bertengkar hebat

240 33 4
                                    

"Semua yang ditahan, pasti akan meledak suatu hari nanti."

***

Gistara muak, dia sangat lelah mengikuti semua kemauan ibunya. Selama ini ia terus diam, hanya menurut, berharap ibunya bangga. Namun apa yang didapatnya sampai saat ini? Ibunya itu sama sekali tidak pernah memberinya apresiasi, atau merayakan pencapaian yang sudah diraihnya.

Perempuan itu hanya ingin sekali saja, ibunya itu melihatnya, memerhatikanya. Sekadar mengucapkan, "Kamu sudah melakukan yang terbaik." Kalimat singkat itu bahkan mampu merubah kondisinya jadi membaik.

Dia kira semuanya sudah selesai, seharusnya. Setelah merayakan kelulusannya tadi siang, Gistara mengira ini terakhir kalinya ibunya itu akan berhenti menuntutnya.

Ternyata dirinya salah, karena setelah itu ibunya kembali berkata. "Kamu sudah Mama daftarkan di universitas luar."

"Apa maksudnya Universitas luar, dimana?!"

"Sheffield Hallam University, Inggris. Mama daftarkan kamu kesana dengan mengambil jurusan Fashion desainer, impian kamu."

"Kata siapa Fashion desainer impian aku. Mamah aja nggak pernah dengerin aku ngomong. Sejak kapan aku pernah bicara tentang keinginanku yang satu ituu?!" Nada bicaranya naik. Perempuan itu bahkan berdiri dari meja makannya. Seolah menantang, dan menuntut penjelasan dari ibunya tersebut.

"Kamu kan suka menggambar, gambaran kamu juga semuanya bagus. Menurut Mamah yaa sebaiknya kamu masuk kesana, karena bakatmu sesuai dengan passion kamu."

"Nggak. Pokoknya aku nggak mau pergi dari sini." Jelas Gistara, kemudian ia langsung beranjak pergi dari duduknya.

"Apa ini semua ada hubungannya dengan Mahesa? Semenjak kamu kenal, dan dekat dengan laki-laki itu kamu jadi sering bantah ucapan Mamah. Laki-laki itu bawa pengaruh buruk buat kamu Gistara."

Gistara yang mendengar nama laki-laki itu disebut pun otomatis langsung menghentikan langkahnya. Tubuhnya kembali berbalik menghadap ke arah ibunya dengan matanya yang menyipit tajam.

"Berhenti bawa-bawa nama Mahesa. Mahesa nggak ada sangkut pautnya sama obrolan kita. Dan lagi, mamah nggak kenal sama Mahesa, jadi tolong, berhenti ngomongin dia dengan menyangkut pautkan hal yang buruk tentang aku."

"Kata siapa Mamah nggak kenal Mahesa? Mamah tau, dia yang selama ini dekat sama kamu. Dia bawa pengaruh buruk buat kamu. Contohnya seperti sekarang, kamu jadi membangkang perintah Mamah. Bahkan kamu berani menjawab ucapan Mamah dengan nada tinggi."

Air mata yang ia tahan di pelupuk matanya itu sudah tidak mampu ditampungnya lagi. Gistara menangis, dadanya sesak, namun perempuan itu masih sanggup menguatkan dirinya sendiri.

Dia kembali berbicara, saat emosinya mulai mereda. "Itu karena aku mulai sadar dan berani. Aku udah besar Mah, nggak seharusnya Mamah terus ikut campur urusan pribadi aku, apalagi ini tentang masa depan. Aku cuma mau, sekaliii aja, Mamah tolong ngertiin perasaanku."

"Mamah melakukan semuanya karena itu yang terbaik buat kamu GISTARA?! Mamah nggak mau kamu terjerumus dalam hal yang nggak baik, makanya mamah udah rencanain semua hal baik buat kamu."

"Dan harusnya sekarang semuanya udah berakhir Mah. Mamah harus mulai ngelepasin aku, biar aku tau harus apa kedepannya, biar aku punya impian dan jalan yang terbaik buat diriku sendiri."

"Sampai sekarang aku bahkan nggak tau gimana caranya ngambil keputusan. Selama ini aku nurut, ngikutin semua kemauan Mamah. Tapi apa hasilnya? Aku jadi nggak mandiri, aku dicela, aku dijauhi sama temen-temen aku."

"Itu karena temen-temen kamu iri. Mereka nggak bisa kayak kamu. Harusnya kamu bersyukur masih punya Mamah yang sayang sama kamu, peduli sama kamu. Kamu bisa makan enak, bisa beli apa aja yang kamu mau." Balas ibunya.

"Udah Mah cukup, percuma ngomong sama Mamah. Mamah tetep nggak ngerti, obrolan kita makin nggak jelas. Aku pergi."

Perempuan itu keluar dari rumahnya. Meninggalkan sang ibu yang masih termenung di meja makan, sembari memijat pelipisnya.

Gistara melangkahkan kaki, berjalan di sekitar kompleknya sambil menangis. Gaun tidurnya yang berwarna putih terlihat menyeramkan, ditambah rambut hitam panjangnya yang dibiarkan tergerai acak-acakan. Siapapun yang berpapasan dengan perempuan itu, mereka tidak akan berani untuk mendekatinya.

Lelah berjalan sekitar 30 menit jauh dari rumahnya, Gistara memutuskan untuk beristirahat di batu trotoar. Meluruskan kakinya, serta memijat lututnya yang terasa nyeri.

Terlalu lama melamun, sampai ia tidak sadar bahwa air matanya kembali turun. Mengingat pertengkaran hebat dengan ibunya di rumah tadi.

Sampai kapan ibunya itu tidak mengerti perasaannya. Kali ini beliau bahkan sampai membawa-bawa nama Mahesa. Laki-laki yang sangat dicintainya, laki-laki yang berhasil merubah hidupnya. Satu-satunya kebahagiaan yang perempuan itu punya. Dan sekarang, ibunya itu akan merebutnya kembali.

Betapa mirisnya hidup perempuan itu. Baru sekali ia mendapat satu kebahagiaan, ia harus merelakannya kembali. Bertahan dengan kesepian dan kesendirian, yang sedikit demi sedikit menggerogoti jalan hidupnya.

Tiba-tiba ada sebuah motor yang melaju ke arahnya. Kendaraan itu sepertinya sengaja menyorot wajah Gistara dengan lampu motornya. Matanya menyipit, berusaha melihat seseorang yang mengendarai motor tersebut yang tertutup helm full face nya.

Mesin dimatikan, kendaraan itu benar berhenti di sampingnya. Ketika helmnya dilepas, barulah Gistara bisa tahu siapa sosok misterius itu.

Gistara menangis meraung saat laki-laki semakin dekat kepadanya. Orang itu adalah Mahesa. Laki-laki itu berjongkok di hadapannya, meraih kedua tangan milik Gistara, lalu mengecupnya dengan lembut.

"It's okay, I will always be with you."




How Do I Live Without You? (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang