him

342 32 2
                                    

Gistara pov

Tidak ada manusia yang sempurna, begitupun aku. Semua mata pelajaran hampir aku kuasai kecuali seni musik. Ujian sudah di depan mata, tetapi nilai milikku masih di bawah rata-rata.

Aku mendatangi ruangan Pak Bas, guru seniku. Saat sedang sesi pengambilan nilai tadi, aku mendapatkan hasil paling buruk. Disinilah aku sekarang, bernegosiasi dengan beliau, berharap mendapatkan solusi dan keringanan darinya.

"Mmm Gistara Gistara.. sejauh dari yang saya tau nilaimu selalu tinggi. Tetapi entah kenapa hari ini kamu sangat kacau sekali hasilnya."

Bukan aku tidak berusaha. Dari sebelum hari ini datang, aku selalu belajar memetik gitar seorang diri. Melalui tutorial dari platform youtube. Sampai-sampai aku tidak menyadari jemariku terluka, karena terlalu keras berusaha. Tetap saja sulit. Aku lebih memilih menghafalkan isi 5 buku sejarah, dibanding harus belajar mengingat chord gitar.

Mamah belum tahu mengenai hal ini, kalau iya  sudah pasti aku akan di daftarkan ke bimbel musik pilihannya. Hhh.. Untung saja beliau akhir-akhir ini sibuk dan jarang pulang kerumah.

"Saya kasih kesempatan, coba lagi minggu depan."

"Mmm apakah bapak punya solusi lain selain belajar lewat tutorial youtube?"

"Jalan satu-satunya yaa lewat ahlinya langsung. Ah, kalau begitu coba kamu belajar dengan Mahesa. Dia anak musik, kelas 12 Bahasa 1. Ini bapak kasih nomornya dulu, kamu yang menghubungi sendiri ya."

"Baik, terima kasih Pak."

***

"Halo Mahesa, aku Gistara 12 Ipa 1. Hari ini kamu sibuk nggak ya? Bisa kita ketemu sebentar pulang sekolah nanti?"

Sebenarnya nama Mahesa tidak asing pada ingatanku. Laki-laki itu dikenal sangat berprestasi, dan sering membuat bangga sekolah ini, terutama dalam bidang musik.

Namanya selalu dipuja dan dibanggakan, sebab laki-laki itu memang pantas mendapatkannya. Tidak satu dua perempuan yang terang-terangan mengaguminya. Bagaimana tidak? Mahesa tidak hanya pandai bermain alat musik, suara miliknya indah, dia pintar, dan tentunya tampan.

Jam pelajaran hari ini telah berakhir. Setelah mendapat balasannya, aku langsung mendatangi ruang musik.

Sesampainya disana tidak ada seorangpun yang tinggal. Baru aku akan menghubunginya lagi, satu notifikasi pesan singkat datang darinya.

"Sebentar ya, gue masih ada urusan di perpus."

Sembari menunggu kehadirannya, mataku menjelajah keseluruhan ruangan ini. Tempatnya luas, terpisah oleh beberapa sekat dinding yang beralih ke ruangan lain.

Alat-alat musik tentunya tidak ketinggalan di tempat ini. Aku berjalan ke ruang lain, ke tempat yang berisi sofa panjang di bagian pojok. Sepertinya tempat ini yang biasanya digunakan oleh para anggota untuk berkumpul. Pada dindingnya berisi deretan bingkai yang menampilkan potret bersama.

Saat sedang fokus mengamati sekitarnya, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Menampilkan satu sosok laki-laki dengan senyum hangatnya.

"Hai Gistara." Sapanya kepadaku. Dia berjalan mendekat, lalu mengulurkan tangan kanannya. Kami saling berjabat tangan dan mengenalkan diri.

"Mahesa."

"Gistara."

Mahesa menyuruhku untuk duduk, sementara dirinya pergi ke arah lain menuju ke kulkas kecil. Laki-laki itu memberikanku satu botol air dingin. Dan sebelum itu, ia membukakan tutup botol untukku.

How Do I Live Without You? (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang