meet you again

357 32 6
                                    

Gistara pov

Selepas ujian, biasanya Mama akan memberikan kesempatan padaku untuk beristirahat. Dan aku akan memakai kesempatan itu dengan berada di kamar seharian, menonton drakor kesayanganku.

Tapi kali ini, aku tidak akan menolak ajakan temanku. Menurutku ini kesempatan yang bagus, karena setiap kali aku sedang sendiri, aku selalu mengingat wajahnya. Baru kali ini aku merasakan perasaan aneh di dalam lubuk dadaku.

Kali terakhir aku bertemu dengannya mungkin saat berada di kantin sekitar dua minggu yang lalu. Itu pun hanya berpapasan, kemungkinan laki-laki itu juga tidak melihatku. Ingin sekali aku menghubunginya, tapi atas dasar apa? Aku tidak punya alasan yang masuk akal untuk mendekati laki-laki itu.

Daripada terus memikirkannya, lebih baik aku pergi menemui teman-temanku. Mungkin mereka sedikit bisa membantuku, mengalihkan pikirannya.

Kami berbelanja seharian, memutari mall, pergi ke salon, membeli ice cream, dan menonton bioskop. Inilah tempat penutup kami hari ini, Cafe monochrome. Setelah seharian lelah berkeliling, kami memutuskan untuk beristirahat disana.

Cafe bernuansa vintage, didominasi oleh warna kecoklatan yang mampu memberikan kesan hangat saat berada di dalamnya. Ditambah dengan aneka barang antik yang terpajang di setiap sudut ruangan tersebut. 

Pelayan datang, dan kami pun fokus memesan pesanan. Setelah memilih, kami banyak melakukan perbincangan. Kelulusan semakin dekat, maka kami pun berbicara mengenai kampus pilihan kami.

Semuanya sudah memiliki tujuan, ketiganya asik menghayal seolah apa yang sudah dibayangkan sudah pasti akan tercapai. Sedangkan aku, aku tidak mempunyai mimpi. Aku pun jelas tidak pernah diajarkan oleh Mama untuk memilih pilihanku sendiri. Disana aku banyak diam, sekadar ikut tersenyum saat mendengar pembicaraan mereka.

"Kalo lo Gis, lo mau lanjut kemana?" Tanya salah satu temanku.

"Ah aku? Aku belum mikirin itu sih hehe.." jawabku sambil menggaruk tengkuk leherku yang tidak gatal.

"Jangan nanya Gistara. Walopun nih anak bilangnya nggak mikirin juga, dia pasti bisa langsung lolos di kampus ternama. Kalian liat sendiri kan? Semua nilainya bagus, bimbel nggak pernah bolos, kejuaraan olimpiade semuanya dibabat habis sama dia. Apasih yang Gistara nggak bisa. Yang ada mah kampus rebutan kali mau punya mahasiswi berprestasi kayak dia," ucap Namira, sahabatku. Anehnya aku kesal dengan ucapannya. Sebab melalui kalimatnya, pundakku terasa semakin berat memikul ekspektasi dari orang lain.

Aku menepuk bahunya, malu. "Ah kamu terlalu berlebihan Mira, perasaan aku nggak sampe segitunya deh. Banyak tuh nilaiku yang dibawah rata-rata."

"Tetep ajaa kalo diantara kita nih sekarang. Lo yang paling mendingan. Gue jamin masa depan lo pasti bagus. Apalagi gue liat nyokap lo tuh peduli banget sama lo, keliatan sayangg banget bikin gue jadi iri setiap ngeliat kalian."

Dalam hati aku merutuki ucapan seorang Namira. Mira Mira nggak tau aja sifat asli Mamaku yang sebenarnya. Tapi aku sih cuma bales nyengir aja nanggepin pujian yang dia kasih ke Mama.

Saat sedang asik berbincang, pesanan kami datang tepat waktu. Pas sekali ketika cacing diperut rataku ini mulai meronta minta dikasih makan. Setelahnya kami sibuk memakan makanan kami.

Di kafe ini tidak hanya tersedia aneka kopi dan dessert saja, tetapi banyak menu makanan yang berat. Harganya pun terjangkau sesuai kantong pelajar. Makanya banyak sekali muda mudi yang mendatangi tempat ini.

Tes tes. Aku baru tahu juga kalau ternyata setiap malam minggu kafe ini menampilkan acara live band. Tepat di depanku sekarang, para crew cafe sedang sibuk menata alat musik beserta kebutuhan lainnya di atas panggung.

How Do I Live Without You? (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang