5. Burung-Burung Hijau and Burung Gagak

26 12 39
                                    

Madara mondar-mandir dengan gelisah di depan singgasananya. Wajahnya begitu ketakutan. Wajah lelaki itu pucat seperti melihat hal yang mengerikan. Belum lagi hujan lebat dan petir yang menjadi latar suara, memperkeruh keadaan. Obito, pelayan setianya pun tidak tahan untuk tak bertanya.

"Setidaknya dengan membagi kekalutan Anda, bisa sedikit mengurangi perasaan takut itu, Yang Mulia."

"Obito ...." Suara Madara serak dan napasnya pun memburu. "Aku khawatir, kita salah dalam hal menafsirkan mimpi dan kutukan Burafuma."

"Apa maksud Anda, Yang Mulia?"

"Jangan-jangan ... yang Burafuma itu maksudkan, bukanlah putra Kaguya, tetapi orang lain. Bagaimana kalau orang yang dimaksud itu adalah putra Murasaki?"

"Maka kita harus membunuh Pangeran Toneri saja kalau begitu, Yang Mulia."

"Kau masih saja bodoh! Aku bisa diserang para bangsawan, terlebih bangsawan Konoha. Aku selamat dari hukuman membunuh putra Kaguya karena hubungan kekerabatan kami. Tapi, jika aku ketahuan membuat masalah, tak ada ampun bagiku."

"Lantas, apa yang hendak Anda lakukan, Yang Mulia?"

Madara yang tadinya kalut, tiba-tiba menyeringai. "Sarpamaru."

Sementara di Mikazuki, Toneri sedang terlelap berasama ayah dan ibundanya. Mereka bertiga tidur di ranjang yang sama. Toneri bisa merasakan bahwa sesuatu pastilah telah terjadi, melingkupi keluarganya. Hal yang menjadi dirinya tidur bersama orangtuanya adalah hal yang tidak biasa, mengingat dirinya bukan lagi bayi atau balita. Terlebih, ketika kunjungan ke sekolah beberapa hari lalu, dia menceritakan mimpinya dan membuat raja dan ratu membawa sang putra mahkota pulang.

Toneri bertanya-tanya dalam hati, apakah ini karena mimpinya yang sederhana itu atau karena ada hal lain yang membuat kedua orang tuanya sedikit berbeda? Bahkan ibunya tidak lagi memarahi, baik kalau dia tidak sengaja maupun secara sadar melakukan kesalahan. Sang ayah pun, akhir-akhir ini lebih sering menghabiskan waktu berkuda, memanah dan latihan bersama dirinya dibandingkan mengerjakan hal-hal kerajaan lainnya. Seakan-akan momen itu tidak bisa dikerjakan di lain waktu. Misalnya ketika liburan sekolah atau setelah kelulusan. Dalam hati Toneri, tersimpan ketakutan yang luar biasa. Bahkan untuk sekadar memejamkan mata, dia tak sanggup. Sebagai gantinya, putra semata wayang tersebut hanya memandangi wajah terlelap ibunda dan ayahnya.

Mimpi Toneri sebenarnya adalah mimpi yang sama dengan mimpi yang juga mendatangi Maharaja Tsukiyoshi dan Permaisuri Murasaki dalam beberapa hari. Mimpi yang sudah pasti adalah sebuah tanda. Mimpi itu mengisahkan burung. Jadi begini, ada dua burung berwarna hijau cantik. Dua burung hijau itu ada di dalam lentera-lentera di bawah langit. Mereka berkeliaran ke mana saja mereka suka, kemudian kembali ke lentera-lentera mereka masing-masing. Dua burung hijau itu membawa masing-masing sesuatu di dalam mulut mereka. Bukan untuk dimangsa melainkan penjagaan. Sesuatu yang mereka bawa adalah tubuh dua orang. Dan orang itu tak lain adalah Tsukiyoshi dan Murasaki.

Mimpi yang hampir serupa pun telah menghantui Madara. Hanya saja Madara bermimpi kalau tubuhnya dimangsa burung gagak. Takdir ketiga orang yang bermimpi perihal burung tersebut menjadi awal peperangan bersejarah di tanah Kage.

Maka, sebelum kematiannya, Madara pun telah membuat perjanjian kepada Sarpamaru yang dahulu pun pernah melakukan perjanjian kepada tujuh Burafuma legendaris. Perbedaannya, jika Burafuma demi keamanan dan keseimbangan negeri, Madara malah untuk membuat kerusakan dan menyalahi aturan.

"Kau tahu bahwa meminta bantuan kepada yasha, artinya harus membayar mahal. Kami tidak membantu secara cuma-cuma." Sarpamaru berkata angkuh.

Madara menyeringai, "Kalian para iblis tidak tahu diri. Bumi ini bukan milik kalian, tetapi milik kami, para manusia. Jangan sok mengaturku."

{天理} Tenri: Heaven's RuleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang