| CHAPTER 6 |

0 0 0
                                    

Rhea menggenggam erat tali sling bag yang dikenakan. Ia mulai menelusurinya lorong rumah sakit  dan mulai mencari ruangan tempat Reydan dirawat.

Lalu lalang para awak medis dan pasien membuat tempat itu terasa ramai. Di salah satu bangsal Rhea menemuka sebuah nama  "Reydan Zhaleo Gevandra" tertulis di pintu. Rhea menghembuskan nafas dalam-dalam lalu masuk.

"Permisi-"

Ketika Rhea masuk tidak ada siapapun. Nama yang di caripun tidak ada. "Loh? Reydan mana? Bukannya dirawat rumah sakit ini?"

"Mending nelpon tuan Ryu dulu, deh." Rhea merapikan rambutnya lalu mulai menelpon. Tak henti tersenyum bahkan jantungnya berdebar kencang. Rhea menanti panggilan telepon terjawab.

Rhea terkesiap. "Hallo, Selamat pagi tuan Ryu."

"Tuan, bagaimana tidurmu?"

"Seperti biasa,"

kata seseorang disambungan terlepon. Namun jawaban itu tidak membuat Rhea senang, melainkan suara tersebut bukanlah suara Ryu.

"Tuan?"

"Ini saya, Edwin."

Rhea mendelik. "Apa! Edwin?"

"Benar."

"M-maaf, maafkan saya, saya kira-"

"Tuan Ryu ya,"

"Seharusnya, kamu menamai nomorku dengan benar. Lagian, ada perlu apa? Sampai menelpon?"

"Itu... Mmm... Jadi begini... Saya, belum ketemu tuan Ryu di sini, padahal saya, sudah datang di tempat yang disuruh."

"Untuk apa kamu mencari tuan Ryu, di sana? Bukannya tugas kamu mengawasi Reydan? Jadi yang harus kamu cari adalah Reydan."

"Apa? Jadi tuan Ryu tidak di sini?"

"Iya, tuan Ryu sedang ada rapat di luar kota. Lagi pula, dia akan menetap selama beberapa hari."

Rhea menghela nafas. "Baiklah, saya kerja dul-"

Tutt..tutt..

"Aishhh, langsung dimatiin, haahhh."

***

Selama 3 jam lamanya Rhea menelusuri gedung besar itu, bahkan setiap ruangan pasien ia masuki satu persatu. Ia juga menanyai perawat dan pasien yang lewat mengenai keberadaan Reydan. Jawaban mereka sama "tidak tahu" dan memang benar, tidak ada wujudnya. Ia berjalan tanpa henti dan akhirnya memutuskan beristirahat sejenak untuk melepas penat.

Rhea pun menuju atap rumah sakit yang berada di tingkat paling atas, hanya di sana tempat yang terbuka. Ia juga tidak bisa keluar rumah sakit begitu saja karena tugasnya belum selesai. Ia duduk di kursi panjang sambil meneguk sekaleng cola dingin dari mesin minuman otomatis. Baru saja Rhea menghirup udara segar tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi.

"Hallo?"

"Kak! Tolong aku, aku sedang di tahan polisi."

"APA! KOK BISA!"

"Kakak cepatlah kemari."

Rhea meremas kelang kosong hingga penyok. "Ishh, Dasar berandal! KAMU PASTI KELAHI LAGI!"

Dear RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang