keputusan salah

176 24 3
                                    

September 2000

Sagita pov

Hujan kala itu turun dengan lebat mengguyur jalanan Ibukota. Kami yang saat itu sedang berkeliling menaiki motor pun terpaksa harus berteduh di depan ruko pinggir jalan. Malam itu rasanya sangat mengerikan, angin bertiup kencang, guntur saling bersautan, kilatan petir merubah langit mendung menjadi terang, membuatku harus menahan takut setengah mati berada disana.

Baskara panik, ia lekas meraih tubuhku yang bergetar hebat kedalam dekapannya.

"Hei, you okay? Mau ke apartemenku aja, atau masih tetep mau disini?" Iya, sebelumnya dia menawarkanku untuk berteduh di apartemennya. Kebetulan jarak tempat kami berteduh tidak jauh dari tempatnya. Tetapi aku menolak, sebab banyak sekali pikiran negatif yang bersarang di kepalaku saat itu.

"Kita ke apart kamu aja Bas." Balasku akhirnya, pasrah dengan tubuhku yang lemah ini.

Ini pertama kalinya aku menjejakkan kaki di tempat yang mewah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana besarnya rumah keluarganya, ketika melihat apartemen miliknya yang sebesar ini. Bahkan luasnya 5 kali lipat lebih besar dari kontrakan tempat tinggal keluargaku.

Dia menggandengku masuk kedalam, tangan lembutnya membawaku menuju ke kamarnya.

"Mandi gih, kamu bisa pilih air hangat buat ngangetin tubuh kamu. Oh iya ini bajunya, maaf ya aku nggak ada baju kecil."

"Ah nggak papa. Makasih ya, maaf ngerepotin kamu."

"Sama-sama cantik. Aku malah seneng kok kalo direpotin sama kamu. Sana buruan mandi, takut keburu masuk angin kamunya. Aku tunggu di bawah ya Sagita."

Tubuhku terasa ringan saat air hangat itu mengguyur kulitku. Kepalaku menjadi lebih segar, usai menyelesaikan kegiatan keramas ku. Setelahnya aku mengenakan baju yang diberikan oleh Baskara. Aku tidak tahan untuk tidak menghirup wangi bajunya. Aroma parfum yang khas dari laki-laki itu.

Aku turun untuk menemuinya di lantai bawah. Sosoknya berada di ruangan dapur, sedang menungguku di meja makan sembari memainkan ponsel miliknya.

"Hei udah selesai?" Tanyanya basa basi. Aku pun hanya mengangguk menanggapinya. Baskara menyuruhku duduk, seraya meminum teh hangat buatannya.

Dia meraih tanganku, lalu mengusapnya. "Maaf ya aku malah bawa kamu kesini. Harusnya aku bawa mobil tadi, biar kamu nggak kehujanan kayak gini."

Aku balas dengan mengusap lembut punggung tangannya. "Hm nggak papa, kita kan nggak tau kalo malem ini bakalan hujan." Baskara balas tersenyum menatapku. Kali ini tangannya sedikit menarik, aku mengangkat alis bingung, namun ia langsung memberi kode menepuk-nepuk pahanya sendiri.

Ini nggak mungkin kan aku disuruh duduk di pangkuannya? Aku hampir menolaknya, sebelum tatapan mata melasnya itu balik menatapku. "Pleasee.." pinta laki-laki itu dengan lucu, seperti anak kucing yang memelas pada ibunya.

Setelahnya yang tersisa hanya penyesalan, penyesalan atas pertahananku yang runtuh akibat bujuk rayunya.

>>>

Hubungan yang dihasilkan dari pria tidak bertanggung jawab itu hanyalah sosok kecil berwajah manis. Aku tidak pernah menyesal melahirkannya dari dalam rahimku. Aku sangat menyayanginya, selalu, sampai saat ini. Dia satu-satunya penguatku, alasanku hidup, dan bertahan di dunia ini hingga sekarang.

Aku terjebak dalam kekalutanku, hal yang tidak diketahui oleh anak maupun keluargaku. Tentang bagaimana aku harus bertahan, menghadapi mimpi buruk yang selalu datang setiap kali aku menutup mata.

Tersadar aku bukan ibu yang baik untuknya, aku masih sangat jauh dari kata sempurna. Sikapku keras, dan tegas, aku menyadari itu. Aku tidak bisa mengekspresikan perasaanku dengan baik kepadanya, yang ada hanya ia semakin membenci sosok diriku yang keras kepala ini.

Aku tidak pernah menjawab, setiap kali anakku kembali mempertanyakan hal yang sama kepadaku. "Ayah dimana?" Hatiku ikut teriris mendengar pertanyaan polosnya, menatapku dengan mata yang berkaca, menunggu jawaban yang sekiranya dapat membuatnya lega.

Namun yang aku lakukan hanyalah pergi meninggalkannya. Menangis, mengguyur tubuhku di bawah shower air dingin, seakan hanya itu lah obat yang mampu membuat hatiku kembali membeku agar lekas melupakannya.

Semua yang aku lakukan padanya, untuk kebaikannya. Aku merencanakan masa depannya, menabung, memenuhi kebutuhannya. Berharap anak itu tidak merasakan kesulitanku seperti dahulu. Aku tidak mau ia terjebak pada laki-laki tidak jelas. Usianya masih sangat muda, aku hanya ingin ia fokus dengan pendidikannya.

Selama ini aku tidak pernah meninggalkan pekerjaanku, dalam situasi apapun. Namun pagi ini, tanpa perlu berpikir panjang, aku segera terbang untuk menemui anakku yang terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit sana.

Setelah mendengar kabar dan cerita dari Nana, hanya perasaan menyesal yang kini ada di hatiku. Aku pikir semuanya berjalan baik, kebebasan mungkin yang selama ini anakku mau. Tetapi dengan aku yang memisahkan antara dia dan laki-laki itu, sepertinya, termasuk suatu hal fatal yang pernah aku lakukan selama hidupku.

Langkahku terburu memasuki ruangannya. Aku menangis meratapi tubuh kurusnya, lalu mengusap rambut hitamnya yang mulai menipis.

"Maafin mamah Gistara, maaf."

How Do I Live Without You? (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang