121. Lentera Malam

233 27 6
                                    

Malam itu, Bagas yang melakukan perjalanan penuh akhirnya sampai ke Majapahit dengan keadaan kacau.

Sebenarnya, jika mereka semua melakukan perjalanan dengan santai dan biasa seperti hari-hari belakangan, seharusnya mereka sampai di Majapahit besok hari. Tapi tidak, mereka malah memburu waktu dan akhirnya walau sampai di Majapahit hari itu juga, tenaga mereka terkuras habis.

“Hanya ada sedikit lagi jarak yang tersisa. Cepatlah dan terus berjalan, kita harus sampai disana Hari ini juga!” Perintah Bagas saat itu.

Dia mungkin menggunakan kereta sehingga dengan bebas mengucapkan itu, tapi bagi mereka yang berjalan kaki, itu seperti neraka bagi mereka.

Pada akhirnya, mereka akhirnya menunggang kuda dengan orang-orang yang memang menunggang kuda dari awal. Tapi Taring hanya mempunyai kuda kecil dengan kekuatan rendah yang jika dua orang menunggangginya, dia akan bergerak lambat dan tidak stabil.

Lagi-lagi, itu tidak cukup. Mereka yang menghela nafas lega harus kembali sengsara karena kuda mereka bergerak lambat dan membuat perjalanan jadi terhambat. Karena itu, Bagas kembali berkoar dan memutuskan untuk memotong jalan.

Jalan antara Majapahit dan Taring saja tidak terlalu bagus untuk dikatakan nyaman, apalagi jalan yang memang bukan diperuntukan untuk dilewati.

Alhasil, mereka harus membabat hutan agar mereka bisa lewat. Dan membabat sepanjang jalan bukan hal yang mudah tentu saja.

Untuk itulah mereka tiba di Majapahit dengan keadaan kacau.

Mereka lapar, mereka lelah, dan mengantuk. Ini sudah sangat malam, dan itu adalah malam yang melelahkan bagi mereka.

Jadi saat mereka sampai, mereka tidak punya energi lagi.

Penjaga gerbang tidak membukakakkan gerbang untuk mereka, tapi entah karena apa, mereka akhirnya membukakkan gerbang. Namun, mereka hanya diperbolehkan menunggu di halaman sedangkan mereka melapor ke Gajah Mada untuk  menanyakan apakah mereka diperbolehkan masuk atau tidak.

Dengan tergesa-gesa, si prajurit berlari ke kamar Sekar dan mengetuk pintu yang terbuka dan berlutut, “Ampun paduka, Ratu ngawi Taring ada disini untuk bertemu dengan panjenengan.” Ucapnya dengan suara yang terengah-engah.

Arya dan Dwi Prapaja terkejut dan panik. Mereka serempak menatap Gajah Mada yang mengenggam tangan Sekar dengan kepala terbaring di lengannya namun mereka tidak mendapatkan apa-apa.

Gajah Mada tersenyum dan memandang jauh. “Akhirnya dia tahu juga.” Ucapnya.

“Bawa Bagas kesini dan biarkan orang-orangnya beristirahat. Siapkan kamar dan makanan untuk mereka.” Lanjutnya memberi perintah.

Setelah si prajurit menganggukkan kepalanya dan pergi, Dwi Prapaja bertanya dengan khawatir kepada Gajah Mada. “Apa yang akan kau lakukan sekarang, Kang Mas?” tanyanya prihatin.

“Apa yang akan kulakukan? Memangnya apa yang harus kulakukan? Dia adalah kakaknya, dia juga berhak tahu ‘kan?” ucapnya bertanya getir.

Dia memang tidak ingin keluarga Sekar tahu apa yang terjadi Sekarang karena Gajah Mada takut mereka akan mengambil kembali Sekar. tapi kali ini, Gajah Mada tidak lagi takut. Dia telah membulatkan tekatnya, dan bahkan jika dia harus menantang orang manapun, ia akan melakukannya.

“Karena dia adalah kakaknya…” Bisik Dwi Prapaja tidak bisa melanjutkan apa yang ingin dia katakan.

“Karena dia adalah kakaknya, maka dia bisa membawa Sekar pergi dariku?” sambung Gajah Mada. Kemudian dia tertawa mengejek. “Tidak ada yang bisa membawa pergi Sekar tanpa seinjinku.” Jawabnya sendiri dengan sombong.

“Tapi—”

“Hust!” potong Gajah mada membuat Dwi Prapaja menghentikan ucapannya.

Begitu mereka diam, suara langkah kaki yang terdengar nyaring memenuhi pendengaran mereka yang berangsur-angsur mendekat hingga seseorang itu bisa mereka lihat.

“Sekar!” Panggil Bagas begitu dia melewati pintu dan mendapati Sekar yang terbaring dengan beberapa orang yang mengelilinginya.

Amarahnya yang tak terkendali meluap dari hatinya dan tangannya mengepal sampai buku-buku jarinya memutih. Dia berjalan langsung menuju Gajah Mada dan melayangkan tinjunya.

“Brengsek!” Umpatnya.

“Apa yang kaulakukan pada Sekar?!” tanyanya dengan sangat marah.

Di belakangnya, Puspa Ratih yang tengah mengandung berusaha menarik tangan Bagas dan mencicit, “Tenanglah, Kang Mas!”

“Tenang? Tenang?! Bagaimana aku bisa tenang, Ratih! Dia—” Bagas menunjuk Gajah Mada dengan tangan gemetaran tepat di wajahnya langsung, “—Menikah dan membawa Sekar pergi dengan paksa dan berjanji tidak akan menyakiti Sekar sedikitpun. Dia, orang yang mengambil Sekar pada pertemuan singkat yang membuat kami sangat merasa kehilangannya. Dia juga, yang telah membuat Sekar tidak punya pilihan dan membuat kesalahan terbesar di sepanjang hidupnya.”

Bagas menghentakkan tangannya dengan sangat kasar. Dia merasa bahwa setiap sel dalam dirinya sangat membenci Gajah Mada dan saat ini darahnya seakan mendidih dengan keinginan kuat untuk membunuh orang dihadapannya.

Tapi Bagas memalingkan wajahnya. Disisi lain, dia menekan amarah yang tidak bisa dipendam. Disisi lain lagi, dia juga sangat bersedih dan mencemaskan Sekar. Sekar terbaring di sana dengan tumbukan tanaman di dada dan lehernya.

Bagas mengabaikan Gajah Mada dan bergegas menuju Sekar. Dielusnya pipi Sekar yang ternyata sangat dingin ditangannya. Pipi Sekar sudah kehilangan ronanya dan bibirnya kering mengelupas. Seluruh wajahnya pucat pasi dan sedikit hijau.

Bagas menangis dan memeluk Sekar, “Ada apa denganmu?” Bisiknya dengan air mata yang mengalir.
Gajah Mada mematung dan tak bisa berkata-kata.

Dia memang sudah tahu akan begini. Dia juga sudah bersiap dan memikirkan kata-kata untuk Bagas jika dia datang. Tapi dia tidak bisa berkata apa-apa Sekarang.

Saat Gajah Mada memikirkan kembali masa lalu dimana dia bertemu dengan sekar untuk pertama kalinya, dia tidak akan tahu takdir Sekar akan seperti ini.

Jika dia tahu, masihkan dia akan membawa Sekar dan meminangnya? Atau bahkan bertemu dengan cara-cara paling konyol seperti yang dia lakukan di masa lalu?

“Pria macam apa yang tidak memegang janjinya dengan benar!” Ucap Bagas kembali memasuki gendang telinga Gajah Mada.

Ucapan Bagas membawa pukulan lagi ke hati Gajah Mada. Dia yang tengah mematung akan masalalu harus lagi-lagi tertampar dengan pernyataan baru.

“Pria macam apa yang tidak memegang janjinya? Pria seperti aku mungkin, yang hanya bisa membawa duka bagi orang yang kucintai.” Ujar Gajah Mada dalam hati.

***
24 Desember 2023

[BOOK 2] GAJAH MADA ; Megat Roso Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang