4. Perpisahan

11.3K 418 11
                                    

"Rin, liburan kemana?" tanya Oma.

"Nggak tau, ma. Kenapa?"

"Ikut oma mau nggak?"

"Kemana?"

"Nganterin Ian."

"Ke? Oma kalo ngomong jangan dipotong-potong dong ah."

"Hehe, iya-iya. Ian kan udah lulus SD, masuk SMP kan bentar lagi. Nah keluarganya mau pindah."

"Pindah? Pindah kemana ma?"

"Ke Jogja kayaknya."

"Ha? Jauh banget ma. Masa iya Kak Ian pindah sejauh itu?"

"Kamu kok kayaknya kaget sih Rin? Ian nggak cerita sama kamu apa?"

"Nggak ma. Kita udah nggak pernah ngobrol lagi sejak aku di rawat di rumah sakit. Dimas juga gitu ma. Kemarin waktu bunda ambil raport, Dimas cuma nunduk terus. Asik sendiri gitu ma. Kenapa ya mereka?"

"Tanyain aja. Deketin aja mereka. Ajak ngobrol lagi. Kamu naik kelas berapa sih Rin? Oma lupa."

"Kelas 5 ma. Percuma ma, mereka ngehindar terus. Ririn juga nggak tahu penyebabnya apa."

Tingtong.. Suara bel rumah oma berbunyi. Ririn dan Oma yang sedang bercakap-cakap terlonjak kaget, karena dirumah hanya sedang ada Ririn dan Oma. Opa sedang pergi ke rumah kakek.

"Biar Ririn aja ma, yang buka pintunya." Kata Ririn.

Kebiasaan Ririn sebelum membuka pintu, ia selalu mengintip lewat balik tirai jendela. Ia takut kalau-kalau anak-anak yang iseng memainkan bel rumah omanya. Betapa girangnya Ririn, mengetahui bahwa yang bertamu adalah orang yang ditunggu-tunggu selama ini.

"Kak Ian!" pekik Ririn senang.

"Siapa Rin?" teriak oma dari dalam.

"Kak Ian ma!" jawab Ririn.

"Ian? Suruh masuk Rin."

"Denger kan kak oma bilang apa? Suruh masuk gitu." kata Ririn.

"Iya, tau." Ian masuk ke dalam menghampiri oma. Ia tetap acuh pada Ririn.

"Pagi oma." Sapa Ian

"Pagi sayang. Sama siapa nak?" tanya oma lembut.

"Sendiri, ma," jawab Ian. "Opa mana ma?"

"Lagi ke rumah kakek. Rin?" panggil oma.

"Hm?"

"Dipanggil kok jawabnya gitu sih?" tanya oma.

"Lah abisnya aku daritadi dikacangin. Males ngomong jadinya. Aku kebelakang ya, ma."

Oma dan Ian bingung dengan sikap Ririn. Sebenarnya, Ian ingin sekali ngobrol dengan Ririn. Tapi, ia selalu ingat kata-kata bunda Ririn waktu di rumah sakit. Ian mengikuti Ririn ke belakang rumah. Di luar hujan, Ririn duduk termenung di atas ayunan santai sambil mendengarkan lagu lewat headphone-nya.

"Rin?" sapa Ian setelah sekian lama Ian mendiamkannya. Tak ada respon dari Ririn. "Ririn?" panggil Ian lagi. Ririn tetap diam sambil memandang hujan.

"Apasih salahku sama Dimas? Apa juga salahku sama Kak Ian? Kenapa semuanya bersikap aneh kayak gini?" kata Ririn tiba-tiba yang membuat Ian kaget. Tanpa Ian tahu, Ririn ternyata sedang menangis.

Ian segera mendekatinya dari belakang. Mencabut headphone Ririn yang membuat si empunya headphone kesal.

"Hih!" keluh Ririn kesal. Ia menoleh kepada si pengganggu. "Kakak! Apasih pake lepas-lepas headphone orang?!" Ririn mulai emosi.

"Maafin kakak ya, kakak udah cuek sama kamu selama ini." ucap Ian terus terang.

"Hmm."

"Boleh duduk situ nggak? basah ini badan kakak."

"Duduk aja." Ian mengambil posisi duduk di sebelah Ririn.

"Maaf ya. Jangan marah lagi dong." kata Ian.

"Iya-iya kak."

"Rin," panggil Ian.

"Kenapa kak?"

"Kamu beneran jadi pindah?"

"Ha? Pindah?" tanya Ririn bingung. "Pindah kemana coba?"

"Surabaya kan. Iya?"

"Ha? Ke Surabaya? Aku nggak pindah kak. Kakak kan yang katanya mau pindah."

"Iya aku pindah, kamu juga pindah. Kita sama-sama pindah. Aku ke jogja, kamu ke Surabaya."

"Berarti Dimas..."

"Iya, Dimas bakalan di Jakarta sendirian."

"Ya nggaklah kak. Dia tetep bakal sama mamapapanya. Sama keluarganya."

"Maksud kakak, nggak bakalan sama kita lagi. Kan biasanya dia sama kamu, sama kakak juga."

"Iya sih kak. Ke rumah Dimas mau nggak kak?"

"Sekarang? Hujan ini."

"Ntar kak, kalo udah redaan."

"Oke deh. Rin."

"Apa?"

"Masuk yo? Dingin ini."

"Iya kak. Ayok."

***

Hari pengumuman UN tiba. Keluarga Ian, Ririn, serta Dimas sudah berada di bandara. Ian sengaja tak ikut pesta perpisahan karena jadwal keberangkatan pesawatnya pukul 06.30 WIB. Ririn pun sama. Dimas diajak oma, opa, kakek, dan nenek untuk bertemu dengan Ian dan Ririn terakhir kalinya.

"Rin, Kak Ian, take care ya. Jangan lupain aku. Jangan lupa kontek-kontek aku."

"Iya Dimas. Kita gabakal lupa kok. Iya kan kak?"

"Bener kata Ririn," Ian melihat arlojinya. "Eh, 5 menit lagi pesawatku berangkat. Aku duluan ya." pamit Ian ke Dimas dan Ririn.

"Eh kak! Bareng ih. Dim, aku pamit ya." Ririn berlari ke arah oma,opa,kakek, nenek, dan ayah serta ibu tirinya. "Oma, opa, kakek, nenek, ayah, Ririn pamit ya. Doain Ririn sama bunda selamat sampe di Surabaya," Ririn mencium pipi kakek-kakek dan nenek-neneknya. "Ayah, cepet nyusulin aku sama bunda ya." ia mengecup pipi ayahnya.

Pukul 06.30 WIB, keluarga Ian dan keluarga Ririn sudah hampir berangkat. Pesawat lepas landas, orang-orang yang dibawah sana terlihat semakin mengecil. Ian, Ririn, dan Dimas sekarang berteman jarak jauh.

-----------------------------------------------------------------------------------------------

Broken HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang