Terkadang kita harus melepaskan apa yang kita harapkan. Bukan menyerah, tapi menyadari bahwa ada hal yang tidak bisa dipaksakan.
••••••Bel sekolah sudah berbunyi sejak tadi, sedangkan Anara baru saja keluar dari kelas. Sudah menjadi kebiasaan Anara untuk selalu pulang terakhir.
Alvan? Pemuda itu tadi sudah mengajak Anara pulang bersama, tetapi Anara menolaknya. Mau tidak mau Alvan harus pulang lebih dulu meninggalkan Anara, karena Viona sudah mengancam jika Alvan terlalu lama maka Viona akan nekat pulang lebih dulu nantinya.
Menjadi Alvan memang sangat sulit.
Anara melangkah dengan langkah gontai, suasana hatinya berubah menjadi sedih. Sejak Viona datang diantara dirinya dan Alvan, semua menjadi seperti ini.
Bolehkah Anara egois? Anara tidak ingin Alvan-nya diambil oleh orang lain.
Langkah Anara pun terhenti di tempat yang ia tuju, yaitu halte bus yang berada di depan sekolahnya.
Anara duduk di bangku yang sudah di sediakan di sana, tentu saja menunggu Pak Tio untuk menjemputnya.
Setiap 5 menit sekali, Anara melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, terhitung sudah 15 menit Anara menunggu, tetapi tetap saja tidak terlihat tanda-tanda mobil Pak Tio. Bahkan kendaraan umum saja tidak ada yang lewat.
Anara menghela nafas, berada di situasi seperti ini lagi, jadi mengingatkan dirinya saat pertemuan pertamanya dengan Reyhan. Anara takut jika Reyhan atau laki-laki lainnya yang tidak ia kenal datang dan akan menawarkan tumpangan lagi untuknya.
Benar saja, tidak berselang lama sebuah motor sport hitam yang sangat Anara kenali berhenti tepat di depannya. Anara seolah merasakan dejavu sekarang.
Pemuda itu turun dari motornya dan membuka helm full face miliknya. Senyuman pemuda itu terukir begitu saja, disaat melihat Anara yang juga tengah menatapnya balik.
Anara mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, bayangan tentang kejadian malam itu kembali berputar-putar di benaknya. Sedangkan pemuda itu kini tengah berjalan menghampiri Anara.
"Nara."
"Pergi Reyhan! Pergi!" Anara bangkit, gadis itu menatap Reyhan tajam.
Reyhan mundur dua langkah, ia paham jika Anara sangat membenci dirinya. Bagaimana tidak? Reyhan sudah mencoba melecehkan Anara malam itu. Bahkan rasanya Reyhan malu dengan kelakuannya sendiri.
"Maafin gue, Nar." Ucap Reyhan pelan, sedangkan kedua mata Anara kini sudah berkaca kaca.
Tubuh Anara merosot ke tanah, gadis itu meringkuk dan menutup wajahnya, kali ini ia menangis. Reyhan menjadi tidak tega melihat Anara dalam keadaan seperti ini. Apakah Reyhan memang sejahat itu?
"Padahal kita baru aja kenal, dan kamu udah berani ngelakuin hal itu ke Nara.." Lirih Anara.
Reyhan berjongkok di samping Anara, ia mencoba melepaskan tangan Anara yang menutupi wajahnya sendiri, terlihat jika wajah gadis itu sudah dipenuhi oleh air mata. Reyhan mengusap air mata di pipi Anara dengan lembut.
"Maafin gue, Nar. Saat itu gue dalam kondisi mabuk, gue bener-bener gak sadar saat malam itu. Gue sakit hati Nar di saat liat lo pulang bareng cowok yang gue gak kenal dia siapa. Maafin gue."
Anara sedikit menghentikan tangisnya, ia menatap Reyhan dengan tatapan bingung. "Sakit hati? Kenapa?"
Reyhan terdiam, ia melepaskan tangannya yang tadi berada di pipi Anara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvan & Anara [ON GOING]
Teen FictionBagaimana jadinya, jika kau terjebak perasaan jatuh cinta dalam hubungan persahabatan yang sudah lama kau jalin? Rumit bukan? Tidak rumit, jika kedua belah pihak memiliki perasaan yang sama. 'Tidak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan, s...