hancur

232 33 6
                                    

Hampir tengah malam, laki-laki itu sedari tadi hanya berpura-pura tidur untuk menemaninya. Bagaimana mungkin ia bisa tidur, disaat isi hati dan pikirannya sedang sangat kacau saat ini.

Dengan berhati-hati ia memindahkan tangan Gistara yang melingkar di atas perutnya, berusaha agar perempuan itu tidak terbangun dari tidurnya. Setelah memastikan posisi tidurnya nyaman, laki-laki itu kemudian keluar dari kamarnya.

Duduk di teras rumah, ditemani kopi hitam dan sebatang rokok yang terselip di sela jarinya. Bagian atasnya shirtless, sengaja diperlihatkan agar dinginnya malam mampu menusuk rongga tulangnya.

Dia hanya duduk berdiam, menyesap nikotinnya kuat, kemudian membuang kepulan asapnya ke udara. Ada banyak hal yang sedang dipikirkannya. Tentang kedua adiknya, masa depannya, dan sekarang bertambah dengan perempuan itu. 

Kehidupannya yang abu-abu sekarang berubah perlahan menjadi lebih berwarna, semenjak kehadirannya. Ketika semuanya mulai membaik, kenapa Tuhan harus kembali mengambil kebahagiaannya? Apa yang harus ia lakukan setelah ini? Berdamai? Bahkan laki-laki itu sampai sekarang masih belum bisa merelakan kepergian kedua orangtuanya.

Disaat laki-laki itu sedang sibuk bergelut dengan pikirannya, di dalam kamar, Gistara merasakan kehilangan teman tidurnya. Dengan mata tertutup, ia meraba sisi ranjangnya yang kini kosong.

"Sa?" Panggilnya dengan setengah sadar. Tidak kunjung mendapat jawaban, akhirnya si perempuan pun mencoba membuka matanya.

Ruangan itu sangat gelap, pintunya tertutup rapat, hanya lampu tidur yang masih meneranginya. Dia memaksakan dirinya untuk bangun, meskipun masih sangat mengantuk.

"Mahesa?" Kepalanya mengintip dari pintu kamar, sembari terus memanggil-manggil namanya. Karena kontrakan Mahesa terlampau sederhana, perempuan itu langsung bisa menemukan sosoknya.

Gistara menuju ke pintu utama yang terbuka, menghampiri seorang laki-laki yang sedari tadi sibuk melamun dengan sebatang rokok di sela jarinya.

"Hei, kenapa nggak tidur?" Gistara bertanya, seraya mengusap dada laki-laki itu yang terbuka. "Nggak dingin kamu shirtless kayak gini?" Lanjut Gistara.

"Gistara kamu ngapain disini? Masuk aja cantik. Aku masih ngerokok." Buru-buru Mahesa mematikan rokoknya, dan meraih telapak tangan perempuan itu yang masih berada di dadanya dengan lembut.

Dengan sigap Mahesa bangun, meninggalkan rokok dan kopi panasnya yang masih terisi penuh di depan teras. Tangannya ia gunakan untuk menggandeng tangan perempuan itu, menuntunnya kembali masuk kedalam kamar miliknya.

Di dudukannya perempuan itu di atas ranjang bersama dirinya. Jemari Mahesa merapikan helaian rambut panjangnya yang berantakan, khas orang bangun tidur.

Selanjutnya Mahesa mengubah posisinya menjadi tidur. Ia menepuk sebelah kasurnya yang masih kosong, dan menyuruh perempuan itu untuk tiduran disana. Gistara segera masuk ke dekapannya, memeluk tubuh laki-laki itu yang hangat, sebab kulit halusnya bersentuhan secara langsung dengan kulit miliknya. Perempuan itu menyembunyikan wajahnya pada dada bidangnya. Jemari lentiknya bermain di belakang punggung laki-laki itu, bergerak seperti menggambar sebuah lukisan abstrak disana.

"Udah bobo lagi merem.." ucap laki-laki itu seraya memberi usapan pada kepalanya dengan lembut.

"Kamu kenapa tadi sendirian di luar?" Tanya perempuan itu seraya mendongak untuk melihat wajahnya.

"Nggak papa cantik, lagi pengen bengong aja."

Gistara tahu kalau laki-laki itu berbohong kepadanya. Terlihat jelas dengan perubahan raut wajahnya yang menjadi sendu.

"You okay?"

"Hm I'm okay." Bohong, laki-laki itu bohong pada diri sendiri, dan perasaannya. Kalau boleh jujur rasa-rasanya ia ingin menangis, dadanya sesak, banyak sekali kata yang ingin diutarakan untuk perempuan itu. "Don't leave me Gistara, pleasee.."

How Do I Live Without You? (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang