Semenjak hari itu, aku tidak dapat memahami diri sendiri. Aku tidak tahu apa yang dinginkan hati ini, aku juga tak paham atas apa yang otakku pikirkan. Frustasi rasanya ketika aku menginginkan sesuatu, tetapi tak dapat kuketahui apa yang kuinginkan itu.
Temanku, Bam, memilih untuk tinggal dan kerja di Negri Matahari Terbit. Dia sangat bergembira ketika hari keberangkatannya telah ditentukan, senyum yang tak pernah pudar selama tiga hari tiga malam menghiasi wajah sumringahnya. Punggungnya terlihat begitu lebar ketika aku mengantarnya ke bandara untuk meninggalkan Indonesia.
Aku sedikit iri pada Bam saat itu. Sebetulnya, aku dan Bam berencana pergi ke Jepang bersama, sayangnya keberuntungan tidak berpihak padaku, Bam lolos semua tes sedangkan aku gagal dalam MCU.
Bam sangat bahagia sepertinya, dia sering menelponku dan memamerkan keadaannya di sana. Hampir semua hal yang ia kerjakan diceritakan, tak hanya itu, aktivitas lainnya juga ia sampaikan, bahkan tak jarang Bam menunjukkan video saat dirinya berkenalan dengan orang di sana. Namun, tak semua yang ditemuinya adalah orang Jepang, tak jarang Bam bertemu saudara sebangsa yang kebanyakan berbicara bahasa Jawa. Jadi selain mahir berbahasa Jepang, Bam juga menjadi pandai berbicara bahasa Jawa.
"Gue diajarin ngomong jancok terus di sini."
Rasa iri dan keinginanku untuk menyusulnya perlahan memudar seiring berjalannya waktu. Bam sepertinya betah di sana, bertahun-tahun dia tidak pernah kembali ke Indonesia, dan sekalinya mengabariku tentang berita kepulangannya, dia mengatakan akan segera menikah dan membawa kekasihnya yang asli orang sana, seorang gadis Jepang.
Selain Bam, ada juga temanku yang bernama Glen. Aku jarang bertemu dan bertukar kabar dengan Glen, namun terkahir kali kudengar, Glen sedang dekat dengan anak dari pemilik restoran tempat dia bekerja. Aku senang sekaligus tak percaya mendengarnya, Glen memiliki keberuntungan yang tinggi, wanitanya cantik dan kaya raya.
Di sisi lain, Zaka, masih temanku juga, justru tidak beruntung karena ia harus mendapati tunangannya tidur dengan pria lain, padahal hari pernikahan mereka tinggal menghitung jari. Zaka sangat frustasi dan depresi, dia tidak ingin diganggu oleh siapapun bahkan keluarganya sendiri.
"Jarang keluar, kayaknya mentalnya kena," ucap Aldi saat aku menanyakan kabar tentang Zaka.
Untuk Aldi, aku tak begitu ingin membahasnya. Dia telah menikah beberapa bulan setelah lulus sekolah, rumah tangganya baik-baik saja dan hidupnya juga aman kelihatannya. Dia sibuk dengan bisnis online yang dirintis bersama istrinya. Aldi satu-satunya teman lama yang sering bertemu denganku.
Huh.
Aku telah mendengar banyak kisah tentang orang-orang yang memulai cinta mereka, baik yang berakhir bahagia ataupun sebaliknya. Sementara diriku, tidak dapat memulai apapun. Kisah cintaku telah berakhir sebelum aku sempat memulainya, telah hilang tanpa pernah kutemukan, dan berantakan padahal tidak tertata dalam kerapian. Aku tidak mengalami sakit hati yang mendalam, tidak bersedih, tidak terganggu oleh urusan asmara, tetapi aku juga tidak merasakan bahagia. Hanya hampa yang bisa kurasa.
Tapi beginilah cara manusia terbaik menjalani hidup, tidak terkekang, tidak terikat pada suatu hubungan, dan tidak perlu repot-repot menjaga perasaan pasangan. Aku bisa menikmati kekosongan lubang hati yang menganga, menikmati kesepian yang mendalam, dan megobatinya hanya dengan khayalan-khayalan indah di kepala. Sampai pada akhirnya, tanganku bergerak sendiri untuk merangkai kata demi kata atas luka yang sangat kusuka.
"Jika tidak denganmu, maka tidak dengan siapapun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Mine
Teen FictionGibran dan Onju selalu bersama sejak kecil, bahkan selalu berada di satu sekolah yang sama. Hubungan persahabatan mereka baik-baik saja, Gibran juga menjembatani hubungan asmara antara Onju dan Bam, yang tak lain masih temannya juga. Suatu hari, Gib...