memberikannya pada siapapun termasuk ayah kandungnya sendiri.

"Mommy tidak menangis, Sayang. Tadi mata Mommy kemasukan debu."

Riftan mengusap-usap kedua pelupuk mata Shaira. "Liftan hapus," ucapnya lalu mengecup sayang pipi Shaira.

Shaira tersenyum haru, lalu mengangguk. Bagaimana bisa ia hidup jika Riftan tidak bersamanya lagi? Walau harus kehilangan segalanya, Shaira tetap tidak akan melepaskan Riftan-nya, putranya, dunianya.

"Riftan sudah makan?"

Riftan mengangguk. "Liftan macan di lumah Aunty Apin."

"Ya sudah, Riftan tidur saja yuk, Nak."

Riftan mengangguk, lalu memeluk erat tubuh Shaira. Walau anak kecil itu tidak mengerti apapun,  tetapi Riftan tahu ibunya sedang tidak baik-baik saja.

Shaira menepuk-nepuk pelan pantat Riftan agar anak itu cepat tidur.  Namun, baru lima detik Riftan menutup mata, kini netra birunya kembali terlihat. Berkedip beberapa kali setelah mendengar ketukan pintu yang cukup keras hingga terasa seperti ingin menghancurkan pintu itu.

"Mommy?" cicit Riftan ketakutan.
Shaira mengelus kepala Riftan, berusaha untuk menenangkannya. Kendati begitu, pintu berhasil didobrak. Empat orang berpakaian hitam masuk.

"Si-siapa kalian?" tanya Shaira.

"Tuan Harvey ingin menemui Anda, Nona," jawab salah satu dari mereka.

Terjerat Gairah Tuan Harvey Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang